Oleh Rohyati Sofjan
*Narablog di https://.rohyatisofjan.blogspot.co.id
Adalah hal yang melegakan jika saya bisa memahami apa yang
dibaca dalam pembacaan tulisan berbahasa Indonesia. Memahami bahasa bagi
seseorang yang telah kehilangan fungsi pendengaran sejak usia ± 6 tahun
ternyata tidak mudah.
Saat masih kecil,
ketika membaca suatu kata atau istilah yang tak dimengerti (entah dalam buku,
majalah, atau koran), saya merasa terasing dalam planet sunya ketika
dunia begitu ingar.
Mengempaskan saya pada kesadaran akan keterbatasan. Tertatih dalam upaya untuk memahami arti dalam rangkaian kalimat. Semakin sering membaca, semakin mengertilah saya akan kata atau istilah yang semula asing. Terkadang butuh waktu lama untuk memahaminya dan mendapat arti dari bacaan lain di lain kesempatan. Terkadang pula saya hanya bisa menebak makna dari rangkaian kalimat yang ada.
Mengempaskan saya pada kesadaran akan keterbatasan. Tertatih dalam upaya untuk memahami arti dalam rangkaian kalimat. Semakin sering membaca, semakin mengertilah saya akan kata atau istilah yang semula asing. Terkadang butuh waktu lama untuk memahaminya dan mendapat arti dari bacaan lain di lain kesempatan. Terkadang pula saya hanya bisa menebak makna dari rangkaian kalimat yang ada.
Begitulah saya
belajar bahasa, dan bahasa Indonesialah yang dirasa mudah untuk dipahami karena
pembiasaan dari apa yang dibaca. Ketika anak lain tidak mengerti makna suatu
kata sedang saya
memahaminya dari apa yang telah dibaca, rasanya lebih mendingan daripada mereka
yang berpendengaran normal.
Akan tetapi,
sampai dewasa dan menjadi ibu satu anak, tidak selalu saya paham, kadang ada
kata atau istilah tertentu yang sulit dieja, terlewat begitu saja dari memori
otak saya untuk diolah, seolah kata itu kehilangan makna. Terkadang pula saya
frustrasi dan merasa kebelet ketika kata atau rangkaian kalimat itu
ternyata sangat sulit dipahami karena susunannya njelimet.
Hal terakhir yang
sering terjadi ada dalam buku ajar sekolah. Merasa ngeri dengan
kemampuan penulis buku tersebut yang kapasitas berbahasanya seolah mencerminkan
kerumitan cara pikir. Teringat masa sekolah ketika wajib membaca buku ajar yang
tebal atau tipis namun susunan bahasanya
sangat tak ramah, bertele-tele dan panjang. Seolah kesederhanaan dalam
berbahasa sama sekali tak mencerminkan intelektualitas. Dan ternyata, ketika membantu anak tetangga bikin PR dengan membaca
buku ajar mereka (SMP dan
SMA),
masih saja hal tersebut saya jumpai. Tak heran anak itu bingung memahaminya,
apalagi saya. Tidak semua buku ajar demikian,
memang.
Saya tidak tahu
apakah intelektualitas berbahasa yang menghinggapi masyarakat ilmiah itu
penting bagi kaum tunarungu, sebab memahami bahasa sehari-hari yang sederhana
saja sudah sulit. Seperti bagaimana cara pengucapan suatu kata, apakah ‘k’ di akhiran kata diucapkan dengan
sentak atau semacam pemanis bagi suatu kata yang mestinya diberi tanda baca
petik satu (‘), namun karena
aturan dalam berbahasa Indonesia meniadakan itu maka kesulitanlah yang dialami
saya ketika melafalkannya.
Seperti bagaimana
mengucapkan kata “bentak” yang baru saya tahu ketika seorang teman malah
menulis kata apa adanya dari yang biasa diucapkan. Melihat KBBI dan sadar
kesulitan pelafalan saya ternyata sangat banyak karena tak bisa membedakan cara
pengucapan, melafal begitu saja dari apa yang dibaca bukan didengar. Belum lagi
ketidakjelasan intonasi saya. Dan bicara seolah menjadikan saya seorang alien
dari planet sunya yang tidak semestinya berada dalam dunia ingar kata
dan makna.
Jika bicara saja
sudah susah, bagaimana dengan membaca? Bahasa Indonesia yang menurut Tendy K.
Somantri dalam “Bahasa (Masihkah) Menunjukkan
Bangsa?” (http://somantri.multiply.com, almarhum), mudah
dipelajari orang asing karena sederhana dan apa adanya.
Namun menurut saya kemudahan tersebut tidak berlaku bagi
yang memiliki keterbatasan fungsi pendengaran, apalagi mereka yang sudah sejak
bayi dan tidak diajari cara berbahasa (Indonesia atau daerah) karena masalah
ketiadaan fasilitas atau biaya atau pengetahuan dan kesadaran orang tuanya.
Begitu miris karena hal tersebut dialami beberapa tetangga di kampung saya.
Pada hakikatnya jika bahasa Indonesia
memang mudah dipelajari orang asing sekalipun, tidakkah cara pelafalannya
memerhatikan pengguna yang memiliki keterbatasan panca indra? Atau dibuat
semacam sistem baru yang lebih memudahkan siapa saja untuk mengucapkannya.
Sebab, membedakan suatu kata dari apa yang dibaca lalu diucapkan tidaklah
mudah. Lebih sering kesulitan membedakan pelafalan [e], seperti apel
yang buah dengan apel yang merupakan bahasa slank anak muda untuk
wakuncar (waktu [atau wajib?] kunjung pacar), dan hal-hal lainnya.
Namun, syukur, alhamdulillah,
kesulitan tersebut tak menjadikan saya berkecil hati untuk berusaha
mempelajarinya, meski kadang senewen juga. Dan dunia maya memberi kemudahan
bagi saya untuk mengakses pembelajaran bahasa Indonesia, meski kadang bingung
juga dengan cara berbahasa (gramatika sampai susunan kalimat lainnya) yang
terdapat dalam suatu situs.
Tidak hanya situs
saja, buku atau artikel dari suatu koran atau majalah yang sedang dibaca kadang
menyulitkan saya karena susunan bahasanya ternyata amburadul. Lalu, masih
pentingkah posisi editor bahasa bagi suatu media atau penerbitan? Sangat
penting bagi saya secara pribadi agar logika berbahasanya tak dikacaukan
amburadulisme pengguna bahasa yang seolah tak bertanggung jawab.***
708 Kata
Cipeujeuh, 19 Maret 2011
Foto SS dari Pak Irul S. Budiarto di group FB Sastra Koran dan Majalah plus Mutiara Aryani
Dimuat di Harian Riau Pos, 15 Juli 2018
Membaca tulisan mbak ini jadi menyadarkan saya betapa pentingnya menyederhanakan bahasa. Saya harus banyak belajar tuk menulis dengan bahasa yg tak bertele-tele namun maksudnya tersampaikan dgn baik.
BalasHapusTrims sudah berbagi mbak
Terima kasih sudah bertandang ke blog sederhana ini, semangat belajarnya itu tak hanya membantu pembaca juga bisa meningkatkan kemampuan menulis. :)
HapusMembaca post ini saya langsung angkat jempol dan kagum luar biasa tentang apa yang disampaikan kak Rohyati 👍
BalasHapusDengan ketekunan dan semangat yang tinggi untuk terus belajar,mampu mengatasi dengan sangat baik kesulitan yang dihadapi sampai menjadi penulis seperti sekarang ini.
Mengenai apa yang dialami kak Rohyati, nyaris sama persis dengan kondisi salah satu sahabatku (dulu satu pekerjaan denganku).
Dia menceritakan gimana sulitnya belajar pengucapan dan membaca yang benar dengan 'keterbatasannya'sampai ortunya terus dengan disiplin tinggi mengajari dengan media papan tulis ditulis cara menulis dan membaca yang benar.
Terus semangat ya, kak.
Jangan menganggap itu suatu kekurangan diri, tapi Tuhan menciptakan keunikan yang berbeda dimiliki setiap manusia.
Tak ada manusia yang sempurna.
Terus berkarya, kak.
Tuhan berkati
Terima kasih, Mas Hino.Sampai sekarang saja masih banyak kata yang tak saya pahami artinya, bahkan nama benda yang jarang atau tak pernah saya pakai.
HapusDulu juga saya kerap tak tahu nama teman sepermainan, sekarang masih tak tahu nama tetangga atau orang sekampung padahal saling kenal, ha ha. Itu ironis.
Yah, sahabat Mas hanyalah satu dari sekian lainnya yang alami kesulitan soal bahasa bagi tunarungu. Dan saya jadi tak merasa sendiri.
Belajar bahasa bagi orang normal sih gampang banget, namun bagi orang macam saya jelas gak mudah banget. gak bisa langsung bisa dan paham. Bengong dulu, lalu cari artinya. kalau belum ketemu, maka harus tunggu sampai lama, loh.
Inilah proses dalam hidup.
Terima kasih dukungan semangatnya, Mas. Jadi berasa haru. Ada yang peduli! Nuhun.
Tulisannya masuk media lagi yach mbak... ? kok rajin sekali yach tulisannya masuk media... ? bagi dong tips2nya...
BalasHapusohy mbak sekedar saran, tulisan utk blog jangan2 terlalu rapat, soalnya mata saya jadi tdk fokus membaca, heheh....
Eh ternyta ini sama dengan yg akun dot com... Ternyata bener punya 2 blog ya mba... Hebat bisa ngisi dg konsisten 2 blog dan aktf semua
BalasHapus