Rabu, 13 Desember 2017

A Piece of Crazy Mind




“Pada lelaki yang murung
bagaimana puisi berjatuhan
dari kelopak matanya yang hujan
ketika awan di langit menghilang.”

Kubaca musim, kau berlagu tentang mendung
dengan riang. Dan cinta gugur seumpama daun
ranggas dimakan waktu, sedang kayu lapuk di hatiku
dipenuhi cendawan yang Neruda tebar.
Hidupku menggantung di awang-awang.
Sejauh cita-cita tak tergapai, impian tak kesampaian,
atau kehendak yang enggan terpuaskan.

Kau masih menerka bagaimana cuaca hari ini,
atau curah hujan berapa kubik dari ketinggian
berapa depa langit terbuka; sembari membayangkan
Efrosina melayang-layang diiringi orkestrasi Chopin
dalam derai angin.

 Ah, hidup yang sulit, teka-teki pelik;
segalanya mengabur.
Dan aku mengantuk di sudut, mencoba memasuki
zona mimpi tentang persetubuhan
dengan seorang lelaki, yang entah siapa ia
namun tiba-tiba mengajak bercinta, menyelimuti
tubuh telanjang kami dengan keringat hasrat
bergelombang. Saat itu kulihat
diriku tak lagi berkerudung, tak kenal hijab,
dengan rambut tergerai ke bahu dan wajah disepuh lampu.

Aku tidak liar, tetapi libidoku yang menggelepar
enggan ingkar, dalam dingin seperempat abad
lebih dinding rahimku luruh tiap bulan
tanpa dibuahi sperma seorang lelaki.
Dan percayakah kau, dalam soggy dream,
aku bercinta dengan lelaki yang tak pernah kukenal
sepanjang sejarah hidupku yang perawan.
Sementara buku agama akan berfatwa,
itu setan yang menyaru dalam wujud lelaki jantan
dengan rambut dan janggut awut-awutan,
seperti dalam klip iklan;
kala ibadahku berantakan, hidupku stagnan,
karena futur iman.

Dan kau tahu sekarang.
Aku berubah jadi perempuan matang,
yang tergila-gila pada senyum lelaki mana saja
sampai lupa menebar senyum, hanya karena telah lama
kehilangan senyum seorang lelaki tertentu
yang tidak untuk memikatku;
sedang lelaki itu telah lama sekali
tak terlihat lagi.
Meski barangkali diam-diam ia menyaksikan
sepak terjangku di kejauhan, dengan mata menyipit
atau kening bekernyit; dan dagu kehijauan bekas ritual,
yang ingin kupersaksikan!

Jangan katakan aku perempuan jalang.
Aku bosan beronani dengan mimpi,
atau menyaksikan onani orang lain
tentang konsep cintanya yang eksistensialis.
Kusadari kini, aku tak yakin untuk menghidupkan
seorang Simone de Beauvoir silam dalam jiwa
masa depan, demi mencari cinta Sartre sejati.
Ia telah lama kukubur jauh di antara bintang-bintang
Utara dan Selatan. Lantas aku menerka
di mana persisnya Bintang Soraya
yang kau puja, agar aku pun larut dalam pesonanya;
kala cahaya fajar menyibak langit Tenggara.
Sebab mata telanjangku letih menyaksikan
parade manusia yang mengiklankan benda-benda,
sampai kehilangan rupa mereka.

Kau tahu kini, aku takut kehilangan rupaku,
sebagaimana telah lama aku kehilangan rupanya.
Apakah kau takut kehilangan rupamu?
Gudang, 23 Mei 2003


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D