Jumat, 05 Januari 2018

Membabu di Saudi



Oleh Rohyati Sofjan


 SEPUPU saya, ibu dua anak perempuan dan satu lelaki, karena alasan ekonomi memilih bekerja sebagai TKI di Saudi. Tentu ia senang ditempatkan di sebuah kota yang masih termasuk wilayah Mekah. Yang tidak ia antisipasi adalah fakta dan budaya keluarga majikannya. Hari pertama kedatangannya disambut dengan baik. Namun selanjutnya ia harus berhadapan dengan benturan kenyataan sebagai khadimat yang barangkali kedudukannya setara sebagai budak.
Sebagai khadimat di mata majikannya yang berbeda kultur, pembantu barangkali tak lebih sebagai budak belaka. Harus bekerja nonstop dari subuh sampai tengah malam. Memakai baju tradisional khas Arab berupa abaya dan burqah, yang halal terlihat cuma mata dan telapak tangan. Dan sepupu saya merutuki nasibnya yang tak terbayangkan harus sengsara sebagai pengadu nasib di negeri orang..
Ia yang pernah membabu di kota kala gadis sampai berumah tangga, harus alami culture shock yang membuatnya gagap budaya. Mulai dari bahasa sampai kultur yang berbeda. Ia yang merasa yakin akan mudah menguasai bahasa Arab karena pernah belajar kitab kuning dasar di kampung, kaget karena bahasa Arab yang sebenarnya memang berbeda. Mulai dari pengucapan yang cepat sampai bahasa sehari-hari yang asing baginya. Tentu berakibat miskomunikasi. Dan hari-hari buruk pun harus dialaminya sampai ia mengutuk hidup.
Di karantina dan pelatihan PJTKI ia telah diajari tentang hal-hal yang semestinya. Yang tidak ia pahami adalah ketakterdugaan akan beroleh majikan seperti apa. Apalagi ia direkrut seorang anak dari majikannya yang telah menandatangani perjanjian kontrak kerja. Anaknya, yang berbeda rumah, sih baik, namun keluarga majikannya... ya begitulah.
Bekerja di rumah keluarga yang termasuk masih menganut asas Arab kolot membuatnya tertekan. Majikan perempuannya seorang nenek yang cerewet dan pelit. Barangkali orang kaya merasa bisa berbuat sekehendak hati pada si miskin dari negeri “berkembang” yang bahkan tidak ia tahu ada di mana letaknya.   
Namun sepupu saya memang pejuang gigih, dua tahun lebih ia harus berkutat dengan pekerjaan berat dan perlakuan tak layak demi keluarganya. Anak-anaknya masih kecil, usia SD dan SMP. Suaminya butuh modal demi merintis konveksi tas. Belum lagi utang yang ditinggalkannya karena untuk berangkat jadi TKI butuh bekal.
Seiring waktu majikannya mulai berubah baik, meski pekerjaan tetap berat. Seperti mengangkut berkarung-karung zaitun dari bawah untuk dijemur di lantai atas, atau bahkan mengangkat barang yang semestinya dikerjakan oleh tenaga lelaki, selain tugas-tugas rumah tangga yang dikerjakannya sendirian.
Ia yang kecil ringkih beroleh berkah berupa kesadaran akan makna hidayah. Tentang hal-hal buruk yang pernah dilakukan di tanah air, dari lisan sampai tindakan. Ia yang dulu bermulut tajam dan suka bergunjing melihat cermin. Mekah adalah kota suci. Jadi ia mohon ampun kepada Allah atas dosa-dosanya, bahwa ia pernah melukai pada anak, suami, tetangga, sampai orang lain. Ia menjadikan buku harian sebagai kawan.
Di rumah majikannya, ia tentu heran karena tak ada pengajian ala tadarus Quran. Hanya ialah satu-satunya penghuni rumah itu yang pada akhirnya menjadikan mengaji sebagai kekuatan. Acara TV yang ditonton keluarga majikannya hanya berisi ceramah agama berbahasa Arab melulu. Namun lucunya dari segi praktik keagamaan, ia amati, lebih baik di kampung sendiri kala ibu-ibu berbondong-bondong menghadiri majlis taklim.
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Ia mencoba beradaptasi menjalani hari demi hari. Ada kekuatan yang menyelubunginya. Kedekatan dengan Allah Sang Maha Pendengar doa. Sampai ia diminta menunda kepulangannya agar bisa umrah. Lalu kala mudik diminta segera kembali untuk memperpanjang kontrak kerja agar bisa berhaji musim haji kemarin. Bersama keluarga besar majikannya tentu saja.
Apa rahasianya hingga bisa bertahan dan tetap direkrut kerja oleh majikannya? Seburuk-buruknya lisan yang kita terima dengarkan saja untuk keluar lewat kuping lainnya agar tidak makan ati. Dan jangan membantah atau menimpali karena itu dianggap tidak sopan. Namun jelaskan kalau tidak melakukan kesalahan kala ia pernah alami ketidakadilan akibat suudzhan. Tetap sopan secara adab sekaligus tegas dan tidak lemah. Setidaknya ia tak alami kekerasan fisik seperti nasib babu lain yang lebih malang daripadanya.***    
Cipeujeuh, 26 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D