Sabtu, 30 Desember 2017

Kolaborasi 20 Penyair JPIN Melepas Puisi




DATA BUKU
JUDUL          : Kunang-kunang dalam Gelas, Antologi Puisi Pilihan JPIN 2013
PENULIS      : Tri Harun Syafii, dkk
PENERBIT   : Pustaka Nusantara
CETAKAN    : Pertama, Oktober 2013
TEBAL          : 156 Halaman
ISBN              : 978-602-7645-14-1
HARGA          : Rp35.000

MENERBITKAN buku kumpulan puisi adalah pekerjaan berisiko, apalagi dari penyair yang tak begitu dikenal khalayak luas. Namun syukurnya masih ada penerbit yang rela menempuh risiko demikian demi idealisme. Meskipun hanya penerbit indie.
Pustaka Nusantara (Oase Qalbu) merupakan penerbit indie yang menaungi komunitas penulis nasional Jaringan Pena Ilmu Nafia (JPIN). Kunang-kunang dalam Gelas adalah antologi puisi pilihan edisi perdana tahun 2013, diisi oleh 20 penyair dengan latar belakang berbeda dari berbagai daerah se-Nusantara yang bernaung dalam komunitas JPIN.
Dari total 113 puisi karya Asidia Akasa, Azizah Nur Fitriana, Bondan al Bakasiy, Buk Nung, Corny Azis, Dwiyanto Susilo, Irma Safitri, Kuntum Khoiru Ummah, Kurniawan Al Isyhad, Lathifah Edib, Meidi Candra, Mulyoto M., Nadia Aslima, Nasta’in Ahmad, Nenny Makmun, Novy Noorhayati Syahfida, Titi Haryati Abbas, Tri Harun Syafii, Wahyu Prihartini, dan Wyaz Ibn Sinentang; ada yang berpijar terang sinarnya.
Asidia Akasa barangkali tak begitu terkenal, namun perempuan kelahiran 6 Mei 1995 dan lulusan SMA 1 Pegandon, Kendal, tahun 2012 itu layak diperhitungkan. Meski menekuni dunia menulis sejak pertengahan tahun 2012, imajinya dalam memainkan metafora puisi tidak mentah.
Mengentak dalam “Otoredoks”: Kau orang yang membuatku berarti sekaligus tak berarti/ Yang membangun kuil cinta dan meruntuhkan dengan tanganmu// Yang memberiku mimpi untuk diterbangkan dengan balon udara/ Tapi, mengkaitkan jangkar di kakiku// Yang menghembuskan semangat/ Bersamaan menjejali jiwa dengan keputusasaan// Jika cinta yang membuat segalanya indah/ Dan menaikkan bentang tekad berjuang/ Adalah reduktor// Dan lawan cinta memberikan gemuruh tak berasas/ Agar aku mundur menjadi oksidator// Kau adalah keduanya/ Yang begitu otoredoks/ Membuatku berharap tanpa bertahan sakti di harapanku//
Kerumitan pemikiran Asidia menggambarkan betapa puisi sering takluk dalam himpunan rasa tak terdefinisikan. Meskipun demikian, ia masih harus belajar mengolah susunan kalimatnya agar selaras dengan kekinian gramatika. Seperti meluluhkan ‘mengkaitkan’ jadi ‘mengaitkan’, dan ‘menghembuskan’ jadi ‘mengembuskan’.  
Novy Noorhayati Syahfida, termasuk penyair yang produktif. Karyanya bertebaran dalam banyak antologi puisi bersama sampai tunggal. Ada 10 puisi Novy dalam antologi ini. Sebagian masih bercerita tentang senja dan samudra. Ditambah langit dan angin. Seakan empat hal itu merupakan sumber inspirasi terbesarnya untuk mendedahkan perasaan.
“Kudekap Angin” begitu melodius sekaligus meruah. kudekap angin yang menderu-deru di samping tidurmu/ ketika bintang mengukir namanya pada jam waktu// hujan terbatuk-batuk di luar jendela/ menawarkan gelisah mimpi pada senja/ dan kau pun terbangun dari tidurmu// kudekap angin yang menderu/ yang suaranya tiba-tiba menyeru kepadaku/ bahwa kau tak lagi di sisiku//
Seperti biasa, Novy masih lihai mengolah kata untuk menggambarkan perasaannya bagaimana. Pada dasarnya perasaan yang terdedah memiliki ukuran kedalaman yang sulit diuraikan oleh rangkaian kata. Hanya penyair yang pantang menyerahlah mampu menaklukkan kata agar gemanya mengada kala dipuisikan.
Seperti dalam tulisan saya yang pernah dimuat koran Jawa Pos, (baca “Puisi yang Dimabuk Senja”, ==Februari 2014, Novy lemah dalam gramatika. Menulis ‘dimana’ sebagai imbuhan padahal mestinya kata depan yang dipisahkan jadi ‘di mana’. Dalam puisi “Dimana Kau Berpijak”. Semoga ke depannya Novy berubah lebih baik dalam gramatika. Memahami EBI (ejaan Bahasa Indonesia) terkini.
  Dalam puisi pun, tanpa kita sadari malah bisa membuat semacam quote, tanda kutip, atau ungkapan kalimat pilihan yang mengena dalam kehidupan. Hal itu dilakukan Lathifah Edib. Entah apakah ia merasakan semacam delirium (ketidaksadaran) kala menulis, “Suatu hari puisimu pun akan sembunyi. Lalu hidup kembali./ Binarnya melebihi pelangi. Tahukah kau, apa yang membuatnya/ begitu berarti meski jasad kita mati?”//
Pada umumnya penyair memilih daya ungkap yang dirasa tepat untuk mewakili perasaannya. Pengaruh bacaan yang beragam, terutama puisi karya siapa saja, akan membawa sapuan warna jiwa pada karyanya. Untuk bermain rima atau metafora.
Meidi Chandra membiarkan puisinya kaya pengaruh untuk bermain rima. Entah bentuk syair lama yang akhir suku katanya serupa. …Membunuhku dalam gigil/ Menyuling lengang jalan-jalan kecil/ Membaca pesan rintik mungil/ Menikmati gemericik di atas hangatnya katil// (“Delia Kasih-Mu Tak Akan Pernah Purba”).
Rima (pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik sajak maupun pada akhir larik sajak yang berdekatan), banyak dipilih penyair untuk memperkuat estetika puisi mereka, agar isi yang disampaikan beroleh bingkai bahasa puitis melodius.
Ada rima yang mengalun lembut dan lamban atau meruah cepat seperti yang dipilih Widia Aslima dalam “Bersimpuhlah di Telaga Kasih”. (1) Dekapanmu begitu hangat. Biaskan cahaya yang menggugah/ semangat di kala jiwaraga ini sudah goyah diamuk resah. Saat tiada yang bisa mengerti, hanya engkau yang setia di sisi…..
Widia bermain dengan repetisi yang berganti. Seperti akhiran -at, -ah, -i, dan sebagainya. Bentuk puisi terkini. Sebuah bentuk hasil adaptasi dari beberapa pengaruh puisi beragam angkatan.
Titi Haryati Abbas pandai memilih judul panjang yang puitis, “Akulah Debu yang Ingin Memeluk Matahari”. Kalimat puisinya yang panjang-pendek seakan mengikuti suasana hatinya yang meruah, atau stimung (suasana hati yang menggejela) tanpa jeda.
Sementara gerimis tergesa menuntaskan tetesan terakhirnya/ Mimpiku meruah di ruas-ruas pekatnya/ Tentang sebongkah harap yang kusimpan diam-diam/ Melintasi cakrawala, membingkai pelangi//
Beberapa penyair tampaknya butuh sentuhan editor bahasa agar karya mereka apik dibaca. Bukan sekadar karya cukup jadi yang seadanya tanpa suntingan jeli. Masih ada penyair yang typo atau tak paham kaidah kebahasaan. Kurang penguasaan dasar ejaan bahasa Indonesia. Semoga JPIN dan Penerbit Pustaka Nusantara bisa membimbing mereka.
Kunang-kunang dalam Gelas adalah antologi puisi yang mendedahkan sekian “warna jiwa” beragam penyair dari berbagai daerah di Indonesia. Antologi se-Nusantara. Penuh sesak dengan beragam gaya ungkap, bahkan bahasa daerah. Mereka bicara mengenai cinta, luka, bahagia, kritik sosial secara liris metaforis maupun verbal. Dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan hidup sendiri, ketika pengalaman butuh ruang kontemplasi agar tak pudar digerus arus waktu hingga lupa.
Mereka yang mengisi puisi ini mungkin kebanyakan bukan penyair terkenal. Ada yang pemula, bahkan puisinya terasa mentah karena penyairnya belum lihai mengolah kata. Namun buku ini merupakan dokumentasi abadi bagi perjalanan berkarya mereka. Siapa tahu buku ini merupakan awal, agar para penyair yang terlibat dalam kolaborasi mengantar puisi menjadi pemuisi yang lihai menangkap momen puitik, agar mengada sebagai puisi sendiri. Puisi yang beresonansi!***
Cipeujeuh, 29 Desember 2017




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D