Jumat, 05 Januari 2018

Baru Menikah




Murung adalah kata sifat yang kembali menyergap, kemudian memancar melalui paras wajah dan sorot matanya. Ia seolah kembali pada masa sebelum menikah: kesepian. Kana, istrinya mulai tak betah. Dan ia serba salah.

Cerpen Rohyati Sofjan


SEANDAINYA ia punya  rumah sendiri, rumah yang cukup memadai untuk membina keluarga dari hasil pernikahannya, barangkali segala kekacauan itu tak perlu terjadi. Namun ia seolah dihempaskan pada keterbatasan pilihan; tetap tinggal bersama ibunya, lebih tepat nenek dari pihak ibu, yang telah membesarkannya selama 28 tahun. Dalam rumah panggung berdinding gedek sederhana yang digerogoti hama kayu sehingga setiap hari selalu saja debu-debu kayu mengotori beberapa bagian. Merusak penampilan sekaligus mencemaskan.
Dan ia sadar hidupnya seolah kayu yang digerogoti hama kecemasan. Hantaman masalah yang membuatnya risau. Mengapa sih orang lain harus usil dan ikut campur dalam kehidupan perkawinan mereka yang belum seumur jagung?!
Belum genap sebulan pernikahan mereka, Nini, adik neneknya, meminjam uang. Katanya untuk membayar utang ke bank. Ia bingung sebab tak punya uang sama sekali. Modal warung kecil-kecilan yang dikelola bareng istrinya berasal dari uang Kana sendiri. Uang dari sisa sumbangan pernikahan di rumah Kana. Itu pun tidak cukup, hanya 350 ribu rupiah. Dan Kana telah menambahkan 100 ribu lagi uang simpanan pribadi untuk ke dokter gigi.
Ia pikir tak akan ada masalah sama sekali ketika bilang sejujurnya tidak punya uang. Namun ternyata bermasalah karena Nini ingin pinjam cincin mahar, padahal cincin itu telah dijual atas ide Kana agar mereka tak berutang: untuk menambah modal warung dan makan.
Nini bilang cincin itu akan dikembalikan dalam waktu sebulan. Nini minta agar ia menyampaikan permintaannya pada Kana.
Itulah fatalnya. Malamnya ketika ia membicarakan itu pada Kana dan jalan keluarnya tentang cincin yang telah dijual.
“Kita bilang saja pada Nini bukan tak mau membantu tapi bagaimana bisa membantu jika barangnya tidak  ada, Sayang.” Ia sungguh tak tahu kalimat apa yang harus disampaikan pada adik neneknya yang masih merupakan istri uwak sepupu Kana.
“Aku jadi menyesal, Tama. Mestinya kita tak jual itu, tapi kita ‘kan tak ingin berutang.” Suara Kana ikut muram. Namun Kana menyanggupi untuk menyampaikan hal itu esok harinya sepulang dari rutinitas belanja meski menolak adalah pekerjaan berat.
Namun esok hari adalah petaka. Nini kembali mendatangi Tama untuk bertanya, dan tak ada pilihan bagi lelaki itu selain menjelaskan perihal cincin yang telah lama dijual. Nini malah tersinggung dan tak percaya. Dan beban itu menghimpitnya. Sikap Nini sekeluarga jadi berubah sinis.
Kana tidak menyadari perubahan itu karena terlalu sibuk dengan urusan belanja dan pekerjaan rumah tangga, tetapi Tama tidak tahan untuk curhat pada istrinya.
“Haruskah kita berutang agar cincin itu tidak dijual? Bukankah kita tak ingin berutang apalagi membebani orang lain?” Kana bersandar di punggung suaminya, mengusap rambut Tama, mencoba menyerap kesedihan itu agar tak membebani suaminya. Dan ia tahu, usapan dan penghiburan dari sang istri adalah sesuatu yang paling dibutuhkan para suami agar bisa melabuhkan kegelisahan menuju muara tenteram.
“Kita harus segera kumpulkan uang agar bisa menebus kembali cincin yang telah dijual.” Ia menghela napas. Begitu berat.
Akan tetapi, Kana adalah Kana, sepertinya tidak peduli pada perhiasan, uang sisihan diambil untuk tambahan modal warung mereka yang mulai menipis. Keuntungan warung tidak seberapa. Ia tahu itu, belum lagi ongkos ojek pulang-pergi ke pasar yang 10 ribu sudah memberatkan. Mereka berdagang cuma untuk bertahan. Ya, sampai ia beroleh pekerjaan.
Namun rupanya Ibu tidak mau tahu. Wanita tua yang selalu tampak kasar terhadapnya dan berwajah masam pada siapa saja, malah mencela mereka. Ia dimarahinya. “Teganya kamu tidak mau bantu Nini!” Kata-kata itu seolah diucapkan orang asing pada orang asing lain. Memberi rasa nyeri pada jiwanya.
Ia coba menjelaskan, namun Ibu tidak mau tahu. Begitu keras mencela dan begitu keras kepala merasa benar. Sehingga kebenarannya adalah harus memusuhi cucu dan menantunya. Ia gerah, Ibu selalu marah-marah. Barang pemberian dan sikap baik Kana pun tak digubrisnya. Kana tidak tahu soal kemarahan Ibu. Ia tentu tak mengira mertuanya akan sepicik itu ikut campur dalam urusan keuangan mereka, lebih tepatnya uang Kana pribadi.
Kana terganggu dengan sikap uwaknya ketika suatu siang ia bilang soal bubur peuyeum yang tadi pagi diberikan pada Sepupu Dana, anak uwaknya. Uwak malah menjawab ketus dan dingin, “Duka!”
Kaget Kana menjelaskan bahwa bubur buatan ibunya itu merupakan peuyeum gagal yang terpaksa dimasak menjadi bubur manis. Namun uwak tetap menjawab singkat, “duka” yang berarti tidak tahu dengan tambahan seru plus ketus.
Ia tahu istrinya kecewa dan heran ketika Kana mengadu, ia mendengar dialog itu dari dalam rumahnya yang berdampingan dengan rumah Nini. Ia sendiri memendam kerisauan sehingga berlaku seolah tak menanggapi. Dan itu membuat Kana marah karena mengira tak peduli. Memilih tidur di rumah ibunya yang beda dua RT.
“Kamu tidur di rumah ibumu, aku akan ke sana jam delapan. Ada yang harus dibicarakan dan tidak di sini sekarang!” Putusnya tegas, sebab selalu ada yang belanja sampai malam.
Gak boleh! Kamu di sini saja, aku di sana.”
Ia tahu Kana hanya ingin menggoda. Dan malamnya ketika ia datang, Kana menyambutnya dengan dandanan seksi, membuat hasrat kelelakiannya (yang kata Kana masih menganut asas pandangan hidup: memandang baru “hidup”) berkobar, lupa sedang dilanda masalah yang meruwetkan.
Di kamar atas barulah ia berterus terang pada istrinya tentang perubahan yang harus mereka atasi. Segala gumpal kekecewaan ia muntahkan, dan disimak Kana dengan sesal sekaligus sabar.
“Maafkan aku, Sayang.”
Ia tahu istrinya berduka. Ia seolah berhadapan dengan seorang perempuan yang sedang mengupas bawang. Ialah bawang itu. Segala duka hidupnya dikupas sampai istrinya, yang jarang dan benci menangis, mencucurkan air mata.
Ia jelaskan sikap ibunya, sikap keluarga Nini, dan soal cincin mahar yang menjadi petaka bagi mereka. Yang mengejutkan adalah, “Kalau begitu kita kumpulkan semua uang kita untuk dipinjamkan pada mereka agar ibumu tidak marah-marah lagi. Dan tolong jelaskan pada ibumu soal berapa penghasilan kita ini. Ibumu harus tahu kenyataan yang sebenarnya.”
Ia seolah melihat kebesaran jiwa istrinya, istri yang coba mengalah agar bisa menyadarkan kekeraskepalaan ibunya. Ia jadi malu ketika Kana bilang malu karena mereka tidak tahu malu memusuhi yang tak bisa meminjamkan uang.
Uang mereka, lebih tepatnya uang modal untuk belanja hanya 263 ribu. Masih kurang dengan cincin seberat 1,5 gram seharga 300 ribu dipotong 7.500 rupiah kala dijual.
“Apakah kamu ikhlas, Sayang?”
“Aku ikhlas, Tama. Perkawinan kita lebih berharga daripada harta.”
Ia tidak tahan melihat istrinya tambah bersimbah air mata, ia ikut menangis meski sedikit saja keluar air mata. Toh, kesedihan coba dihapus pasangan suami istri yang baru belajar pengalaman berumah tangga itu ternyata tak mudah, dengan seks. Seks adalah penyatuan bagi mereka, jiwa dan raga. Dan terutama bagi Kana yang selalu suka bersetubuh dengan suaminya untuk alasan “aneh”: bukan orgasme semata, dia begitu bahagia jika tubuh mereka menyatu. Baginya Tuhan adalah pencipta detail Paling Sempurna!
Masalah itu telah beres. Esok paginya ia pulang dan menjelaskan soal uang pada neneknya. Wanita itu terpaksa sadar dan bilang tak akan mengusik uang mereka lagi. Ia lega. Pun ketika ia hendak serahkan uang itu pada Nini berikut penjelasan istrinya semalam, Nini kaget dan malu. Terpaksa bilang telah dapat pinjaman.
Ia membatin gusar, jika telah dapat pinjaman mengapa harus diributkan? Dasar perempuan! Serba membingungkan!
Namun benar kata Kana, perempuan adalah makhluk paling membingungkan. Lidah mereka setajam pedang. Dan lidah itu kembali melukainya setelah sebulan pernikahan. Entah siapa yang mulai, ada gosip menyebar, ibu Kana dikabarkan suka membicarakan orang. Dan kali ini ialah yang jadi “korban” sang menantu yang dianggap mengecewakan karena pengangguran. Harga dirinya kembali dilukai! Ia tak mengira mertua yang dikenalnya baik dan suka memberi itu jadi penyebar keburukan dan bersikap riya.
Itu bermula dari kebiasaan istrinya yang mondar-mandir antara rumah mereka dan rumah ibu Kana. Ia tak keberatan, ibunya juga, apalagi ibu Kana. Namun entah mengapa harus ada tetangga yang keberatan padahal Kana hanya mencuci pakaian mereka sebagai bagian tugas rumah tangga (rumah mereka tak dilengkapi sumur dan kamar mandi pribadi), istirahat, menonton TV, makan dan minum, baca-baca, mandi, memenuhi panggilan alam, kadang juga tidur siang.
Perempuan itu tidak pernah macam-macam apalagi berkumpul dengan tetangga untuk bergunjing. Justru digunjingkan. Kebiasaan membawa makanan dari rumah ibunya pun jadi perkara. Banyak tetangga yang melihat, dan kebetulan saat keluar ibunya ikut keluar, lalu ditanya tetangga. Ibunya tanpa maksud apa-apa hanya bilang memberi makanan buat putrinya.
Ucapan itu diputarbalikkan, oleh entah siapa, bahwa ia dianggap riya kala memberi pada anaknya dan hal itu terdengar oleh mertua Kana kala hendak ke rumah Bi Dede keponakannya. Dari teras rumah Sepupu Annisa, terdengar gunjingan ibu-ibu yang seolah sengaja dimulai agar didengar ibu Tama bahwa besannya bla-bla-bla. Itu membuat murka sang mertua, tidak mau lagi mencicipi pemberian besannya. Membuka perkara bab dua.
Ia tahu komunikasi adalah hal penting dan mendasar dalam perkawinan. Kana selalu bilang agar mereka saling terbuka. Dan ia pernah dipetuahi abang Kana agar menjalin komunikasi dalam pernikahan dengan baik. Ia telah terbuka. Kana coba mengklarifikasi. Menanyai ibunya soal kebenaran gosip. Ibunya membantah karena tak merasa. Untuk apa menyebarkan soal pemberian pada anak sendiri jika pada orang lain saja tidak? Demikianlah argumen sang ibu.
Soal menganggur saja bukankah ibunya tak pernah mengungkit pekerjaan Tama sebab tahu menantunya juga bekerja mengelola warung bersama anaknya. Demikianlah sang ibu membela diri. Bukankah dulu sebelum menikah ia pernah menghibur Tama, jangankan yang baru, yang lama saja masih menganggur.
Ia tahu kebenaran adalah hal membingungkan. Istrinya sendiri sudah bingung dan ada pekerjaan yang harus ditanganinya: menjadi narasumber untuk mengisi mata kuliah imajinative writing, berbagi pengalaman proses kreatifnya dalam menulis di Kampus Unpas, Bandung, atas undangan sahabat yang juga menjadi dosen sana.
Ia bangga pada istrinya, sekaligus risau dan kasihan. Kana kehilangan fokus dan geram pada penyebar gosip sebab ikut kena getahnya: seolah tambah dijauhi mertua. Bahwa ada bagian dari bab satu yang belum usai benar.
Dan sekarang, di malam yang dingin berhujan ini, ia kangen pada istrinya. Kana sengaja tidur di rumah ibunya. Ia tak bisa melarang, istrinya punya alasan; harus belajar dan membaca banyak literatur demi persiapan presentasi nanti agar tak mengecewakan. Rumah itu toh masih rumah Kana, si bungsu yang seolah anak tunggal, Abang Kana sudah punya rumah sendiri di Ciamis. Bisa jadi kelak akan jadi milik Kana sebab pernah ikut andil dalam membeli tanah dan merenovasi rumah.
Sedang ia, apakah ia? Yatim piatu yang kadang sadar dirinya seolah insan buangan. Terikat utang budi sepanjang hayat pada sang nenek. Itulah perbedaan antara anak yang dibesarkan orang tua kandung: berdasarkan kewajiban. Ia dibesarkan atas dasar, barangkali, kasihan. Dan itu membebaninya.
Kana adalah segalanya. Perempuan itu memahaminya. Namun tak bisa menjangkau lebih dalam bagian paling intim jiwanya. Ia tak bisa sepenuhnya berbagi pada Kana, kadang ia bingung sendiri, dan kadang itu membuat Kana uring-uringan karena menganggapnya tak berpendirian dan lekas berubah pikiran.
Ia menyadari istrinya memiliki lompatan pemikiran tak terjangkau. Bahasanya pun berada di tingkatan yang cuma dipahami orang-orang seprofesi. Dan kadang ia minder, seolah tak mampu menjangkau dunia istrinya. Namun Kana membutuhkannya, ia tahu itu. Perempuan itu mencintai dan mengasihinya tanpa syarat. Kana berbeda dengan Laela pacar masa lalu yang telah menorehkan luka perih. Laela dengan cinta palsunya adalah kenangan usang. Namun bagaimana jika perkawinan mereka harus berakhir berantakan?
Dan di kamar berkelambu dengan beberapa bagian dari dinding gedek yang bolong-bolong kapurnya, ia melihat dunia sebagai kenyataan yang apa adanya bukan seharusnya. Mereka baru menikah sudah dihantam masalah, dan orang lainlah yang bikin ulah. Ia merasa istrinya kian hari kian lelah. Wajah itu telah berubah: seperti dipaksa menyerah namun bersikeras tak ingin menyerah.
Dan ia merasa bersalah. Seandainya ibu berubah lebih ramah mungkin Kana akan betah. Namun jangankan Kana, ia sendiri tidak betah. Selalu ada keinginan meninggalkan rumah. Rumah yang telah dibangun dari awal dengan tangannya, bahkan dari segi pembiayaan. Ibunya keluar 6 juta, dan ia 4 juta. Itu pun masih kurang. Mereka pernah terpaksa berutang demi membangun rumah sederhana di tanah harapan. Kana dan ibunya banyak membantu di saat sulit selama masa pacaran mereka yang cuma lima bulan saja.
Ia tahu terlalu banyak hal dipertaruhkan. Ia telah meninggalkan tanah kelahiran di Lampung demi masa depan yang diharapkan lebih baik di tanah leluhur. Apakah salah jika ia butuh kedamaian dari pernikahan?
Ia merindukan sentuhan istrinya. Terlalu menyakitkan ketika seseorang yang kau yakin kau cintai tiba-tiba ingin menjauh dengan alasan masuk akal. Ia sungguh kedinginan. Tak ada tambahan selimut hidup di sampingnya yang bisa memeluk dan dipeluk. Atau mengelus-elus kumis di atas bibirnya yang ia tumbuhkan demi menyenangkan istri, tidak tebal tetapi cukup jantan. Bahkan ia sengaja membiarkan dagunya tak dicukur.
Ia merindukan sapaan istrinya seperti tadi siang sepulang dari salat Jumat, “Hai, Tampan!” Ia mendadak ingin bercinta dengan gaya seperti malam kemarin. Ia begitu bahagia ketika berhasil membuat  istrinya orgasme sungguhan untuk pertama kalinya. Kana nikmat sekaligus kesakitan di bagian bawah dari perutnya, beberapa senti dari pusar, meremas bantal dan tidak tahan. Ia tidak tega untuk melanjutkan. Kana kaget dengan gaya baru mereka. Biasanya mereka hanya main gaya konvensional: ia di atas, Kana di bawah, dan saling berhadapan. Kana biasa menganggap orgasme itu kenikmatan yang bisa membuatnya tersenyum jika Tama main cepat.
Dan tiba-tiba ia ingin marah pada Kana, tidak semestinya mereka tidur terpisah. Ah, andai mereka punya rumah. Namun kapan? Ia belum punya pekerjaan yang bisa menghasilkan banyak uang. Hanya seorang petani yang tak memiliki tanah pertanian.
Di Lampung ia punya tanah perkebunan yang dibeli atas hasil keringatnya sendiri. Tidak seluas tanah milik ibunya namun lumayan memandirikan. Tanah itu telah dijual bersama tanah ibunya demi pindah ke kampung ini, namun ia belum beroleh uang hasil penjualan tanah miliknya secara utuh. Ibunya malah memercayakan agar tanahnya pun ikut dijualkan oleh abang tirinya. Dan sampai sekarang belum dibayar lunas juga. Ia baru beroleh 3,5 juta dari 10 juta uangnya. Dan uang itu digunakan untuk biaya pernikahan. Ia geram, menganggap ibunya bodoh, memercayakan sesuatu yang bahkan bukan miliknya pada orang tak tepercaya atas dasar pilih kasih.
Ia merasa dunia kejam dan tidak adil. Namun Kana bilang bukan dunia yang kejam melainkan hidup yang kadang tidak adil untuk lebih mendewasakan dan mematangkan kita. Dan ia coba memercayai nasihat istrinya.
Ia pernah mengeluh pada Kana, kurang apa aku dalam memperjuangkan hidup jika ibuku lebih menyayangi abangku. Ya, abang beda ayah yang sama sekali tak peduli bahkan membencinya. Pernah pula nyaris membunuhnya. Ah, begitu pahit kenangan itu. Hidup tanpa orang tua kandung. Terikat utang budi sepanjang hayat. Sekeras apa pun ia coba menyenangkan hati ibunya, bahkan dalam hal uang, tetap saja dianggap kurang. Suatu waktu, pada Kana, ia pernah dengan kesal bilang, “Bukan aku yang menumpang pada ibu tapi ibu yang menumpang padaku!”
Itulah faktanya. Ia bosan berada dalam situasi serba salah. Tak membantah ibunya yang digerogoti penyakit darah tinggi. Ia sudah terbiasa dengan suasana hati ibunya yang mudah berubah-ubah, tetapi Kana tidak dan selalu khawatir ada yang salah hingga tak betah.
Ia khawatir pada Kana yang makin kurus. Tadi istrinya cuma makan sedikit nasi sisa kemarin yang agak basi sebab enggan menyentuh yang baru ditanak Ibu. Alasannya sayang jika memubazirkan beras. Mereka kehabisan beras, kebanyakan dipinjam Nini. Kana tadi masak sayur sebab tidak suka masakan terlalu asin yang biasa dimasak mertuanya. Lidah Sunda-Jawanya tidak menyukai citarasa terlalu pangsit. Namun kemudian tidak makan siang, malah jelang sore minta izin untuk menginap di rumah ibunya. Ia tak bisa melarang meski enggan dan kehilangan. Kana mulai tidak nyaman dan harus fokus belajar.
Ia memikirkan pekerjaan. Musim panen jagung tinggal 1-2 bulan lagi, barangkali ia bisa dapat uang dari bekerja memanen dan menjadi buruh pikul jagung orang lain. Ia kurus karena kurang makan dan banyak kerja. Kana pernah tanya apakah ia dan ibunya biasa makan enak. Heran dengan jawaban bahwa ibunya tak pernah masak daging dan sejenisnya yang enak-enak. Entah jika ia tidak ada. Justru dari Kanalah ia bisa makan ikan dan daging. Ia kasihan pada Kana yang tampaknya harus menemani berperan sebagai pihak yang berusaha menyenangkan orang lain sampai mengorbankan diri sendiri.
Akan tetapi, Kana adalah Kana. Tak menuntut banyak. Perempuan mandiri yang tak peduli ucapannya agar bisa mengambil hati sang ibu sebab siapa tahu mereka membutuhkan uangnya. Bagi Kana berbuat baik itu penting, tetapi ia butuh keramahan bukan uang. Ia tidak peduli uang mertua apalagi uang ibunya. Masa depan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan secara mandiri. Itu membuat ia iri pada istrinya. Tak peduli perhiasan, materi, uang berkelebihan yang semestinya menjadi impian tiap perempuan.
Ia tidak memahami ibunya. Baik pada orang lain tetapi tidak pada dirinya, sang cucu. Apakah kebaikan itu harus pilih-pilih dan dibedakan? Ibunya punya sawah yang baru dibeli seharga 25 juta di kampung ini, dibeli dari adik lelakinya yang tinggal di Bandung, tetapi sawah itu sebelumnya telah digadaikan anak lelaki dari adik perempuan ibunya sebesar 2 juta pada pihak lain tanpa sepengetahuan adik lelaki ibunya. Sawah itu mestinya dicabut saja sebab hasilnya tidak jelas dan sampai sekarang tidak dikembalikan keponakan ibunya, sudah berbulan-bulan. Namun ibunya membiarkan dengan alasan kasihan.
Ia heran ibunya lebih kasihan pada orang lain daripada diri sendiri dan cucunya. Ia heran ibunya lebih ribut untuk menolong orang lain saat ia dan istrinya yang berusaha mandiri mencoba tak berutang malah dirongrong agar meminjamkan uang. Ia heran ibunya begitu keras kepala seolah merasa paling benar dan tidak memaafkan besan yang merasa tidak menyebarkan hal-hal tidak benar, sampai istrinya bilang, “Ibumu seperti pendendam.”
Ia tahu Kana tidak nyaman. Ia sama tidak nyamannya namun tidak tahu harus ke mana lagi tinggal. Ia mendiskusikan peluang kerja di Tangerang sebagai buruh bangunan. Kana setuju meski keberatan soal 1 bulan tidak pulang. Kana bersikeras agar diperbolehkan menjenguk dan menginap sebentar di mana saja. Tak ada perdebatan.
Namun sekarang, dalam kesunyian dan kemarahan, ia sungguh takut perkawinan mereka akan bubar. Istrinya pernah ajukan pertanyaan tentang perceraian. “Bagaimana seandainya jika kita bercerai?” Ia bantah dengan tidak ada perceraian. “Bagaimana jika ibumu atau siapa saja menyuruhmu menceraikan aku?” Tidak akan! Ia bilang, keras dan tegas,  tetapi ada rasa ragu diam-diam menelusup jiwanya.
Dan keraguan itu seolah menguar di  udara kamar yang lembap dan dingin sampai sekarang.
“Allah benci perceraian!” Ia coba gemakan ulang pernyataan itu sebagai jawaban kenapanya Kana, dalam jiwanya yang basah oleh luka. Teringat janjinya pada malam pertama pernikahan mereka. Ia ingin seperti kedua orang tuanya, saling mencintai sampai ajal memisahkan!***
Cipeujeuh, 29 Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D