Rabu, 13 Desember 2017

Seberapa dalam Lukamu?



Calon Novel [Tak Jadi] Rohyati Sofjan


/ Untuk Ujianto Sadewa
Dulu kau pernah meminta agar aku
menulis kisah perihal psikopatku;
ini hanya upaya untuk mengenal
kembali ceceran mosaik kenangan
dari hidup yang taksa.

FRAGMEN SATU
Date Rape 1994

Jumat Agung

      Mendung memayungi langit Kota Bandung di bulan November yang murung. Udara sengak seperti ada badai menggantung. Sayup-sayup terdengar khotbah Jumat dari masjid di dalam kompleks perumahan mewah Jalan Gatot Subroto, Kiaracondong. Dibatasi tembok tebal yang memisahkan dengan wilayah Warung Jambu.  Waktu menjelang Zuhur.
      Hanya sebagian dari penghuni kompleks perumahan itu yang peduli untuk menghadap Sang Maha Penyeru dan mengambil jeda demi peribadatan khusuk atau terpaksa.
      Khotbah usai. Berganti iqomat salat Jumat yang bergaung memenuhi udara padat partikel, membentur dinding sebuah rumah megah bertingkat dua dengan pintu garasi terbuka dan memperlihatkan sedan Civic putih keluaran terbaru yang masih mengilat. Halaman depan rumah tampak asri dipenuhi aneka tanaman hias dan pepohonan muda. Rerumputan dan dedaunan menghijau segar setelah kemarin diguyur hujan.
      Hanya ada sepasang insan berlainan jenis dan usia yang menghuni rumah itu, tak memedulikan seruan azan sebab ruangan dipenuhi suara riuh yang lain dari tape buatan Jepang. Ariana dan Kevin.
      Ariana, baru 15 tahun, tinggi 160 cm lebih, sedang membolak-balik album foto keluarga pemilik rumah. Ada foto Agi adik tiri Kevin yang lucu dan masih bayi, selain dirinya, Kevin, Nio, beberapa wajah dalam beberapa peristiwa, dan Renata!
      Foto Renata diambil Kevin secara diam-diam ala paparazi di sekolahnya. Manis, mungil, sedang berjalan sendirian sambil makan cemilan dari kantin melintasi lapangan luas tempat kendaraan biasa parkir, untuk menuju kelasnya di jam istirahat.
      Waktu itu Renata masih kelas 3 SMP. Berjilbab sebagai uniform wajib sekolahnya yang berbasis agama Islam ketat. Akan tetapi, ia sendri bukan jilbaber yang baik untuk memahami ajaran agamanya, masih ABG yang mudah terpengaruh dari keluarga sekuler, pencinta dunia populis yang sering teriritasi.
      “Mengapa kamu pajang foto ini?”” Ariana memecah hening, mengguratkan ketidakpahaman akan foto yang telah Kevin ambil sejak tahun lalu. Sekarang ia (Ariana, dan juga Renata) telah duduk di bangku kelas satu SMU.
      “Iseng saja!”” Kevin menyahut sambil tertawa senang menyaksikan ekspresi Ariana yang heran. “”Lagi pula,”” ia menambahkan pada gadis yang duduk di samping kirinya, ”untuk menambah ruang di album itu agar tak kosong.”” Ia mengangkat bahu, mereguk kaleng cola hingga tandas isinya. Meletakkannya di atas meja, dan tak peduli.
      Gelegar Deep Purple merambah ruangan dan kepalanya yang mumet dipenuhi… kebencian! Suasana sepi. Tadi Bibi, pembantu keluarga Kevin yang setia, ke pasar dan sampai sekarang belum kembali.
      Ia menoleh ke samping. Ariana masih khusuk dengan albumnya. Gadis itu tidak sadar atau tidak peduli diperhatikan sang pacar. Kevin menyeringai. “”Kamu lapar?”” meski mereka sudah makan kue tart.
      “Belum.”” Ariana menjawab tanpa menoleh ke arahnya. Gadis itu berkesan introfer dan tak pedulian. Itu membuat Kevin gemas untuk semakin dalam merambah wilayah penaklukan.
      Kevin, 180 cm lebih, agak kurusan daripada dulu, blasteran Indonesia-Amerika, atau indo atau mestiza; berambut hitam pendek agak ikal dengan alis tebal dan mata biru terang. Baru diterima di sebuah universitas Kota L.A. setelah sebelumnya hengkang dari London dan sedang bosan. Dulu tinggal di London sekadar ikut maminya yang telah menikah lagi dengan seorang pengusaha keturunan Tionghoa asal Indonesia yang berbisnis di sana.
      Sejak orangtuanya bercerai, Kevin, yang pada dasarnya sudah hilang pegangan, kian tak berpegang. Tidak tahu harus tinggal di mana. Rumah keluarganya di Beverly Hills seolah rumah mati.
      Sejak kedua orang tuanya bercerai, karena Papi diam-diam menikah lagi dengan sekretarisnya, masing-masing memilih tempat tinggal yang berbeda. Mami tinggal di London bareng suami barunya. Papi masih di L.A. cuma sekarang beda wilayah, tinggal dengan istri mudanya.
      Kevin? Luntang-lantung seperti dulu. Kadang menclok di rumah keluarganya, mencium hangatnya matahari Beverly; kadang di Bogor sekadar menemani neneknya dari pihak Papi, dan menyusuri jalanan yang selalu diguyur hujan, di kota itu Kevin menyelesaikan SMA-nya; kadang di Bandung seperti sekarang ini. Pernah juga di Manila untuk ikut kakeknya yang bekerja di atase perdagangan Amerika. Itu membuatnya menguasai beragam bahasa. Lagi pula, dalam darahnya mengalir “sungai” lintas benua dan budaya. Latin, Eropa, Amerika, dan Asia.
      Namun apakah ia bahagia?
      Ia sengaja pulang ke Indonesia dengan alasan yang menyesakkan dada, sengaja“liburan” musim gugur karena masalah keluarga. Selain itu, ada hal tertentu yang membuatnya ingin pulang dan dekat Ariana dengan alasan merayakan ulang tahunnya yang ke-19. Kevin ingin memberi hadiah bagi dirinya berupa: menuntaskan dendam!
      Ia terus memerhatikan Ariana dengan rambut keriting spiral yang panjang dan mengingatkannya pada seseorang. Mencoba mencari kemiripan dari sosok yang agak gemuk besar. Ariana tidak bisa dikatakan cantik. Kulit sawo matangnya cenderung memperlihatkan kesan manis. Bahkan wajahnya tak mudah menarik perhatian lelaki pemuja fisik pada pandangan pertama.
      Namun ia mengingatkan Kevin pada sosok lain: keseluruhan fisik dan kepribadian yang membuat sakit” itu kian menggumpal.
      Akan tetapi, Ariana, seperti seseorang di masa lalunya, punya daya tarik. Pancaran inner beauty-nya membuat ia disukai orang yang mengenalnya cukup baik, meski terkadang bisa juga menyebalkan. Barangkali karena itu Renata tetap lengket dengannya meski telah pindah rumah ke luar kota, nun di Garut sana.
      Secara keseluruhan, Kevin menilai, kedekatan Ariana dengan Renata mengganggunya untuk alasan yang membuat api kebencian itu kian berkobar.
      Apa salah Renata? Ia hanya terlalu lugu (atau goblok, dalam bahasanya) sebagai gadis muda yang berusaha meniti makna usia. Renata tuh si kurus mungil bertinggi sekira 150 cm, baru 19 tahun 11 hari November ini. Berdasarkan info dari Ariana, Renata pernah berhenti sekolah selama 3 tahun karena suatu hal yang membuatnya terpaksa selevel dengan Ariana.
      Jika Renata normal, Kevin kembali menilai, akan selevel dengannya dari segi strata pendidikan. Namun apa yang bisa diharapkan dari gadis yang sejak usianya 6 tahun telah menjadi seorang tunarungu tanpa pernah memakai alat bantu dengar? Barangkali kesangsian! Seringai Kevin kian lebar. Untung tak ada yang memerhatikan.
      Ariana telah usai menyimak album itu dan ia tampak bosan. Apalagi kemudian Kevin bercerita tentang ini-itu yang melintas di kepala. Bagi Ariana, Kevin sosok besar yang terkadang bermulut besar, bicaranya lancar sekaligus lancang.
      Ia tidak tahu mengapa harus mau berada di sini. Juga tidak tahu mengapa harus jadian dengan Kevin. Lelaki itu sejak pertama kali kenal telah mengejar-ngejarnya. Ia tersanjung namun tak yakin menyukainya. Ia mau saja menjadi pacar Kevin dengan alasan tak benar: kasihan pada kegigihannya.
      Sedang cinta? Apa sih cinta itu? Ia masih remaja untuk paham keseluruhan makhluk bernama cinta. Ia pacaran dengan Kevin bukan karena tak ada pilihan. Ia bebas memilih dan punya sederet daftar nama lelaki pengagumnya. Ia pacaran dengan Kevin karena bosan dikejar-kejarnya, titik!
      Dan Renata tidak tahu hubungan mereka. Ia terpaksa merahasiakannya. Kevin yang meminta dengan alasan menjaga perasaan Renata.
      Huh! Padahal Renata, yang tak terpahamkan itu, sibuk menyukai lelaki lain! Kalaupun menyukai Kevin, perhatiannya sulit dikategorikan sebagai naksir. Renata tuh si mudah kagum pada hal-hal baru yang terasa ajaib, keren, asing, dan sebangsanya.
      Sebenarnya Ariana geli, namun mau bagaimana lagi, Renata adalah sahabatnya. Orangnya sederhana dan apa adanya, kadang juga tak apa adanya namun tetap sederhana. Dan Ariana memercayainya sebagaimana Renata memercayainya pula. Sekarang, karena seorang Kevin, lelaki asing dari negeri lain, akankah mengacaukan persahabatan mereka?
      Lucunya, Renata menganggap Kevin sebagai seseorang yang layak disebut sahabat. Pernah juga mereka saling kirim surat, dan Ariana yang (terpaksa) jadi tukang posnya!
      Mengingat Renata yang nun jauh sana membuat Ariana ingin pulang saja. Ia capai. Masih ada PR yang harus dikerjakannya. Jika sudah bersama Kevin, kadang membuatnya sulit pulang. Kevin selalu punya alasan untuk menahan. Semacam melepas kangenlah karena pertemuan mereka termasuk kesempatan langka dan ia telah menempuh jarak ribuan mil demi Ariana.
      Tadi siang, ketika bubar sekolah, di pintu gerbang, Kevin membuat kejutan setelah sekian lama tak berkabar. Ariana senang melihatnya. Mengiyakan ajakan lelaki itu untuk main ke rumahnya. Merayakan ulang tahun Kevin berdua saja. Meski sudah lewat tiga hari dari tanggal semestinya.
      Ariana menguap. Mengibaskan kepalanya yang pegal. Tersenyum pada Kevin dan mengambil kaleng cola, mereguknya sedikit saja. Kevin masih bicara soal cuaca dan suasana kampusnya di L.A. sana, seolah-olah Ariana tidak tahu apa-apa.
      Alis Kevin mengerut melihat kuapan Ariana. “”Kamu ngantuk?””
      “Boleh lihat pajangan boneka itu?”” Ariana malah menunjuk ke arah lemari di dekat mereka. Ia lebih tertarik pada isi lemari itu daripada pembicaraan Kevin.
      Kevin mencoba menekan rasa jengkelnya karena ketidakpedulian Ariana yang lebih sering diam. ”Silakan.””
      Dipersilakan seperti itu, Ariana langsung beranjak ke arah lemari besar berisi pajangan koleksi pribadi Kevin. Ia cuma penasaran pada bentuk boneka Sailor Moon kecil. Bagus dan unik, pikir gadis itu. Asyik mengamati dan memegangi benda-benda yang tak pernah dimilikinya. Kevin tuh berasal dari keluarga tajir!
      Ariana cuma suka melihat saja tanpa tertarik untuk memiliki hal demikian. Ia sudah merasa cukup dengan hidupnya. Lagi pula, Renata tak seberuntung dirinya dalam hal materi, itu membuatnya mencoba melihat ke bawah. Namun orang macam Kevin barangkali tak paham karena serba berkelebihan. Kadang-kadang Ariana merasa di antara mereka ada semacam “jurang.
      Menyaksikan Ariana asyik sendiri dengan Sailor-nya membuat pikiran Kevin kian liar. Apakah sekarang saatnya? Ia tersenyum, memperkeras volume tape-nya, kali ini lagu ------- dari Led Zeppelin menggelegar. Ia suka Zeppelin. Entah mengapa mereka memberi nama demikian. Kevin serasa ingin terbang dengan balon udara, melayang di angkasa, terbebas dari segala kesesakan penjuru dunia.
      Dan ia “melayang” mendekati Ariana. Sekaranglah saatnya. Dengan gemetar diberanikan dirinya untuk melakukan hal yang biasa ia lakukan pada gadis lain: gadis kategori gampangan. Akankah Ariana gampang? Inilah ujian untuk mendapatkan jawabannya.
      Ia mendekat. Kian mendekat, boleh dikata mengendap, di belakang punggung Ariana. Dan kedua tangannya melingkar dengan cepat di dada gadis itu. Menekankan tubuhnya ke belakang tubuh Ariana. Begitu keras dan kuat.
      Ariana melonjak kaget. Mencoba membebaskan diri dari belitan tangan nakal Kevin yang melingkari sekaligus mengunci lengannya. Ia pikir lelaki itu cuma bercanda. Akan tetapi, dirasakannya tangan itu kian keras dan kasar menekan dirinya, memberi reaksi baru berupa sakit dan panik. “
      “Kevin, lepaskan!””
      Kevin tertawa. Lepaskan? Hahaha, impossible! Tahu rasa sekarang. Lagi pula, mana mau ia melepaskan mangsa yang telah sekian lama diincarnya.
      “Kevin, lepaskan!”” Ariana kembali mengulang, boneka Sailor yang dipegang terlepas membentur lantai, memberi tambahan bunyi asing bagi rasa panik yang kian gencar menghantam, membuat perutnya mual, wajahnya memancarkan ketakutan. Takut membayangkan hal-hal yang tak diinginkannya, apalagi hanya ada mereka berdua.
      Di telinganya Kevin mendengungkan tawa keras dan kata-kata yang membuat wajahnya menggelap ditelan kemarahan. Kali ini ia marah! Rontaannya hanya membuat Kevin kian bersemangat untuk menaklukkan dengan kasar. Tanpa pikir panjang lagi, ia gunakan kaki kanannya untuk menendang ke belakang. Ia harus dan hanya ingin membela diri. Kali ini Kevin telah keterlaluan. Bercanda yang kelewatan. Dan apa katanya tadi? Mengerikan!
      Kevin merasa ada benda keras menghantam bagian bawah tubuhnya dalam satu tendangan telak. Ia merasakan sakit yang luar biasa. Limbung. Melepaskan pelukannya. Dan terjengkang ke belakang dengan kepala menghantam lantai. Ia merasa pening dan gelap.
      Panik dan bingung, Ariana berbalik. Dilihatnya Kevin terkapar seolah tak sadar. Masih dalam percampuran rasa marah dan kalut, Ariana menghampiri lelaki yang dalam hitungan entah berapa detik tadi mencoba melakukan kejahatan seksual. “”Kevin!””
      Tak ada reaksi.
      Ia mengguncang-guncang tubuh Kevin yang seolah tenggelam dalam keterpejaman.
      Masih hidupkah? Dirabanya leher lelaki itu, masih ada panas dan denyut. Berarti hidup. Namun apakah Kevin hanya bersandiwara seolah-olah pingsan atau memang benar-benar pingsan? Bagaimana jika koma karena gegar otak di kepalanya?
      “Kevin bangun, bangun! Kamu tidak apa-apa?”” Nihil. Ariana berteriak memanggil siapa saja dalam kenihilannya sembari mengguncang-guncang tubuh Kevin. Dan waktu berlalu dari detik menuju menit, ia merasa terjebak dalam ruang hampa yang lama. Udara seolah memanas, keringat dingin meleler dari kening gadis itu dengan deras. Ia panik dan gugup, sekaligus gemetar dan takut. “
      “Tolong!”” Kali ini menaikkan oktaf suaranya, berharap ada yang mendengar dan bisa menolong membebaskannya dari suasana ganjil. “”Tolooooong!””
      Ada langkah kaki mendekat. Seperti bergegas, dari lantai atas. Menuruni tangga, menuju sumber suara. Tepat di anak tangga terakhir menuju ruang keluarga, langkah itu terhenti. Mematung.
      Ia Anton, anak angkat Bibi, masih 2 SMP. “”Apa yang terjadi?”” Sambil gegas menghampiri.
      Syukurlah. Ariana lega melihatnya. Namun ia harus membuat alasan. “”Tadi Kevin jatuh.”” Singkat saja. Sungguh ia tidak ingin dicecari setelah apa yang terjadi. Ia ingin segera pergi! Lagi pula, ia tidak tahu apakah Kevin serius pingsannya atau cuma bersandiwara.
      Anton menatapnya dengan aneh. Seperti heran campur curiga. “Jatuh?”” ulangnya begitu saja, setengah tak yakin. Lalu mengguncang tubuh Kevin. Tetap tak ada reaksi.
      “Aku harus pulang.”” Kata Ariana seperti suatu keputusan yang tak terbantahkan. Diraihnya tas dari kursi. “”Semoga ia lekas sadar.”” Ada gemuruh menghantam dada Ariana, kemarahan yang belum usai bergumpalan.
      Anton cuma mengangguk saja dalam kebingungannya. Tadi ia tidur, begitu pulas. Jujur, sepulang sekolah ia tidak ikut salat Jumat, alasannya malas. Tadi ia seolah bermimpi mendengar orang berteriak minta tolong. Ia tidak tahu apakah masih bermimpi sebab dihempaskan pada suasana ganjil ketika anak majikannya terkapar di lantai dengan seorang gadis setengah histeris. Ia mengendus aroma tak beres. Namun, ah, punya hak apa ia menilai? Ia merasa bukan apa-apa di tempat ini.
      Dan Ariana seperti setengah berlari dari ruangan ini. Anton pusing.
      “Eh, Mbak!”” begitu saja ia berteriak mencoba memanggil Ariana kembali sebab tak tahu apa yang harus dilakukannya.
      “Aduh….”” Ada suara dari sosok yang dipegangnya. Anton kaget.
      “Eh, Brother? Sudah sadar?””
      Lelaki itu meringis. Kemudian bangkit dipapah Anton menuju sofa panjang yang tadi. “”Ambilkan es batu untuk mengompres, please,” perintahnya.
      Anton mengangguk, “”Brother tak apa-apa?””
      “Hanya pening. Sekalian dengan air minum.”” Kevin memegangi kepala dan selangkangannya, “Aduh!”
      Bergegas Anton ke dapur mengambil pesanan Kevin. Agak panik sehingga tak sengaja menyenggol botol Sunkist di atas meja dekat tumpukan serbet bersih. Untung tak pecah, kalau tidak, isinya akan berceceran di lantai. Dan ia tak ingin membuat kekacauan.
      Diambilnya baskom kecil dan membentangkan serbet itu, kemudian membuka kulkas dan mengambil es batu secukupnya. Sekalian jug air minum dingin. Menuang es ke atas serbet lalu melipatnya. Menaruh baskom itu ke atas baki beserta jug dan gelas panjang. Lalu bergegas kembali ke ruang tengah. “
      “Ini, Brother. Perlu yang lain?”” tanya Anton sambil menuang air ke dalam gelas.
      Kevin mengompres belakang kepalanya dengan es. “”No, thank you,”” ujarnya lemah. Menerima gelas yang disodorkan Anton dengan ekspresi marah, “”I want alone, now!””
      “Saya ke dapur,”” kata Anton segan.
     “Tolong bereskan dulu semua kekacauan ini!”” Kevin menunjuk meja yang berisi bekas pesta, lalu ceceran Sailor Moon di lantai. “”Yang itu buang saja.”” Dengusnya sambil beranjak meninggalkan ruang tengah menuju tangga, agak sempoyongan. “Aduh, sialan!”” sambil memegangi belakang kepala dan tangan kirinya mengusap selangkangan. Meninggalkan Anton yang terbengong-bengong.
      Di luar, udara membentuk gumpalan tersendiri.
      Ada suara pintu kamar berdebam.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D