Sabtu, 18 November 2017

Pemuda Dungu dan Keledai



Dongeng Rohyati Sofjan


ADA seorang pemuda yang dikenal dungu di desanya. Ia berniat membeli kuda ke pasar ternak di kota. Pemuda itu merasa yakin akan bisa membeli kuda terbaik yang kuat dan cepat. Ia ingin bisa bepergian ke mana saja dengan kudanya. Pemuda itu telah mengumpulkan uang yang susah payah ditabung dari pekerjaannya  sebagai petani.
“Dengan kuda,” gumam pemuda dungu, “aku bisa langsung menjual hasil pertanianku ke kota. Tak perlu lagi menjual murah pada tengkulak karena tak ada pilihan. Aku tak mau selamanya dianggap dungu oleh orang-orang!”
Dengan langkah mantap pemuda itu menyusuri jalan ke kota saat fajar baru saja merekah. Jadi perjalanan panjang yang ditempuhya selama berkilo-kilo meter menuruni bukit menuju kota tak dirasa melelahkan. Pemuda dungu membawa cukup perbekalan untuk perjalanan panjangnya yang kali ini dilakoni dengan riang.
Setiba di kota, hari jelang siang, dengan uang yang ada pemuda dungu berhasil membeli seekor kuda jantan yang sehat dan kuat. Si penjual bilang kuda ini kuda yang terbaik. Perlakukan dengan baik sebagai hewan peliharaan agar patuh dan setia, pesannya. Pemuda dungu mengiyakan. Si penjual lalu memberi cap nama pemuda dungu pada bahu kanan kuda. Cap itu dari besi panas yang ditempelkan agar meninggalkan tonjolan nama pada kulit kuda. Kata si penjual untuk jaga-jaga agar tidak dicuri orang dan bisa sebagai bukti sah kepemilikan.
Karena belum bisa berkuda, si pemuda menuntun kudanya berjalan pulang kembali ke desa. Sebelumnya, ia menyempatkan diri membeli perbekalan di pasar kota. Bahan makanan dan bibit tanaman, berikut pupuk dan obat-obatan untuk pertanian. Semuanya disampirkan di punggung kuda dengan tas khusus untuk mengangkut perbekalan yang juga dibelinya. Pemuda dungu pulang dengan riang. Ia menuntun kudanya dengan hati-hati karena belum terbiasa. Kuda itu menurut dengan jinak. Sesekali pemuda dungu menepuk lembut badan kuda dan mengajaknya bicara.
“Kamu akan kuperlakukan dengan baik di desa. Kamu akan beroleh cukup makan dan minum, juga perawatan.”
Si kuda cuma meringkik saja.
Setelah berjalan cukup lama, si pemuda kelelahan dan mengajak kudanya istirahat di dekat mata air. Si kuda merumput setelah minum air. Pemuda dungu makan perbekalannya. Angin sepoi-sepoi membuat pemuda dungu mengantuk, ia tidur di bawah rindang pohonan. Kuda ditambatkan di cabang pohon yang menjorok.
Saat pulas tidur itulah, ada seorang peternak sedang menyeret keledainya dengan kasar. “Dasar binatang lamban!” umpatnya sambil terus mencambuki badan keledai agar jalan cepat. Namun si keledai tidak terima dicambuki terus, sesekali mogok karena ngambek dengan perlakuan kasar tuannya. Namun si peternak seperti tidak peka pada perasaan binatang. Hanya menganggap binatang tak lebih hewan peliharaan yang bisa diperlakukan sesukanya.
Ketika si peternak hendak beristirahat di tempat pemuda dungu. Ia iri pada kuda yang dimiliki si pemuda. “Bagus sekali kuda itu,” pikirnya. “Berbeda dengan keledaiku yang bodoh.” Ia mengaso sambil terus memerhatikan kuda yang merumput dengan tenang. Ketika disadarinya siapa pemilik kuda itu, seorang pemuda yang terkenal dungu di desanya! Niat jahat muncul di hati peternak.
“Akan kutukar keledaiku dengan kudamya.” Pikirnya. Lalu dengan hati-hati menurunkan tas perbekalan yang bertengger di punggung kuda. Menurunkan beban di punggung keledainya dengan tas perbekalan si pemuda. Menaikkan tas perbekalan peternak di punggung kuda. Tentu saja si keledai kaget karena bebannya lebih berat dari tadi. Masih dengan gerakan hati-hati agar tak menimbulkan kegaduhan, Si peternak menuntun keledainya ke tempat kuda tadi ditambatkan. Lalu mengendap-endap menuntun kuda si pemuda ke tempat yang agak jauh. Setelah itu si peternak menaikinya dan menghela kuda agar segera melesat meninggalkan tempat semula.
Ketika si pemuda bangun dari tidur siangnya yang nyaman. Matahari tak seterik tadi. Ia beranjak menuju kudanya. Namun alangkah terkejutnya si pemuda karena kudanya telah berubah bentuk lebih kecil dari semula. Pemuda dungu mencubit pipinya sekadar memastikan tidak sedang bermimpi. Namun hewan yang baru dibelinya tetap berubah jauh lebih kecil daripada semula.
Dengan bingung si pemuda berjalan mengelilingi “kudanya”, mengusap-usapnya sekadar memastikan nyata. Lalu tibalah si pemuda pada kesimpulan sembarangan, barangkali kudanya berubah kecil karena kelelahan menempuh beban berat dalam jarak yang sangat jauh.
Pemuda dungu mengusap-usap bahu keledai. “Akan kurawat kamu dengan baik, cukup makan dan minum agar badanmu pulih seperti semula,” katanya lembut. Si keledai hanya meringkik.
Begitulah, pemuda dungu menuntun “kuda”-nya pulang tanpa menyadari bahwa binatang yang dituntunnya adalah keledai. Dan menepati janji untuk merawat hewan peliharaannya dengan baik. Tidak mempermasalahkan bahwa “kuda”-nya tak sebesar semula, berpikir barangkali ia telah membuatnya sakit dan kelelahan sehingga berubah wujud.
Perlakuan semacam itulah yang membuat keledai setia dan tetap sehat sampai sekarang. Membantu pemuda dungu membawa hasil pertaniannya untuk dijual ke kota. Tidak rewel sebagaimana pada majikannya semula yang kasar dalam memperlakukan binatang.
Dengan bantuan keledai itulah, hidup pemuda dungu jadi lebih makmur. Ketika ia telah memiliki cukup uang untuk membeli kuda lagi agar bisa meringankan beban keledai, bersama keledainya pemuda dungu pergi ke pasar ternak di kota. Kali ini pemuda dungu bisa tiba lebih pagi karena menaiki punggung keledai. Ia berangkat sebelum fajar merekah seperti bertahun-tahun lalu.
Pemuda dungu menemui penjual kuda yang dulu. Membeli seekor kuda betina yang kuat dan sehat. Setelah usai jual beli dan si penjual melakukan apa yang biasa dilakukan pada pembeli; wanti-wanti agar memperlakukan kuda dengan baik, lalu memberi cap pada badan kuda.
“Bagaimana kabar kudamu yang dulu?”  tanya si penjual ramah.
“Kudaku baik-baik saja,” kata si pemuda dungu sambil menunjuk “kuda”-nya yang ditambatkan tak jauh dari mereka.
Demi melihat bentuk yang ditunjuk, si penjual garuk-garuk kepala kebingungan. Ia yakin telinganya tak salah dengar, tadi pembeli setianya bilang ‘kudaku’.
“Yakin itu kuda yang dulu kamu beli di sini?” si penjual memastikan. Pemuda dungu mengangguk mantap.
“Lihatlah, sampai sekarang tetap sehat dan kuat.” Katanya bangga. Ia baik-baik saja memperlakukan hewan sampai hidupnya jauh lebih makmur daripada dulu, dan bisa membeli kuda lagi.
“Boleh kulihat?” Tanpa menunggu persetujuan, si penjual gegas menghampiri makhluk yang diyakininya adalah keledai. Si pemuda mengekorinya sambil menuntun kuda. Si penjual memeriksa keledai, jelas ini memang keledai dan tak ada cap nama pemuda dungu yang pernah ia terakan di atas kulitnya.
“Ini keledai!” Seru si penjual prihatin.
“Keledai?” pemuda dungu kebigungan, seumur hidupnya baru kali ini ia mendengar kata itu. “Apakah itu?”
Bukannya menjawab, si penjual memandang pemuda dungu sambil menilai bahwa pembeli setianya barangkali telah ditipu. “Bagaimana bisa berubah seperti ini?” tanya si penjual iba.
“Aku tidak tahu,” pemuda dungu kini kebingungan memandang keledainya. Apa beda kuda dengan keledai? Jika ini memang keledai yang lebih kecil daripada kuda, bagaimana caranya hingga bisa berubah?
“Bagaimana bisa tidak tahu?” Si penjual mencoba sabar. “Tidakkah seseorang menipumu?”
“Menipuku?!” Pemuda dungu tersentak. Kali ini wajahnya berubah muram. Ia seseorang yang terkenal dungu di desanya, sudah seberapa sering dirinya ditipu?
“Coba ingat,” kata si penjual masih dengan sabar. “Barangkali kamu bertemu seseorang yang menukar kudamu diam-diam atau terang-terangan?”
“Sama sekali tidak,” geleng pemuda dungu. “Ah, aku tidak yakin betul.” Ia mulai berpikir. “Dalam perjalanan pulang usai membeli kuda, aku tertidur di bawah pohon tepi jalan. Lalu saat bangun kulihat kudaku telah berubah wujud. Aku tidak tahu mengapa.” Ia menunduk sedih sambil mengelus-elus punggung binatang yang kini diketahuinya adalah keledai. Namun si pemuda dungu telanjur sayang pada keledainya.
“Pasti seseorang telah menukar kudamu dengan keledai itu!” kesal si penjual, ia tidak tahu haruskah kesal pada pemuda dungu atau pencuri kudanya.
“Biarlah,” kata si pemuda dungu. “Aku ikhlaskan saja. Toh, aku telah dapat ganti lagi berkat keledai ini.”
“Biar kusuruh orang untuk ikut mengawal kudamu sampai tiba dengan selamat di desa!” Kata si penjual tegas. Memanggil pekerjanya untuk mengawal pemuda dungu berikut kuda dan keledainya ke desa agar kejadian yang dulu tak terulang lagi.
“Berhati-hatilah,” kata si penjual sambil menyalami pemuda dungu yang mengangguk mantap.

Syahdan, setelah lima tahun lewat. Pemuda dungu kian makmur saja dalam usahanya. Ia telah menikah dan baru punya anak. Tanah pertaniannya kian luas, pemuda dungu selain bertani juga mengelola peternakan kecil-kecilan. Ia telah mampu menggaji orang untuk membantu pekerjaannya agar berkembang lebih baik.
Pemuda dungu belajar dari kehidupan agar tidak lagi dungu. Perempuan yang dinikahinya selain cantik dan baik budi, juga terpelajar. Jadi pemuda dungu bisa belajar banyak dari istrinya. Namun pemuda dungu tetap memperlakukan dengan baik hewan-hewan peliharaannya. Termasuk keledai yang telah banyak membantunya sampai sekarang. Pemuda dungu tak menyesal punya keledai.
Sedang peternak licik yang serakah telah menukar keledai miliknya dengan kuda pemuda dungu itu, malah beroleh kesialan. Tangan dan kakinya patah hingga ia pincang selamanya gara-gara jatuh dari punggung kuda. Kuda pemuda dungu sudah bosan dengan perlakuan semena-mena si peternak yang kasar dan kejam. Jadi kuda sengaja menjatuhkan si peternak yang mencambukinya. Saking marahnya si peternak mengusir kuda itu dari peternakannya. Sekarang kuda pemuda dungu adalah kuda liar yang bebas.
Suatu hari kuda pemuda dungu berjalan mendekati tanah pertanian pemuda dungu. Ia tertarik pada kuda betina yang ada di sana. Dan pada saat itu pemuda dungu keluar untuk menuntun kembali kudanya masuk kandang, terheran-heran melihat ada kuda lain di dekat kudanya.
Pemuda dungu menghampiri mereka. Kuda liar itu tampak jinak. Pemuda dungu mengelus punggungnya, dan pada saat itulah tampak cap namanya tertera pada bahu kanan kuda. Pemuda dungu gembira kala menyadari kudanya yang telah lama hilang kembali. Ia menuntun mereka berdua masuk kandang dengan bahagia.***
Cipeujeuh, 3 Maret 2012









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D