Selasa, 07 Agustus 2018

Puisi Medium Refleksi dan Terapi



Oleh Rohyati Sofjan


REFLEKSI bermakna gerakan atau pantulan di luar kesadaran sebagai jawaban suatu hal atau kegiatan yang datang dari luar (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Puisi pada hakikatnya refleksi penyair terhadap hal-ihwal dari sekitar yang diserap masuk ke dalam diri. Puisi adalah medium (alat) bagi penyair untuk mengungkapkan tumpah-ruahnya rasa dan pikir dalam balutan bahasa yang cenderung sastra agar menggugah.
Dan selain sebagai refleksi (cerminan diri), puisi pun berfungsi sebagai alat untuk menerapi. Angga Wijaya, penyair kelahiran Negara, Bali, 14 Februari 1984; mendedahkan semua tumpah-ruah yang menghantamnya ke dalam antologi puisi Catatan Pulang (Pustaka Ekspresi, 2018). Sebagai refleksi sekaligus terapi!
Angga berani membuka diri perihal dirinya sebagai ODS (orang dengan skizofrenia),
sebuah upaya demi membuka mata masyarakat kebanyakan agar memahami apa itu skizofrenia. Begitu banyak hal yang Angga rasa dan ungkapkan.
Kebingungan
Suara-suara itu/ Makin mengganggu/ Aku tak paham lagi/ Mana nyata/ mana tak nyata/ Obat penenang/ Tak mampu hilangkan/ Kecemasanku// Siapa yang sakit/ Sebenarnya?/ Kau tak mengerti/ Kesedihanku/ Kesendirianku/ Seorang anak/ Rindukan ibunya/ Di rumah sakit/ Mengigau/ Memanggilmu// Kita begitu jauh/ Kelahiran hanya urusan/ Karma semata// Tiba-tiba aku merasa/ Seperti Karna/ Membenci Kunti/ Sudahlah Ibu!/ Kita sudahi permainan ini/ Kutelan kepahitan/ Bagai obat yang kuminum/ Bertahun-tahun lamanya// (“Skizofrenia”, 2014)
Ini adalah hasil refleksi kala dikurung di rumah sakit jiwa karena skizofrenia yang diidapnya. Diidap? Secara pribadi saya rasa kata itu berkonotasi mengecilkan. Karena dari kata dasar idap yang bermakna menderita sakit lama. Memang Angga menderita dengan skizofrenianya, namun bukan berarti ia tak berupaya menjalani kehidupan normal. Ia berusaha keras menepis stigma masyarakat tentang orang dengan gangguan jiwa.
Memang ia mengalami halusinasi, namun ia juga berupaya melawan halusinasinya.
Perjuangan
Radio dan televisi bicara padaku/ Juga tulisan yang kutemui di jalan/ Halusinasi. Menjadi presiden dan/ Orang suci. Kutelan obat untuk/ Mengusir semua. Pergi! Pergi!/ Kau tak nyata!// Lima tahun mendekam/ Di rumah. Waktu lama/ Berteman sepi dan derita/ Dipandang sebelah mata/ Stigma. Aku bangkit,/ Tinggalkan rumah/ Pergi ke kota, bekerja/ Kubuktikan aku mampu/ Kalian salah mengira/ Kumaafkan kalian/ Seperti maafkan diri// Kusongsong/ Matahari pagi/ Bara semangat/ Tak kubiarkan/ Mati. Tembok rumah sakit/ Sisakan perih/ Kubaca berita/ Seorang lelaki/ Terbunuh/ Di ruang RSJ/ Oh pilu!// (“Skizofrenia 2”, 2015)
Merasakan bagaimana bertahun-tahun dikurung di RSJ, rasa sepi dan terasing karena stigma yang melekat pada diri adalah cobaan terberat yang Angga rasakan, namun ia bangkit dengan beraktivitas sebagaimana halnya orang normal. Berupaya memaafkan para penuding dengan puisi sebagai terapi, adalah upaya memupus luka pula.
Ya, hidup menorehkan banyak luka bagi kita semua, bukan cuma orang biasa saja. Skizofrenia membuat yang bersangkutan alami serangan halusinasi dan kehilangan kontrol diri karena adanya kelainan dalam sel otak, harus jalani terapi dan pengobatan, sekaligus harus alami penghakiman berupa “pelabelan gila yang menyakitkan” dari masyarakat -- yang tak paham.
Lewat Catatan Pulang, Angga berupaya membuka diri dengan segala catatan perjalanan hidupnya yang terangkum dalam 67 puisi yang ditulis selama 16 tahun. Dengan demikian diharapkan masyarakat pun berani membuka diri pada skizofrenia. Masih layakkah stigma itu?
Terapi tidak cuma obat-obatan kimia atau konseling psikologi semata, lewat puisi ODS pun bisa menerapi diri. Mengeluarkan pendaman rasa dan pikir yang meruah. Puisi yang pada hakikatnya merupakan refleksi jiwa bisa bicara banyak sekaligus alat terapi.(*)
*Rohyati Sofjan, Penulis Lepas dan Blogger, Tinggal di Limbangan, Garut.
537 Kata
#Cipeujeuh, 29 Januari 2018
*Sudah dimuat di Harian Pos Bali
Foto dari Angga Wijaya 

                   
 #AnggaWijaya #CatatanPulang #Skizofrenia #PenyairBali

6 komentar:

  1. ukA paling suka baca puisi yang kalo abis dibaca ada rasa heran, kayak :
    "wow ternyata ada ya manusia yang bikin puisi anti mainstream kayak gini"
    terus aku tarik napas sambil comot bait puisinya buat caption di instagram,
    eh btw ini instagram aku : @khairulleon follow dong, loh promo :v

    BalasHapus
    Balasan
    1. He he he, yang jadi teman FB akan otomatis langsung terindeks oleh Instagram agar jadi temanku juga. nanti dicek apa terindeks juga. :)
      Soal puisi, yah, itu juga refleksi dari hasil pembacaan seorang penyair dan itu tiodak dalam jangka waktu siap saji melainkan ada prosesnya. Makanya berasa gimana bagi yang baca, seakan ikut dilibatkan.

      Hapus
  2. plis deh mba, kenapa harus keren wkwk :v

    BalasHapus
    Balasan
    1. He he he, hatur nuhun. Yuk jadi keren dengan menulis. :)

      Hapus
  3. Salah satu hal yang menarik dari puisi adalah ia bisa menjadi makna yang ambigu. Jadi, orang bisa menulis A dan diterjemahkan B. Namun, untuk kasus ini, pedih sekali merasa penyakit ODS itu. Seperti diasingkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, menag menafsirkan puisi bergantung sudut pandang dan pengalaman dari penafsirnya. Namun dalam Catatan Pulang, ada banyak hal yang menggetarkan sehingga saya memilih fokus untuk mengupas beberapa puisi tertentu yang menyorot aspek kejiwaan dan perlakuan yang telah diterima penyairnya.

      Hapus

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D