Selasa, 09 Januari 2018

Ketakterdugaan Sedekah



Oleh ROHYATI SOFJAN


TINGGAL di tempat yang jauh dari pusat kota menghambat mobilitas juga. Saya berumah di sudut kampung suatu lereng gunung (jika dari kejauhan). Untuk ke kota kecamatan makan waktu sekira 45 menit jalan kaki cepat bagi yang terbiasa, atau 60 menit jika santai karena tak terbiasa; turun-naik bukit, berkelak-kelok melingkar. Atau minimal 15 menit berkendara ojek dan harus tabah dengan kondisi jalan yang amburadul sehingga bikin badan pegal “dangdutan”, hehe.
“Pekerjaan” saya sebagai penulis atau boleh disebut penganggur terselubung yang sesekali dapat rezeki jika ikhtiarnya beruntung, terasa tersendat-sendat sebab untuk ke warnet demi memasarkan karya agar beroleh penghasilan saja harus turun gunung cukup jauh ke kota lain.
Entah itu Garut Kota (saya tinggal di Kecamatan Balubur Limbangan, Kabupaten Garut bagian Utara), atau paling sering ke Bandung saja karena dari segi ongkos transportasi lebih murah, bisa naik KA. Pulang-perginya cuma butuh 20 ribu rupiah jika mematuhi jadwal KA. Selain itu, akses internet lebih cepat dan murah. Garut Kota adalah wilayah asing bagi saya yang lahir dan besar di Bandung.
Maka pada suatu siang kala dikejar deadline lomba menulis cerpen yang diadakan suatu penerbit (sayang malah kalah, hehe), saya terpaksa turun gunung ke Bandung. Berangkat tengah hari, angkotnya sempat ngetem lama lagi. Karena suatu hal, saya terpaksa keliling Cicalengka mencari warnet lain yang ternyata sudah lama tutup. Kala di Stasiun Cicalengka, saya cemas melihat jadwal keberangkatan KRD Ekonomi Bandung Raya sudah berangkat sejak sejam lalu, kereta selanjutnya adalah KRD Patas yang cuma berhenti di Stasiun Cicalengka-Rancaekek-dan Bandung saja.
Apa boleh buat, saya terpaksa naik KA patas sebab sudah pukul setengah tiga. Saya nggak tahu apakah harus nginap di rumah kerabat. Dalam keadaan gamang, di stasiun sembari mencatat jadwal keberangkatan, seorang ibu pengemis mengesot ke arah saya dan menadahkan tangan. Membuat saya teringat Ibu. Mereka sebaya. Namun yang harus saya syukuri adalah Ibu masih beroleh tunjangan pensiun dari almarhum Bapak. Apa jadinya jika Ibu harus mengemis seperti itu?
Saya terenyuh, meski lelah dan tegang karena tadi nyaris ditabrak motor kala menyeberang ditambah kecapaian menyusuri sebagian kecil wilayah Cicalengka, saya sadar harus mensyukuri hidup. Undur ila kaifa. Ya, melihat ke bawah. Maka saya sedekahkan 1.000 rupiah meskipun uangnya pas-pasan karena karcis patas 4.000 dan nanti harus disambung naik angkot lagi.
Yang terjadi selanjutnya adalah ketakterdugaan, doa saya agar KA berhenti sebentar di Stasiun Kiaracondong terkabul. Saya bisa turun dan mengehemat ongkos. Lebih penting lagi, saya tiba di rumah dengan selamat meski harus kemalaman.
Belajar dari itu, saya berusaha menyedekahkan sedikit rezeki kala menjadi musafir. Termasuk ketika harus turun gunung ke Bandung, mengambil honor tulisan yang dimuat “Pikiran Rakyat”, ada error di bagian administrasi; honor belum dikirim ke rekening saya sebab alamat dan nomornya terhapus bagian editing (17/9/2007).
Dalam keadaan lelah sebab ada tambahan 4X ganti angkot di Bandung, saya kembali pulang kemalaman. Naik KRD yang pukul 18.05. Itu bulan Ramadan. Sehari sebelumnya saya habis memanen padi dan harus memanggul setengah karung gabah basah dalam keadaan puasa. Tak apa, setidaknya saya bisa merasakan suasana berbuka di gerbong Kereta Rakjat Djelata. Meski cuma minum air gelas saja sebab harus berdiri desak-desakan, ditambah pengap asap para smoker.
Di luar gelap. Saya masih bisa membaca Annida baru edisi Ayat-ayat Cinta sambil berdiri. Di Stasiun Rancaekek, saya bisa duduk dan meneruskan bacaan selain menyedekahkan sedikit rezeki pada pengemis sampai pengamen seperti tadi saat berangkat.
Mungkin karena keasyikan baca, saya nggak sadar telah naik KA yang bukan jenis Bandung Raya. KA-nya nggak berhenti total di Stasiun Cicalengka seperti biasa, di mana seluruh penumpang akan berhamburan turun. KA itu ternyata menuju Cibatu.
Sadarnya saat menengok ke jendela, dan astagfirullah, LELES! Tempat yang nggak pernah disambangi. Nyasar itu sering, namun lebih bermasalah lagi jika nyasarnya malam meski cukup bekal, sebab saya mengalami kesulitan orientasi arah jika dah gelap, nggak peduli di tempat yang pernah dikenali.
Pukul 7 di gerbong itu saya alami ketegangan kala bertanya pada penumpang lain tentang Stasiun Cibatu-nya kapan. Saya tunarungu dan nggak bisa mendengar ucapan mereka, ditambah terbawa suasana asing menyangkut kepercayaan. Masa ada yang panik gitu kala tahu saya nyasar, hingga sayanya ikut panik, hehe.
Saya betul-betul pusing, juga ketakutan. Di kereta tadi sempat berpikir apalah harus naik angkot ke Limbangan atau elf saja, eh malah nyasar ke Cibatu. Nggak ada orang yang bisa saya percayai dalam kondisi demikian. Bagaimanapun, saya harus melindungi diri.
Maka setelah mengalami saat rumit, saya terpaksa melapor ke kantor polisi Cibatu, berharap bisa dibantu cara pulang meski ragu. Alhamdulillah, Bapak Polisi yang sedang berbincang bareng beberapa orang di luar ternyata sangat membantu. Saya cuma tanya arah dan cara ke Limbangan serta berapa ongkos ojeknya, mendapat lebih. Tukang ojek  nggak cuma diminta mengantar saya, mereka mengongkosi okeknya. Malu dan haru rasanya. Apalah arti 10 ribu rupiah? Saya masih mampu. Saya hanya ingin pulang dengan selamat sebab sudah jam 8.
Tiba di rumah pukul setengah 9, saya masih memikirkan kejadian tadi. Mengapa harus nyasar di Cibatu? Apa yang akan terjadi jika turun di Cicalengka dan harus memilih angkot atau elf, akankah aman? Jalur Cicalengka-Limbangan jika malam memang tidak selalu aman, siang saja suka kecelakaan. Mana Ibu pernah dirampok di atas elf (katanya!). Apa maksud Tuhan membuat saya harus menjelajahi suasana dan wilayah asing? Semata salah saya sebab terlalu lelah sekaligus ceroboh keasyikan baca karena nggak tahu salah naik KA. Jika nggak nyasar, akankah saya selamat?
Apakah sedekah saya membawa berkah atau musibah? Saya akui terlalu asyik ngasi meski diliputi rasa nggak enak karena takut riya. Orang terakhir yang saya sedekahi adalah seorang anak lelaki penyapu yang matanya sangat meminta dan saya nggak bisa bilang tidak.[]
Cipeujeuh, 2 Hijriyah 1429 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D