Selasa, 12 Agustus 2014

Lakon Muram Ririn Rahayu Astuti Ningrum




Cerpen memberi keleluasaan pada penulisnya untuk mengeksplorasi bahasa, menggali kekayaan kata dari khasanah peristiwa, sesuai budaya lokal yang dianutnya. Demikianlah Ririn Rahayu Astuti Ningrum menulis kumcer Kitab Gangpitu dengan indah sekaligus sarat filosofis.

Oleh ROHYATI SOFJAN


DATA BUKU      : Kitab Gangpitu
PENULIS          : Ririn Rahayu Astuti Ningrum
PENERBIT        : Pustaka Nusantara
CETAKAN         : Pertama, Oktober 2013
TEBAL             : 127 Halaman
ISBN              : 978-602-7645-12-7
HARGA            : RP34.500,-
RIRIN mempersembahkan sepilihan cerpen yang ditulis dari tahun 2012-2013 dengan nada muram, kebanyakan memotret permasalahan yang menimpa orang terpinggirkan karena nasib, status sosial, bahkan kisruh politik.
Ada banyak cerpenis yang berusaha eksis dengan ciri khasnya, termasuk Ririn. Aroma kebudayaan Jawa sangat kental terasa, dari ujaran sampai tindakan. Dengan bahasa sastra sarat simbolisme, Kitab Gangpitu layak kita perhitungkan sebagai kumcer yang menyorot persoalan hidup dalam perspektif perempuan, memandang masa lalu sebagai bagian dari kekinian.
Ada banyak benturan di kumcer itu. Ajaran agama dibalut dalam mitos kitab Kalimasada versus kitab Gangpitu sebagai ajaran terlarang yang bisa membangkitkan amuk Nogo Samber Jiwo,  seperti dalam cerpen “Kitab Gangpitu”.  Bagi kita yang berada di luar budaya Jawa atau tak mengakrabinya, pasti asing dan tak paham soal kitab Kalimasada, bagian dari Kejawen  (ajaran asli leluhur tanah Jawa yang belum terkena pengaruh budaya luar, sebelum budaya Hindu dan Budha masuk).
Di dalam sana, Eyang Resi dan para Pakubumi merapal mantra Kalimasada. Sepenuh jiwa. Syahdu. Silu. Hanya itu yang mampu mereka lakukan untuk menahan Nogo Samber Jiwo dalam lelap peraduan. Mereka terus merapal, siang dan malam hingga suara tak lagi keluar. Mereka terus membaca hingga perlahan lebur dalam keheningan. Abadi. Moksa. Tinggallah enam buah Kitab Kalimasada di atas meja batu bundar. Tak terjamah, berdebu, penuh sawang. Buram.
Dan di negeri Sokoroso, khutbah terus berlanjut Suara hentakan-hentakan dan rapalan mantra Kitab Gangpitu menggelora. Orang-orang bersorak merayakan penghormatan. Dengan tawa berderai-derai mereka ikuti setiap gerak Sang Gae Odo-Odo sebagai bentuk penyucian jiwa model baru, meninggalkan kekunoan yang diajarkan Eyang Resi. Seluruh negeri bergetar karenanya. (Hal. 63)
Lalu apa yang terjadi dengan negeri itu? Sebuah umpama yang bagus mengenai negeri kita sendiri. Campuran mitos dan kekinian diramu Ririn dengan apik.
Dalam “Teror Kala Bendu”, masih menyorot budaya Jawa. Betapa Kala Bendu dianggap sebagai oknum perusak anak gadis agar terjerumus pada perzinaan akibat pacaran yang kebablasan, hingga hamil dan membunuh bayi tak berdosa begitu lahir. Peristiwa itu bukan hanya sekali. Bunuh diri atau penjaralah pilihan akhir mereka.
Lagi-lagi, dari sarangnya yang hitam, Kala Bendu menyaksikan tangisan Putri dengan gelegak tawa kemenangan. Satu lagi masa depan berhasil dia telan. Puas meretas. Bertimpas-timpas! (Hal. 73)
Perempuan adalah subjek sekaligus objek utama cerita Ririn. Yang terperangkap stigma masyarakat karena predikat (“Bapak untuk Zahra”); yang beroleh khianat (“Anafora Pengkhianatan”); yang menyaksikan perjuangan ayah (“Kasih Tak Bertepi”); yang melahirkan anak saleh (“Sandal Jepit Pak Haji”); yang berjuang demi anak semata wayang (“Sepotong Mimpi Buat Emak”);  yang terjerumus popularitas hingga abai menerapkan ajaran kitab Kalimasada (“Ledi Gigi, Mati!”); yang mencintai tradisi batik Tulungagung (“Perempuan yang Menggandrungi Gajah Mada”); yang dijual suaminya (“Perempuan yang Tubuhnya Tergadai”).
Masih ada lagi kegetiran Ririn dalam “Iman yang Terkoyak”, sosok pemuka agama terjerembab dalam jurang maksiat; “Seorang Anak yang Menggadaikan Ibunya”, potret muram wajah bangsa kita terhadap tanah air Indonesia, dililit kelindan utang tak berkesudahan; dan “Kisruh Bethara Kala di Astinapura”, adalah cerminan bagaimana sesungguhnya pemimpin dan anggota dewan kita sekarang.
Kritik sosial dan politik Ririn dengan perspektif sastra yang indah sekaligus menggugah. Untaian bahasanya akan membuat kita kewalahan jika tak terbiasa. Kalimat puitis berhamburan. Betapa ia kaya kosakata, menggali timbunan kata yang barangkali jarang dipakai selain hanya teronggok sepi dalam lembar demi lembar halaman Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jawa adalah akar budayanya, maka cerita wayang sampai kejawen berikut antropologi masyarakat Jawa dipaparkan dengan fasih. Sebagaimana fasihnya ia memaknai cinta dan nafsu mesti berdampingan secara seimbang bukannya salah satu dominan. “Syahwah dan Mahabbah” adalah gambaran diri kita untuk becermin.
Adapun hal yang harus diperhatikan ke depannya bagi Ririn Rahayu Astuti Ningrum dan penerbit Pustaka Nusantara: penyuntingan yang apik!  Jangan sampai karya bagus jatuh karena abai kaidah gramatika. Ada banyak ketidaksesuaian EYD yang mengganggu. Semoga bisa lebih maju.(*)
Cipeujeuh, 3 Maret 2014



#ResensiBuku #KitabGangpitu #RirinRahayuAstutiNingrum

1 komentar:

  1. kaya buku antologi karya mbk Ririn Rahayunya bagus. makasii infonya mbak :D
    lagi-lagi bukunya kena di EYD. aku juga kena di EYD. haha

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D