Tulisan ini pernah dimuat "Jawa
Pos" (12/6/2005).
Semoga bermanfaat. Meski ada bagian yang
diedit. Ini versi aslinya, yang diedit adalah tentang paparan karate karena
kepanjangan atau agar tak sok.
Menjadi "Editor" (Esai)
Beberapa kali saya dipercaya sekian
kawan untuk mengedit tulisan mereka, dari skripsi sampai fiksi. Atau sekadar
komentar sampai bantaian. Beberapa kali saya nikmati tugas tersebut dengan rasa
takjub dan geleng-geleng kepala. Saya takjub pada hasil pengembaraan imajiner
yang mereka bagi, sekaligus geleng-geleng kepala jika bangunan imajiner
tersebut tak terstruktur. Entah dari narasi, ide, cara penyampaian, sampai
gramatika.
Berhubung kebanyakan yang meminta
tolong masih pemula, saya coba memaklumi kelemahan mendasar mereka. Meskipun
demikian, bukan berarti saya bisa lunak, ada saat tertentu terpaksa galak.
Bukan apa-apa, saya cuma peduli saja. Sebagai seseorang yang telah 6 tahun
berkecimpung dalam dunia menulis (sejak Mei 1999), saya merasa bertanggung jawab untuk
mengenalkan proses. Proses menjadi
yang tak bisa seketika.
Bertahun-tahun saya belajar secara
natural, jatuh bangun dalam meniti jenjang kepenulisan tanpa ada yang
membimbing atau sekadar memberi sentuhan secara langsung. Memahami penerimaan
dan penolakan sebagai semacam keharusan untuk dipasrahi atau diberontaki. Namun
yang lebih utama lagi, saya menyadari ada kenikmatan tersendiri yang bersifat
sangat personal kala menghayati proses. Barangkali hasil merupakan tujuan,
namun ukuran tersebut bukan merupakan acuan utama. Kegagalan adalah peluang yang
masih menuntut kesungguhan untuk diperjuangkan. Keberhasilan merupakan jenjang
menuju perjalanan selanjutnya yang masih membentang. Dan untuk itu dibutuhkan
kesabaran sebagai penyeimbang kegigihan. Percuma gigih jika tidak sabar, namun
percuma pula sabar jika tidak gigih.
Bertahun-tahun, saya mencoba mencari
jalan tersendiri untuk mengembangkan diri. Pelan namun pasti, perjalanan saya
telah sampai di pertengahan untuk menuju etape selanjutnya. Tak percuma menempa
diri dengan berbagai cara, selama sekian
lama. Sebab pada akhirnya hasil tersebut bisa saya bagi pada sekian kawan
yang butuh bantuan untuk memahami proses dalam dunia kepenulisan.
Saya belum sepenuhnya berhasil,
belum mencapai taraf terkenal apalagi produktif; yang saya punya adalah pemahaman
dan empati untuk dibagi, sebab dari situlah saya bisa merasakan nikmatnya
proses.
Seperti di arena dojo, untuk menguasai gerakan kata (perpaduan kihon dan gohon), Anda
harus punya dasar berupa gerakan kihon
(pukulan) dan gohon (tendangan).
Untuk pemula (sabuk putih) awalnya cuma satu kali kihon dan gohon (contoh: kihon/gohon kanan lalu kiri sesuai aba-aba). Lalu tingkat sabuk selanjutnya
(kuning), dua kali kihon dan gohon
(contoh: kihon/gohon kanan dan kiri secara serempak dalam satu aba-aba). Lalu
tingkat sabuk selanjutnya lagi (hijau), bisa beberapa kali kihon dan gohon yang
masuk dalam kata. Tingkat kesulitan
tersebut memiliki dasar untuk memudahkan. Semacam latihan berjenjang. Itu pun
berlaku untuk tingkat sabuk selanjutnya (biru, cokelat, dan hitam), yang
memiliki kesulitan tersendiri namun butuh latihan dan konsentrasi selain
disiplin dan kerendahhatian menuju kumite
(adu tanding/pertempuran).
Demikianlah saya umpamakan dunia
menulis dengan olah raga karate yang pernah diikuti semasa SMU di kota kecil
Limbangan, Garut. Olah raga yang menempa jiwa saya untuk memahami proses dalam
hasil, lalu saya ambil intisarinya bagi dunia menulis.
Mengapa demikian?
Kebanyakan mental penulis pemula
masih perlu diasah, namun yang lebih penting lagi, mereka harus punya dasar
dalam menyusun kerangka cerita berupa struktur bahasa dan gramatika; selain
jeli melihat peluang untuk mengembangkan diri.
Kedua hal tersebut sering saya
dapatkan telah diabaikan kala mengedit, geleng-geleng kepalalah hasilnya. Entah
karena struktur kalimat yang kacau atau ide yang tak bernalar atau gramatika
yang acak-acakan. Kalau sudah demikian, teguranlah yang harus saya sampaikan,
dengan contoh begini-begitu, lalu bla-bla-bla....
Syukur-syukur jika ada yang ngeh,
namun ada juga yang mengabaikan dan terus membuat kesalahan berulang terutama
dalam gramatika karena merasa dilindungi licentia
poetica.
Licentia
poetica bagi saya ada acuannya. Yang lebih penting adalah bagaimana pendobrakan
atas dalih licentia poetica itu bisa berterima, sebab esensi
utama dari tulisan adalah mengundang hasrat pembaca untuk memasukinya. Tanpa
itu, onanilah.
Saya tidak tahu mengapa hanya
segelintir penulis yang benar-benar peduli pada gramatika. Ada beberapa penulis
muda berbakat yang saya acungi jempol karena punya dasar cukup kuat dalam
menyusun kerangka cerita sampai struktur bahasa. Beberapa di antaranya adalah
Agus Hernawan (yang ternyata sesama guyuber),
Linda Christanty, Raudal Tanjung Banua, Gus Tf Sakai, Ryana Mustamin, Stefany
Hid, dan Stefany Irawan. Saya tidak tahu apakah ada campur tangan editor bahasa
di media tersebut, namun sebagai seorang pembelajar gramatika bahasa Indonesia
di milis guyubbahasa Forum Bahasa Media Massa (FBMM), saya mengagumi keapikan
mereka dalam mengikuti dinamika berbahasa dan taat asas EYD. Di situ terasa bahwa
mereka bertanggung jawab, baik pada masyarakat pembacanya sampai diri sendiri.
Semacam menjaga reputasi bahwa mereka peduli, menghargai proses, dan mau
belajar.
Benarkah demikian?
Citra itu sangat mahal, bahwa mereka
bersungguh-sungguh bekerja dengan rasa dan karsa yang diiringi tanggung jawab.
Sebab gramatika bukanlah sesuatu yang bisa disepelekan. Di sana terkandung kepribadian
penulis yang bersangkutan dalam mengolah alur pikiran secara apik dan
terstruktur. Maksud saya, ide boleh liar, namun jangan lupa bahan bangunannya:
pondasi utuh berupa bahasa dan gramatika. Sebab bagaimana seseorang bisa
menyampaikan pokok pikiran jika tak mampu menyusunnya secara mengena?
Demikianlah pengalaman saya selama
menjadi ”editor”. Tugas yang saya
terima dengan senang hati sebagai semacam pencerahan dan rangsangan bagi alur kehidupan.***
Bandung, 7 Mei 2005
Ini kali pertama saya berkunjung di blog mbak .. salam kenal yah :) Waaahhh ini tulisan dari tahun 2005 yahh... kerenn... mbakk... tulisan saya gak ada yg pernah nembus koran.. gak pernah ngirim juga sih #eh.... jadi mbak Rohyati ini sudah lama berkecimpung di dunia menulis.. pasti banyak pengalamannya. Apalagi sebagai editor... kerenn deh mbak.. bsa dong belajar nulis ama mbak :)
BalasHapus:) Makasih sudah bertandang, sama-sama salam kenal juga. Bukan editor beneran kok, 'kan judulnya dikasih tanda petik dua. Ya, bolehlah kita saling belajar di blog masing-masing. Jangan kaget ya kalau aku malah komen soal EYD segala di blog Zhie. ;) Itu caraku belajar sekaligus berharap bisa mengajar.
HapusAyo kirim tulisan ke koran biar tahu gimana rasanya dimuat atau enggak. #eh. :v
Keren kak...
BalasHapusyang gue tau emang kyk gitu... cara nulis kita tergantung dari keinginan kita dlm membut gaya tulisan, apakah itu masuk dlm EYD atau tidakk...
saya jg baru mulai belajar,,, dan sepertinya saya butuh bimbingan dari editor ini :)
Bukan editor beneran, mau? Sip, nanti tiap komen di BW akan kupas bagian yang harus diedit. Jangan patah hati dengan jurus gergajiku ya, hehe. Tadi BW ke blog Bang Palli. ;)
Hapuswaduw bloogger kelas atas udah masuk jawa post.
BalasHapusmbak ajarin EYD dong, dikampus dulu ajah bhasa.indonesiaku cuman dapet c . huhuhue
Blogger kelas bawah kok, hehe. Masih baru di dunia per-blog-an. Soal belajar, yang penting niat. Lagian sudah pajang buku EYD 2 di file dokumen BE. Dibavca dong. Semoga nilai bahasa Indonesia dapat B. :)
Hapusbener banget, kalo ada ungkapan "kata kata mampu mengubah dunia" itu bener... dengan tata kata yang bagus, kita bisa menyampaikan berbagai pesan hanya melalui kata2...dan dengan kata2 yang bagus, pembaca bakalan tertarik buat mengikuti dan masuk ke dalam tulisan kita...
BalasHapusNah itu, aku sendiri lagi belajar biar bisa taat sama gramatika. Dari cerita diatas jadi keliatan kalo jadi editor itu memang sama kayak pekerjaan yang lain, enggak gampang.
BalasHapusBukan editor beneran kok, tapi emang gak mudah ngedit tulisan orang. Jadinya kita harus punya ilmu dasar berupa paham EYD agar bisa menulis dengan apik. Paling gak, bisa self editing.
Hapusgak semua org bisa nulis EYD dgn tepat mbak. saya mslnya. nulis 1 paragraf aja, langsung dapat banyak coretan perbaikan dari guru les (pengalaman sewaktu sma)
BalasHapussaya udah brp kali ngirim artikel tpi blm keterima. mngkn slh 1 alasannya yg kayak tadi :D
blh dong mbak kpn2 ajarin nulis artikel yg baik gimana :)
Kan ada buku panduan EYD, di file BE sudah kupajang. Coba pelajari dasarnya. Mudah kok. Asal butuh pembiasaan. :)
HapusUntuk artikel yang baik, banyak faktornya. Cermai dulu karakter media sasaran. Lalu pemilihan bahasanya.
Selamat mencoba.
Jangan menyerah.
Gue sekarang masih kurang si di EYD :3
BalasHapuskapan-kapan gue mau berguru dengan mbak deh. :) hehe
Bagus banget nih, ngeblog bisa sambil belajar bahasa Indonesia juga. Pasti banyak yang gak tahu kalo yg baku itu sedakar bukan sekedar. Pasti banyak banget.
BalasHapusSampai sekarang baru 4 tulisan yang berhasil menembus JP. Jam terbang tetap kurang jika yang mereka cari adalah tulisan bagus. Tapi ikuti saja panduan dasar menulis dulu. Media cetak kayak koran karena ruang pemuatannya terbatas, jadi ikuti syarat kayak berapa word atau CWS (chracter with space), tema tentang apa dan harus aktual serta jangan personal. Lebih baik umum dan pakai pandangan objektif. Jangan utarakan opini pribadi yang tak berdasar. Harus ada alasan jelas dan logika kuat. Plus penyampaiannya ringkas, padat tapi bernas. Jika beruntung dimuat, kadang juga tulisan layak muat terpaksa tak dimuat karena momen kurang tepat atau kegusur tulisan orang lain.
BalasHapusYang penting semangat. Jangan lupa, tulisan harus rapi dan baik.
Wuih, keren tulisannya bisa dimuat di koran. Ibu emang T.O.P B.G.T deh! :D
BalasHapusKalau ngomongin soal EYD, itu adalah salah satu kelemahan Lia. Maklum lah, Lia terjun ke dunia tulis-menulis belum lama. Gak seperti Ibu yang udah berpengalaman. Kalau gak keberatan, aku mau minta diajarin cara menulis yang baik dan benar. Hehehe :)