Sabtu, 18 November 2017

Menulis Bukan untuk Menyerah




Oleh ROHYATI SOFJAN


K
etika saya menulis ini di rental dekat Pasar Limbangan, saya sungguh tak tahu apa yang akan ditulis. Saya penulis yang menulis tanpa konsep. Konsep berjalan begitu saja di sel-sel kelabu otak saya. Saya sudah lama memikirkannya, namun semua hanya dalam pikiran, yang tersulit adalah menyusun rangkaian alur pikiran itu agar menjadi makalah seperti yang diminta Pak Tendy K. Somantri. Semacam intisari.
Akan tetapi, saya tahu tak boleh menyerah. Mencoba mengembalikan alur itu meski tidak persis sama seperti yang dulu pernah dipikirkan. Ada banyak hal yang menyita fokus saya. Maaf, saya baru menikah dan harus membiasakan diri dengan siklus baru. Menjadi istri dan tentunya beban pekerjaan rumah tangga bertambah banyak karena saya harus mondar-mandir antara rumah ibu saya --   selain rumah ibu mertua yang ditempati bersama suami.
Baiklah, kita di sini bukan untuk membahas kehidupan baru saya, hanya berbagi pengalaman rekaman proses kreatif sebagai penulis yang sejujurnya kurang produktif karena masalah sarana dan mobilitas. Jadi, saya hanya mencoba mengikuti saran beberapa penulis terkenal, seperti Jhumpa Lahiri: duduk dan menulislah! (Semoga saja saat menulis ini tak ada pemadaman aliran listrik. J)
Bicara soal menyerah, begitu mudah bagi kita untuk demikian. Namun sebelum patah arang total, cobalah himpun kembali semangat dan tujuan: untuk apa kita menulis?
Kita menulis sekadar hobi, keinginan mengembangkan potensi, ajang pencarian jati diri, atau sekadar mengerjakan tugas akademis, bisa juga sebagai profesi. Kita di sini untuk berbagai alasan. Alasan yang membuat kita merasa tetap ada. Juga mengenal dunia dalam perspektif berbeda.
Saya merasa hidup dengan menulis, dan yakin bisa hidup dari dunia menulis meski jalan untuk itu penuh aral! Pernah juga honor saya tak dibayar!
Ada banyak hal yang telah saya peroleh dari dunia tersebut. Wawasan, perkawanan, persahabatan, finansial, juga kesempatan, termasuk kesempatan untuk berada seruangan dengan Anda semua. Dan saya bahagia.
Ide. Ide adalah hal tergila yang kadang membuat penulis mana pun merasa frustrasi. Alangkah sulitnya menangkap momen puitik dan kreatif. Momen yang bisa menggugah.
Bagi saya, lelaki adalah inspirasi terbesar dalam setiap tulisan. Lelaki yang telah saya kenal atau sekadar dalam pembayangan. Juga tulisan lelaki. J
Baik, kita akan bicara soal dari mana ide dalam tulisan saya berasal. Bagaimana jika kita bahas beberapa yang telah dimuat dalam media cetak sampai saiber?
Ide cerpen “Apa Makna Maut, Gabriel?” yang dimuat di www.titikoma.com (lihat link http://www.titikoma.com/cerpen/apa_makna_maut_gabriel.php), terjadi ketika saya ingin menulis cerpen tentang tsunami di Pangandaran. Saya mengenal kota itu sebagai bagian masa kanak-kanak yang hilang timbul dari ingatan karena sudah lama sekali tak berkunjung ke sana lagi. Ada ikatan emosional, juga kekerabatan.
Lalu saya ingat cuplikan berita Fokus Siang di Indosiar. Seorang remaja bernama David selamat dari musibah itu dan sedang diwawancarai wartawan. David indo dan tampan. Saya terpikir mengapa tak menciptakan tokoh fiksi berupa “David lain”? Jadi begitulah Gabriel menjadi prototipe lain dari David.
Saya sengaja membuka alur maju-mundur berturut-turut. Alur yang menurut saya adalah hal biasa. Yang jelas saya merasa senang bisa menulis lalu menyelesaikan itu meski ada banyak kelemahan. Tak peduli pada mulanya saya saya tidak tahu akan apa yang harus ditulis dan kelanjutannya. Percayalah, menulis memang sulit. Ada aspek-aspek yang harus diperhatian. Pemilihan bahasa, data, dan logika agar tulisan kita bukan sekadar fiksi sambil lalu.
Kadang beberapa orang dekat sampai kawan menjadi “korban” permainan fiksi saya. Mereka menjadi sumber inspirasi tak terbatas. Mengapa tak terbatas? Ya, karena hidup saya lebih kaya warna berkat mereka, orang biasa yang menurut saya hebat dalam kapasitas lain. Mereka luar biasa meski tak menyadarinya. Dari merekalah saya bisa menulis puisi, cerpen, kadang juga esai. Ada semacam pertukaran pemikiran. Sesuatu yang membuat dunia sunyi saya terasa lebih bermakna.
Kita pada dasarnya hidup bukan untuk menyerah!
Mengenal banyak orang adalah hal terbaik ketimbang menjadi makhluk asosial. Sebab, ada banyak hal yang tak bisa diberikan buku semata. Berinteraksi dengan insan lain lebih membuat kita paham intisari kejiwaan dari yang dipaparkan aneka bahan literatur. Mereka juga bisa menjadi penyemangat kala rapuh dalam hal apa pun. Atau sekadar korektor bagi ide-ide yang telah dihasilkan.
Saya butuh korektor, pendapat kawan lain. Percayalah ide kita bisa saja tak sejalan atau kurang dalam perspektif orang lain, namun pendapat kesekian itu penting  agar karya kita bisa lebih berkembang.
Selain Pak Tendy yang menjadi motivator saya, ada seorang Redaktur dari harian Suara Karya yang entah mengapa begitu berbaik hati menyemangati saya agar mengirim tulisan lebih baik. Pak Ami Herman adalah redaktur dari sekian kecil redaktur yang peduli.
Maka, jangan kecewakan mereka yang percaya. Teruslah berkarya! Tak peduli karya kita sangat sering ditolak, tak punya komputer, warnet jauh dari rumah, kekurangan mesiu berupa bahan bacaan, ide macet, capai, sibuk, atau sekadar bosan.
Anggap saja semua aral itu sebagai bagian dari proses menjadi. Nikmatilah karena hidup ini penuh hikmat tersembunyi. Jangan iri pada kesuksesan orang lain karena mereka pun barangkali telah dan sedang menjalani proses untuk sukses. Seperti lagu dangdut Jatuh Bangun. J
Suatu saat, saya sedang membawa keyakinan ini, pasti segala usaha saya tak sia-sia sebab akan ada hasilnya. Dan saya meyakini mimpi itu. Namun saya pun butuh aneka bahan bacaan agar impian tersebut memiliki arah yang lebih baik.
Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Itu diktum yang pernah saya baca. Saya bukan pembaca yang baik, saat ini. Namun keterbatasan bahan literatur bukan alasan untuk menyerah. Ada internet meski warnet jauh dari rumah. Jadi syukurilah apa yang masih ada bukan menyesali apa yang belum ada. Lagi pula, berkarya itu adalah hal menyenangkan. Apalagi berjuang!
Forrest Gump adalah buku yang sangat menginspirasi saya. Betapa tokoh rekaan Winston Groom yang dibaca selepas ujian akhir SMU begitu menggugah kesadaran saya. Saya kagum pada Gump, pada Groom. Dan saya tak tahu apakah saat diminta bicara di ruangan bersama Anda semua untuk berbagi proses kreatif demi mata kuliah imaginative writing, akan menjadi Gump lain -- yang pernah diminta menjadi “contoh” bagi mata kuliah karya sastra tentang peranan idiot savant dalam karya sastra dunia. J
Groom telah meramu kegigihannya agar menghasilkan Gump yang gigih pula. Di sini imajinasi Groom berkembang begitu liar melebihi aspek pengalamannya sendiri. Ada sesuatu yang dibagi Groom pada pembacanya. Sesuatu yang sangat bermakna. Dan tentunya ia kaya literatur, atau setidaknya seorang pelahap buku yang sangat mumpuni. Kalau tidak, bagaimana ia bisa turut menginspirasi pembacanya pula?
Kita bisa terinspirasi pada sembarang buku. Entah karya sastra atau sekadar pop biasa. Saya terinspirasi pada Gump dan Groom untuk alasan “karena berbeda”. Dan saya coba tuangkan pengalaman membaca tersebut menjadi karya berupa esai (juga makalah ini).
“Mencermati Humor Cerdas Winston Groom” adalah esai yang saya buat beberapa tahun lalu. Esai “gagal” yang berulang kali ditolak beberapa media cetak. Saya hanya merevisinya sedikit lalu menyertakannya dalam pengiriman beberapa karya untuk Suara Karya. Entah mengapa mereka memuatnya. (Lihat link http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=202750) Ada objektivitas dan subjektivitas yang bermain di sana. Karya kita bisa saja ditolak suatu atau beberapa media karena dianggap tak laik muat (atau tak terbaca), namun jika diperbaiki lalu kita tak menyerah untuk mencoba mengirimnya ke media lain, insya Allah, akan ada hasilnya. Kalaupun tidak dimuat juga, tak apa-apa, buatlah blog pribadi untuk memajang karya kita di sana atau menyebarkannya ke milis (mailing list) sampai kawan-kawan.
“Film dan Buku dalam Perspektif Penonton” adalah esai kejutan yang dimuat kawan saya di majalah maya asuhannya, www.titikoma.com. (Lihat link http://www.titikoma.com/esai/film_dan_buku_dalam_perspektif_penonton.php.)
 Beberapa tahun lalu saya hanya iseng menyebarkannya ke milis dan sekian kawan. Lalu Hasta Indriyana, pengasuh situs tersebut malah memuatnya. Tidak cuma itu saja, ia dan medianya mengirim 3 kaus untuk 3 tulisan saya yang dimuat sebagai kontraprestasi. Ada persahabatan di sana. Berkat Gump dan Groom karena saya masih membahas soal perbedaan film dan buku. Lucu, berkat buku saya beroleh kaus.
Bagi saya suatu tokoh cerita bisa menjadi sumber inspirasi, bisa juga karena penulisnya. Saya suka tulisan Seno Gumira Ajidarma. Gaya bahasanya terkadang berat dan mengalun. Seno sering menyisipkan permenungan dalam karyanya. Pengaruh Seno terbawa dalam beberapa tulisan saya, salah satunya cerpen “Abu”. Cerpen yang saya buat karena teringat seorang kawan lama. Kawan masa SMU yang sama-sama tak bertukar kabar.
Saya membuat kemungkinan lain bagi hidup sang kawan, juga hidup saya. Latarnya Jakarta dan kampung saya di Limbangan. Itulah asyiknya jadi penulis, bisa memfiksikan sesuatu. Meski harus saya akui ada beberapa kelemahan di awal penulisan seperti salah ketik sampai logika sehingga harus beberapa kali direvisi. Catatan perjalanan Seno yang dimuat di majalah Jakarta-Jakarta menjadi bagian dari cuplikan adegan cerpen.
Akan tetapi, meskipun terinspirasi, saya sadar tak akan bisa sepenuhnya menjadi “seperti Seno”, apalagi menangkap ruhnya. Biarlah saya tumbuh menjadi penulis yang mengikuti kaidah benchmarking namun tetap mencari ruh sendiri, semacam warna jiwa pribadi. Saya adalah saya bukan Seno. Saya bisa saja mencontek gaya bahasa Seno yang berat, berirama, dan mengalun. Namun saya tak menguasai kekayaannya dalam mengolah metafora. Di sini cakrawala wawasan dan pengalaman bermain. 
Apakah menulis semacam permainan juga? Bisa jadi. J
Imajinasi adalah sebagian kecil “perangkat lunak” bagi permainan tersebut. Saat jadi narasumber di HARDIM pada tahun 2004, atas undangan Pak Tendy, saya pernah kelimpungan kala ditanya seorang peserta kursus menulis HARDIM: “Menurut Anda, apakah imajinasi itu?”
Sungguh itu pertanyaan bagus, sangat bagus sampai saya tak tahu bagaimana jawabannya karena ternyata mengenal imajinasi sebatas praktik tidak penguraian secara lebih rinci dan mendalam. Dari situlah saya menyadari betapa kita sering mengenal suatu kata sebagai kata semata tidak secara harfiah. Bahwa kata telah dimatikan makna tersembunyinya, bahwa saya ternyata hanya bisa melihat sesuatu sebagai “sesuatu permukaan” bukan “sesuatu yang penuh kemungkinan dan mengundang sel-sel kelabu agar bisa mengimajinasikannya”. 
Yang jelas, imajinasi lebih daripada yang dipaparkan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Imajinasi bukan hanya sekadar khayalan. Jadi, apakah imajinasi itu sesungguhnya? Sejujurnya saya tidak tahu, sampai sekarang ini, barangkali Pak Tendy yang cukup berpengalaman dalam bidang bahasa dan mengajar bisa menjelaskan?
Sebagai penulis, saya punya bacaan favorit yang sangat menunjang agar tak kuper. Majalah Annida dengan moto “inspirasi tak bertepi” adalah bagian dari hidup saya. Majalah yang saya baca sejak tahun 2002 itu lebih dari sekadar menginspirasi, ada perubahan atau pembaruan yang diembuskannya. Maaf, anggap saja majalahnya semacam angin sejuk bagi dunia literatur Indonesia.
Saya sering terkagum-kagum pada karya penulis yang dimuat Annida. Sering juga geregetan. Namun sekarang ada perubahan signifikan, Annida kini lebih fokus pada dunia literatur dan perbukuan. Betapa sangat sedikit majalah yang mengusung ideologi macam itu. Dan bagi penulis mana pun Annida sangat membantu agar mereka bisa tahu. Ya, setidaknya bagi yang tinggal di tempat agak terpencil tak merasa terkucil.
Terkucil? Kata itu mendadak menyentakkan saya. Apakah saya sepenuhnya terkucil? Dalam kungkungan dunia sunyi sebagai takdir? Entahlah. Dengan menulis saya merasa tak sepenuhnya terkucil. Saya adalah perempuan yang suka pada hal-hal baru dan menantang. Tak bisa saya bayangkan bagaimana seandainya hidup saya hanya-harus-berakhir-dengan-pendidikan-sampai-Sekolah-Dasar-saja karena menyerah untuk tak mencoba hal baru yang menantang berupa menjadi sama seperti anak kebanyakan. Saya tak suka dibedakan karena perbedaan!
Dengan menulis saya merasa lebih hidup. Berbagi makna pada sesama lewat aksara. Mengenal banyak orang tak terkira dan memiliki kawan tak terhingga. Setidaknya saya bahagia dengan dunia pilihan ini. Saya tak bisa membayangkan menjadi saya-lain yang tak pernah mengenal dunia literatur apalagi menggelutinya.
Bahasa. Bahasa adalah keajaiban. Saya sering bingung bagaimana suatu kata bisa ada dan menjadi bahan percakapan bagi semua orang. Di masa kecil, saya mengenal begitu banyak kosakata dari bacaan majalah Bobo dan Ananda. Dan perbendaharaan kosakata saya terus berkembang seiring usia. Tentunya saya hanya bisa mengenal suatu kata dari apa yang dibaca bukan didengar. KBBI sangat membantu saya untuk lebih memahami kata yang dirasa asing dan baru.
Selain itu, saya bisa belajar bahasa, terutama gramatika bahasa Indonesia, di milis guyubbahasa Forum Bahasa Media Massa. Ternyata bahasa bisa menjadi fenomena yang aneh, ajaib, bikin pusing tetapi asyik, atau malah memberantemkan orang. J
Ah sunyi. Sesunyi apa dunia saya ini? Belum sepenuhnya sunyi karena saya hanya tahu bisa mengisinya dengan membaca dan menulis, juga berinteraksi dengan sekian persona.
Saya tahu diminta Pak Tendy agar seruangan dengan Anda semua untuk sesuatu: semoga bisa menginspirasi, atau setidaknya menyemangati hidup Anda kala merasa lebih nelangsa. Kita harus bisa melihat ke segala arah, atas-bawah-samping-belakang-juga depan untuk tujuan; menyangkut pertanyaan besar:Untuk apa kita ada, dan untuk apa kita menulis?
Maka menulislah sejauh Anda yakin bahwa itu memang merupakan jalan Anda. Jangan menyerah karena hidup memang melelahkan namun selalu harus diperjuangkan.
Selamat berjuang. Semoga kita saling melihat diri kita bukan sebagai insan yang lekas patah arang. Amin.***
Rental BBC Limbangan, Garut, 21 Januari 2009 

Catatan:
Saya menulis ini mulai dari pukul 08.45 sampai 12.15. Makan waktu lama memang. Saya harus bolak-balik membacanya dari awal karena benar-benar tak tahu harus menulis apa. Barusan dari pasar bareng suami, belanja untuk warung kecil-kecilan kami. Suami pulang lebih dulu, dan saya bekerja menulis ini. Yang menyenangkan tadi pagi adalah kami bisa jalan pagi menyusuri jalanan desa sejauh 3 km kurang-lebih ke jalan besar kecamatan. Kemudian naik sado ke pasar yang bayarnya cuma seribu rupiah per orang. Saya mencoba menikmati hidup sebagai sesuatu yang masih ada segi baiknya.
Di rental ini pula saya bersua dengan Bu Kades yang sedang dibuatkan cetakan foto jalan desa. Jadi tahu bahwa beliau memang sedang memperjuangkan agar perbaikan jalan bisa segera direalkan. Jalannya sudah sangat lama rusak parah. Ya, setidaknya saya melihat seorang pejuang lain. Juga beberapa pejuang yang membutuhkan jasa rental yang dikelola seorang pejuang muda yang berusaha menafkahi diri dan keluarganya. J


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D