Jika orang Jawa punya filosofi, “Urip
mung mampir ngombe.” Barangkali hidup memang cuma untuk mampir minum, sekejapan
saja, mereguk sesuatu agar dahaga terpenuhkan. Dan Sidik Nugroho dalam novel Surga di Warung Kopi memiliki filosofi tersendiri: hidup cuma mampir ngopi!
Oleh Rohyati Sofjan
DATA
BUKU : Surga di Warung Kopi
PENULIS : Sidik Nugroho
PENERBIT : Bhuana Sastra
CETAKAN : Pertama, Januari 2014
TEBAL : X + 141 Halaman
ISBN : 978-602-249-480-5
DI warung kopi, semua orang datang dan
pergi. Di warung kopi, tidak sedikit manusia yang menciptakan surga kecil
barang sesaat untuk dirinya.
Lewat
sebuah kejadian tak terduga, suatu ketika Iwan berada dalam dunia antara hidup
dan mati. Ia bertemu dengan pacar, kawan-kawan, dan ayahnya yang telah tiada.
Pertemuan-pertemuan itu terjadi di warung kopi -- kenangan demi kenangan pun
bermunculan. Kenangan-kenangan itu melahirkan kebahagiaan -- mendatangkan surga
di hati Iwan.
Memento
Mori, semua manusia pasti mati. Semua manusia akan menuju liang lahat, lalu
pindah ke alam lain. (Halaman
belakang sampul buku.)
Di dunia ini, betapa sering kita lupa
bisa menciptakan surga tersendiri, meski dari hal-hal kecil. Lebih sering kita
menciptakan neraka dalam diri, yang menggerogoti.
Sidik Nugroho mengajak kita menyelami
arti secangkir kopi dan warung kopi dari tokoh bernama Iwan. Menjelajahi
ruang-ruang kenangan, pertemuan dengan mereka yang telah meninggal. Dan warung
kopi adalah panggung untuk memampangkan pertunjukan silam dari tokoh demi tokoh
yang telah memberi Iwan kenangan.
Cerita dimulai dari tiga babak
pertemuan di warung kopi antara Iwan dengan Yanto sahabat masa kecilnya, Naning
yang pernah dipacarinya, dan Pak Johny sahabatnya di gereja. Ada lompatan
absurditas kenangan yang lembut di sana. Warung kopi sekejap bisa berubah
tempat menjadi Singkawang di Kalimantan Barat kala bersama Yanto; padahal
sebelumnya Iwan di Batu, Jawa Timur.
Ketika Yanto pergi, datanglah Naning menggantikannya di warung kopi itu,
dan pertemuan berubah tempat menjadi restoran Amsterdam. Setelah Naning pergi
lalu muncullah Pak Johny. Semuanya
seperti mimpi dalam mimpi. (Hal. 21)
Iwan
mulai menyadari suatu hal ketika bertemu dengan Pak Johny. Kenangan. Ya, mereka
semua membangkitkan kenangan. Yanto, Naning,
dan Pak Johny… mereka hanya duduk-duduk saja. Mereka tak bicara, tapi
dengan cara yang sulit dijelaskan, mereka datang membawa kenangan ketika Iwan
menatap wajah atau mata mereka.
(Hal. 41)
Meski pertemuan dalam warung kopi hanya
dilakukan dalam diam yang asing, namun kilas balik cerita bergulir. Ada
filosofi dalam campuran hal lucu, pahit, manis, sampai getir.
Tentang pendeta sakti yang pernah
mencoba membangkitkan orang mati tapi gagal. Tentang rasa takut Pak Johny pada
kaum hantu karena waktu kecil sering dicekoki cerita mistis oleh kedua
orangtuanya. Tentang asal mula Pontianak (atau Puntianak) yang disebut kota angker, karena konon
merupakan singkatan dari perempuan mati beranak.
Namun ada hal yang sangat menggugah
dari Pak Johny kala berbincang dengan Iwan. Orang yang kehilangan harapan! “Orang seperti ini tidak takut dipecat dari
pekerjaannya. Tidak takut ditinggalkan kekasih, sahabat, atau keluarganya.
Tidak takut pada bahaya, penjara, atau kematian. Tidak takut pada hantu berwajah
paling buruk sekalipun. Tidak ada ketakutan lagi dalam hatinya, karena tidak
ada lagi harapan di sana.” (Hal. 46).
Harapan adalah esensi dasar manusia
demi menjaga martabat kehidupan. Dari harapan itulah kita bisa mewujudkan cita.
Sebelum maut merenggut.
Ya, hidup yang singkat ini akan
mempertemukan kita dengan: Walaupun telah
tiada, ada seseorang yang terus hidup di benak kita karena kenangan indah yang
telah ditinggalkannya. Walaupun masih hidup, ada seseorang yang telah mati di
benak kita karena luka yang ditorehkannya. (Hal. 74)
Ada teka-teki yang diantarkan sosok
Teguh, tentang berada di dimensi manakah hidup Iwan sebenarnya. Apakah ia
memasuki alam kematian dan bertemu dengan orang-orang yang telah pulang, karena absurditas melingkari
lakon Iwan. Ia tidak lagi di warung kopi sederhana, berada di ruang luas yang
entah apa dengan peti mati terbuka. Lalu siapakah di dalam peti mati itu?
Demikianlah Sidik Nugroho dengan lembut
menjalin kelindan cerita tentang kematian yang sering kita abaikan. Kita abai
bahwa si mati pernah memberi hidup dan warna pada orang-orang di sekitarnya.
Biografi dalam warung kopi yang penuh teka-teki beroleh jawab pada bab epilog.
Penutup tentang cerita yang masih akan mengurai cerita. Ada hidup yang menyala!(*)
Cipeujeuh,
10 Maret 2014
#ResensiBuku #SurgadiWarungKopi #SidikNugroho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D