Jumat, 05 Januari 2018

Remaja Bermotor



Oleh Rohyati Sofjan


SUATU sore di bulan September 2004, kala masih lajang dan bekerja di Bandung,   diminta berbagi pengalaman proses kreatif di Klub Kepenulisan HARDIM Bandung, saya sempat mengobrol dengan Bu Vivayani W.D., seorang ibu rumah tangga yang semangat belajar menulis.
Beliau cerita tentang idenya menulis artikel fenomena sepeda motor. Menurutnya, harga motor kian turun namun tingkat kecelakaan kian tinggi. Ia kesulitan mengembangkan idenya karena butuh data pendukung.
Saya tercenung menyimaknya. Lahir dan besar di Bandung, tepatnya di kawasan Kiaracondong, lalu pindah ke kampung halaman ibu saya di Balubur Limbangan, Garut; menyaksikan hidup bergerak sangat cepat. Dulu motor barang langka dan mahal harganya.
Almarhum ayah saya yang PNS cukup naik kereta PP ke kantornya di Balai Besar PJKA, gratis pula karena pakai KBD  (Kartu Bukti Diri untuk karyawan dan keluarganya), jadi motor adalah barang “mewah” bagi kami. Cuma abang saya yang merasa wajibul kudu memiliki motor tanpa menakar kemampuan finansial sendiri.
Dulu Bandung tak diluberi motor, sekarang hampir dipastikan mayoritas warga merasa harus memilikinya. Bukan cuma Bandung saja, di kampung saya pun demikian. Kala remaja dan bersekolah di SMU Al Fatah, Balubur Limbangan pada tahun 1994-1997, tak ada teman yang bawa motor ke sekolah. Harganya masih mahal. Untuk transportasi paling naik sado atau angkutan desa yang ongkosnya masih 100 rupiah selain ojek atau mobil omprengan yang beda harga. Kalaupun ada yang punya, tak membawanya ke sekolah, entah mengapa.
Zaman berubah, aturan berbeda. Pun Rupiah. Sekarang duit cepekan tak cukup untuk ongkos. Maka, fenomena remaja bermotor pun mewabah. Bagi yang rumahnya jauh dari sekolah motor sangat vital fungsinya. Bukan cuma orkay (orang kaya) saja yang memiliki motor.
Lihatlah panorama pagi yang sibuk, anak berseragam putih-biru pun “bermotor” ke sekolah. Ada kaitannya dengan ongkos transportasi yang mahal selain efisiensi? Akan tetapi, bagaimana dengan di jalan raya dan pembiasaan pemakaian pelindung kepala? Safety guard!
Dalam film “First Love” anak SMP pun bermotor, lebih tepatnya skuter matik macam Honda Scoopy. Itu di Thailand. Kok, kayak lumrah di sana. Namun salutnya, mereka patuh memakai pelindung kepala. Helm standar yang bahkan pemakainya mau repot menalikan di dagu. Tidak seperti di sini yang entah mengapa masyarakat seakan malas memasang tali helmnya agar aman benar di kepala.
Jika aturan di Thailand membolehkan remaja bermotor secara legal, meski untuk pelajar setingkat 1 SMP (di sana disebut kelas M-1), bagaimana dengan kita? Kultur dan aturan yang berbeda membuat sesuatu tampak legal atau ilegal. Wallahu a’lam. Ditambah lagi tingkat kecelakaan di sini masih tinggi. Berkaitan dengan sikap mental masyarakat sendiri.
Sekira pada tahun 2006, saya pernah jalan-jalan sendirian di Garut Kota. Lumayan sepi jalanannya. And I love it! Namun kenikmatan sebagai turis penyuka kota sepi itu bersifat fana. Garut Kota sekarang termasuk ramai juga, banyak motornya.
Tahun 2009 kala angkot yang saya tumpangi bersama keluarga melintasi sekolah yang kebetulan sedang bubaran, seorang remaja putri berseragam abu-abu sempat berdadah setelah motornya membelok ke jalan raya, dan pandangan bukannya ke arah depan jalan malah ke arah luar pintu gerbang sekolah tempat temannya.
Barangkali ia pikir tak apa-apa, namun dalam perspektif saya itu tindakan gegabah. Sempat berdadah meski sekejap saat membelok ke jalan raya bukanlah tindakan baik. Napa tidak dadah dari tadi sebelum membelok ke jalan raya? Fokus utama bermotor mestinya ada pada pandangan ke depan demi keselamatan.***
Cipeujeuh, 31 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D