Cerpen memberi keleluasaan pada
penulisnya untuk mengeksplorasi bahasa, menggali kekayaan kata dari khasanah
peristiwa, sesuai budaya lokal yang dianutnya. Demikianlah Ririn Rahayu Astuti
Ningrum menulis kumcer Kitab Gangpitu dengan indah sekaligus sarat filosofis.
Oleh ROHYATI SOFJAN
DATA BUKU : Kitab Gangpitu
PENULIS : Ririn Rahayu Astuti Ningrum
PENERBIT : Pustaka Nusantara
CETAKAN : Pertama, Oktober 2013
TEBAL : 127 Halaman
ISBN : 978-602-7645-12-7
HARGA : RP34.500,-
RIRIN mempersembahkan sepilihan cerpen yang
ditulis dari tahun 2012-2013 dengan nada muram, kebanyakan memotret
permasalahan yang menimpa orang terpinggirkan karena nasib, status sosial,
bahkan kisruh politik.
Ada banyak cerpenis yang berusaha eksis
dengan ciri khasnya, termasuk Ririn. Aroma kebudayaan Jawa sangat kental
terasa, dari ujaran sampai tindakan. Dengan bahasa sastra sarat simbolisme, Kitab Gangpitu layak kita perhitungkan
sebagai kumcer yang menyorot persoalan hidup dalam perspektif perempuan,
memandang masa lalu sebagai bagian dari kekinian.
Ada banyak benturan di kumcer itu.
Ajaran agama dibalut dalam mitos kitab Kalimasada versus kitab Gangpitu sebagai
ajaran terlarang yang bisa membangkitkan amuk Nogo Samber Jiwo, seperti dalam cerpen “Kitab Gangpitu”. Bagi kita yang berada di luar budaya Jawa atau
tak mengakrabinya, pasti asing dan tak paham soal kitab Kalimasada, bagian dari
Kejawen (ajaran asli leluhur tanah Jawa
yang belum terkena pengaruh budaya luar, sebelum budaya Hindu dan Budha masuk).
Di
dalam sana, Eyang Resi dan para Pakubumi merapal mantra Kalimasada. Sepenuh
jiwa. Syahdu. Silu. Hanya itu yang mampu mereka lakukan untuk menahan Nogo
Samber Jiwo dalam lelap peraduan. Mereka terus merapal, siang dan malam hingga
suara tak lagi keluar. Mereka terus membaca hingga perlahan lebur dalam
keheningan. Abadi. Moksa. Tinggallah enam buah Kitab Kalimasada di atas meja
batu bundar. Tak terjamah, berdebu, penuh sawang. Buram.
Dan
di negeri Sokoroso, khutbah terus berlanjut Suara hentakan-hentakan dan rapalan
mantra Kitab Gangpitu menggelora. Orang-orang bersorak merayakan penghormatan.
Dengan tawa berderai-derai mereka ikuti setiap gerak Sang Gae Odo-Odo sebagai
bentuk penyucian jiwa model baru, meninggalkan kekunoan yang diajarkan Eyang
Resi. Seluruh negeri bergetar karenanya. (Hal.
63)
Lalu apa yang terjadi dengan negeri
itu? Sebuah umpama yang bagus mengenai negeri kita sendiri. Campuran mitos dan
kekinian diramu Ririn dengan apik.
Dalam “Teror Kala Bendu”, masih
menyorot budaya Jawa. Betapa Kala Bendu dianggap sebagai oknum perusak anak
gadis agar terjerumus pada perzinaan akibat pacaran yang kebablasan, hingga
hamil dan membunuh bayi tak berdosa begitu lahir. Peristiwa itu bukan hanya
sekali. Bunuh diri atau penjaralah pilihan akhir mereka.
Lagi-lagi,
dari sarangnya yang hitam, Kala Bendu menyaksikan tangisan Putri dengan gelegak
tawa kemenangan. Satu lagi masa depan berhasil dia telan. Puas meretas.
Bertimpas-timpas! (Hal. 73)
Perempuan adalah subjek sekaligus objek
utama cerita Ririn. Yang terperangkap stigma masyarakat karena predikat (“Bapak
untuk Zahra”); yang beroleh khianat (“Anafora Pengkhianatan”); yang menyaksikan
perjuangan ayah (“Kasih Tak Bertepi”); yang melahirkan anak saleh (“Sandal
Jepit Pak Haji”); yang berjuang demi anak semata wayang (“Sepotong Mimpi Buat
Emak”); yang terjerumus popularitas
hingga abai menerapkan ajaran kitab Kalimasada (“Ledi Gigi, Mati!”); yang
mencintai tradisi batik Tulungagung (“Perempuan yang Menggandrungi Gajah
Mada”); yang dijual suaminya (“Perempuan yang Tubuhnya Tergadai”).
Masih ada lagi kegetiran Ririn dalam
“Iman yang Terkoyak”, sosok pemuka agama terjerembab dalam jurang maksiat;
“Seorang Anak yang Menggadaikan Ibunya”, potret muram wajah bangsa kita
terhadap tanah air Indonesia, dililit kelindan utang tak berkesudahan; dan
“Kisruh Bethara Kala di Astinapura”, adalah cerminan bagaimana sesungguhnya pemimpin
dan anggota dewan kita sekarang.
Kritik sosial dan politik Ririn dengan
perspektif sastra yang indah sekaligus menggugah. Untaian bahasanya akan
membuat kita kewalahan jika tak terbiasa. Kalimat puitis berhamburan. Betapa ia
kaya kosakata, menggali timbunan kata yang barangkali jarang dipakai selain
hanya teronggok sepi dalam lembar demi lembar halaman Kamus Besar Bahasa
Indonesia.
Jawa adalah akar budayanya, maka cerita
wayang sampai kejawen berikut antropologi masyarakat Jawa dipaparkan dengan
fasih. Sebagaimana fasihnya ia memaknai cinta dan nafsu mesti berdampingan
secara seimbang bukannya salah satu dominan. “Syahwah dan Mahabbah” adalah
gambaran diri kita untuk becermin.
Adapun hal yang harus diperhatikan ke
depannya bagi Ririn Rahayu Astuti Ningrum dan penerbit Pustaka Nusantara:
penyuntingan yang apik! Jangan sampai
karya bagus jatuh karena abai kaidah gramatika. Ada banyak ketidaksesuaian EYD
yang mengganggu. Semoga bisa lebih maju.(*)
Cipeujeuh,
3 Maret 2014
#ResensiBuku #KitabGangpitu #RirinRahayuAstutiNingrum
kaya buku antologi karya mbk Ririn Rahayunya bagus. makasii infonya mbak :D
BalasHapuslagi-lagi bukunya kena di EYD. aku juga kena di EYD. haha