Selasa, 12 Agustus 2014

Lompatan Absurditas Kenangan






Jika orang Jawa punya filosofi, “Urip mung mampir ngombe.” Barangkali hidup memang cuma untuk mampir minum, sekejapan saja, mereguk sesuatu agar dahaga terpenuhkan. Dan Sidik Nugroho dalam novel Surga di Warung Kopi memiliki filosofi tersendiri: hidup cuma mampir ngopi!

Oleh Rohyati Sofjan


DATA BUKU      : Surga di Warung Kopi
PENULIS          : Sidik Nugroho
PENERBIT        : Bhuana Sastra
CETAKAN         : Pertama, Januari 2014
TEBAL             : X + 141 Halaman
ISBN              : 978-602-249-480-5

DI warung kopi, semua orang datang dan pergi. Di warung kopi, tidak sedikit manusia yang menciptakan surga kecil barang sesaat untuk dirinya.
Lewat sebuah kejadian tak terduga, suatu ketika Iwan berada dalam dunia antara hidup dan mati. Ia bertemu dengan pacar, kawan-kawan, dan ayahnya yang telah tiada. Pertemuan-pertemuan itu terjadi di warung kopi -- kenangan demi kenangan pun bermunculan. Kenangan-kenangan itu melahirkan kebahagiaan -- mendatangkan surga di hati Iwan.
Memento Mori, semua manusia pasti mati. Semua manusia akan menuju liang lahat, lalu pindah ke alam lain. (Halaman belakang sampul buku.) 
Di dunia ini, betapa sering kita lupa bisa menciptakan surga tersendiri, meski dari hal-hal kecil. Lebih sering kita menciptakan neraka dalam diri, yang menggerogoti.
Sidik Nugroho mengajak kita menyelami arti secangkir kopi dan warung kopi dari tokoh bernama Iwan. Menjelajahi ruang-ruang kenangan, pertemuan dengan mereka yang telah meninggal. Dan warung kopi adalah panggung untuk memampangkan pertunjukan silam dari tokoh demi tokoh yang telah memberi Iwan kenangan.
Cerita dimulai dari tiga babak pertemuan di warung kopi antara Iwan dengan Yanto sahabat masa kecilnya, Naning yang pernah dipacarinya, dan Pak Johny sahabatnya di gereja. Ada lompatan absurditas kenangan yang lembut di sana. Warung kopi sekejap bisa berubah tempat menjadi Singkawang di Kalimantan Barat kala bersama Yanto; padahal sebelumnya Iwan di Batu, Jawa Timur.  Ketika Yanto pergi, datanglah Naning menggantikannya di warung kopi itu, dan pertemuan berubah tempat menjadi restoran Amsterdam. Setelah Naning pergi lalu muncullah Pak Johny. Semuanya seperti mimpi dalam mimpi. (Hal. 21)
Iwan mulai menyadari suatu hal ketika bertemu dengan Pak Johny. Kenangan. Ya, mereka semua membangkitkan kenangan. Yanto, Naning,  dan Pak Johny… mereka hanya duduk-duduk saja. Mereka tak bicara, tapi dengan cara yang sulit dijelaskan, mereka datang membawa kenangan ketika Iwan menatap wajah atau mata mereka. (Hal. 41)
Meski pertemuan dalam warung kopi hanya dilakukan dalam diam yang asing, namun kilas balik cerita bergulir. Ada filosofi dalam campuran hal lucu, pahit, manis, sampai getir.
Tentang pendeta sakti yang pernah mencoba membangkitkan orang mati tapi gagal. Tentang rasa takut Pak Johny pada kaum hantu karena waktu kecil sering dicekoki cerita mistis oleh kedua orangtuanya. Tentang asal mula Pontianak (atau Puntianak)  yang disebut kota angker, karena konon merupakan singkatan dari perempuan mati beranak.
Namun ada hal yang sangat menggugah dari Pak Johny kala berbincang dengan Iwan. Orang yang kehilangan harapan! “Orang seperti ini tidak takut dipecat dari pekerjaannya. Tidak takut ditinggalkan kekasih, sahabat, atau keluarganya. Tidak takut pada bahaya, penjara, atau kematian. Tidak takut pada hantu berwajah paling buruk sekalipun. Tidak ada ketakutan lagi dalam hatinya, karena tidak ada lagi harapan di sana.” (Hal. 46).
Harapan adalah esensi dasar manusia demi menjaga martabat kehidupan. Dari harapan itulah kita bisa mewujudkan cita. Sebelum maut merenggut.
Ya, hidup yang singkat ini akan mempertemukan kita dengan: Walaupun telah tiada, ada seseorang yang terus hidup di benak kita karena kenangan indah yang telah ditinggalkannya. Walaupun masih hidup, ada seseorang yang telah mati di benak kita karena luka yang ditorehkannya. (Hal. 74)
Ada teka-teki yang diantarkan sosok Teguh, tentang berada di dimensi manakah hidup Iwan sebenarnya. Apakah ia memasuki alam kematian dan bertemu dengan orang-orang yang telah pulang, karena absurditas melingkari lakon Iwan. Ia tidak lagi di warung kopi sederhana, berada di ruang luas yang entah apa dengan peti mati terbuka. Lalu siapakah di dalam peti mati itu?
Demikianlah Sidik Nugroho dengan lembut menjalin kelindan cerita tentang kematian yang sering kita abaikan. Kita abai bahwa si mati pernah memberi hidup dan warna pada orang-orang di sekitarnya. Biografi dalam warung kopi yang penuh teka-teki beroleh jawab pada bab epilog. Penutup tentang cerita yang masih akan mengurai cerita. Ada hidup yang menyala!(*)
Cipeujeuh, 10 Maret 2014

#Resensi #SidikNugroho #SurgadiWarungKopi #Buku



#ResensiBuku #SurgadiWarungKopi #SidikNugroho

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D