Rabu, 13 Desember 2017

Nin dan Dut



 

Jejak Rohyati Sofjan



Setiap melihat Palung, ada buncah rasa yang membuatku harus bertahan sekaligus berjuang. Ya, setelah begitu banyak hal yang kami alami bersama, sejak ia masih dalam kandungan. Palung bagiku keajaiban. Kelindan takdir dari Yang Maha Adil. Aku seorang tunarungu akhirnya bisa menjadi ibu, dan alhamdulillah panca indra putraku baiki-baik saja.

IA begitu lucu. Mungil dan lembut sebagai bayi yang belum genap dua bulan. Sekaligus kurus. Membuatku pedih saat menyusuinya, Palung selalu harus berusaha kuat untuk menyedot ASI hingga kepalanya terangguk-angguk ke depan sebagai upaya penyedotan.
Dan dibanding bayi lain yang seusianya, ukuran tubuh Palung lebih kecil. ASI-ku kurang subur dengan payudara kecil dan tubuh kurus mungil seolah kurang gizi. Berat badanku tak bertambah juga, malah berkurang; dan memengaruhi pertumbuhan Palung.
Aku cemas, hantaman masalah dalam keluarga sampai finansial jujur saja membuatku kurang makan meski aku ingin makan lebih banyak dan lebih bergizi. Suamiku hanya buruh harian lepas yang kadang kerja kadang menganggur. Lebih sering menganggur karena ia telah melepas pekerjaannya di Tangerang sebagai buruh bangunan agar bisa bersama keluarga dan menjaga anak istri. Uang adalah masalah bagi kami berdua; menyangkut kelangsungan hidup. Palung terpaksa mendapat tambahan susu dot.
Suami adalah hal terbaik dalam hidupku. Ia lelaki yang baik dan sabar meski sering ceroboh dan sembarangan. Begitu bersahaja cara pandangnya, sesahaja caranya mencintai anak dan istri. Merawatku yang masih lemah dan sakit sehabis melahirkan Palung dengan cara caesar karena aku tidak punya tenaga kala persalinan, sekaligus merawat bayi.
Tanpa suami di sisi, entah akan bagaimana aku jadinya. Aku selalu membutuhkan suami. Bagaimanapun perbedaan kami. Kehadiran Palung kian menyatukan ikatan cinta dengan suami. Buah hati kami memberi sapuan warna yang sebelumnya tak pernah dikenal. Ia mendewasakan kami sebagai orangtua yang sedang bermetamorfosis. Sekaligus pengingat bahwa menjadi orangtua bukanlah hal yang mudah. Palung adalah amanah dari Allah.
Palung mengajar sabar sejak masih dalam kandungan. Bahkan sampai sekarang pun ia masih menguji kesabaran kami. Begitu melelahkan namun semua terasa pudar jika melihat senyum Palung dan segala polahnya yang ekspresif menggemaskan.
Suami adalah insan yang paling berbahagia dalam keluarga. Wajahnya selalu berubah, dari lelah atau kesal menjadi sumringah tiap melihat Palung atau sekadar mengingatnya saja. Tentu aku senang dengan perubahan itu. Dulu waktu aku masih hamil ia selalu risau meski bahagia dengan kehamilanku.
Setiap malam kupandangi wajah suami dan Palung yang terlelap. Begitu tenang dunia kami, dunia di dalam kelambu. Palung bobo dengan ekspresinya yang kadang mulutnya masih suka mut-mut seolah sedang enen, kadang pulas dan hanya menyisakan tarikan nafasnya yang lembut dan teratur.
Dan suami, duhai, wajah itu begitu damai dan bahagia. Segala persoalan dunia yang ruwet seolah jeda dalam lelapnya. Ia sangat menikmati dan menghayati perannya sebagai ayah. Suami tipikal ayah rumah tangga yang tak keberatan berbagi tugas dengan istri, termasuk mengurus Palung.
Cucian yang menumpuk bisa dua ember penuh setiap harinya merupakan tugas rutin suami, membawanya ke pancuran dan menjemurnya di belakang. Begitu terus setiap pagi. Tentu melelahkan, namun dilarang jemu karena merupakan risiko sebagai orang tua. Sebelumnya banyak orang bilang kami akan repot dengan cucian, namun membayangkannya seperti apa tak pernah tebersit di benak kami.
Kekhawatiran utamaku adalah telingaku yang tak berfungsi, namun subhanallah, Palung ternyata cerdas, bisa mengomunikasikan apa yang diinginkannya saat usianya baru dua bulan. Aku mengajarinya dengan kata enen atau dot jika ia ingin menyusui atau mimi susu formula. Palung ternyata mengingatnya dengan baik. Ia tak perlu menangis, tinggal bilang “nin” atau “dut” dengan cara lucu.
Namun pernah ada satu kejadian yang membuatku menyesal sampai sekarang, aku memarahi Palung yang minta dot, kukatakan enen saja karena masih pagi dan nanti siangan. Aku kuatir ia sakit perut karena efek ngedot suka gitu. Palung hanya diam, namun ekspresinya seakan menyiratkan ia tahu habis dimarahi. Padahal keinginan Palung tak berlebihan, pagi itu kualitas ASI-ku turun karena aku belum sarapan. Dan biasanya jika tak puas Palung akan mewek minta dot, namun kali ini ia hanya diam. Anakku sayang, maafkan ibumu yang masih harus banyak belajar. Terutama dalam kesabaran!***
Cipeujeuh, 14 Juli 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D