Jumat, 25 April 2014

Mengikhlaskan Itu adalah Proses Panjang




 Selama ini aku meyakini bahwa takdir adalah pilihan yang diambil dengan jalan bergerak. Aku merasa tidak akan bisa menjadi sesuatu jika tidak berbuat. Apa pun pilihan yang kuambil akan beroleh akibat, sebagai bagian dari sebab-musabab.

Namun sekarang?

Aku bimbang setelah membaca penggalan kalimat di novel Uhibbuka Fillah karya Mbak Ririn Rahayu Astuti Ningrum (Nimas Kinanthi), “Bukan kita yang memilih takdir, tapi takdir yang memilih kita. Takdir bagaikan angin bagi seorang pemanah. Kita harus selalu mencoba membidik dan melesatkannya pada saat yang tepat. Demikianlah pesan Shalahudin Al Ayyubi….”

Jadi, selama ini perjalanan hidupku yang kuyakini berdasarkan takdir bagaimana sebenarnya?

Ini soal keyakinanku pada rukun iman yang enam, percaya pada qadha dan qadar. Dan berkaitan dengan keikhlasan.

Dalam usiaku yang menginjak 38 tahun, ada banyak ingatan kolektif yang terasa gelap dan muram, ingatan yang enggan kuputar ulang dalam simfoni kenang. 32 tahun kurang lebih berkubang, atau lebih tepatnya terperangkap, dalam dimensi kesunyian. Merasa terdampar dalam planet asing bernama sunyi kala sekitar dibekap ingar yang tak sampai di gendang pendengaran.

Baiklah, bukan hal yang mudah untuk menerimanya. Membutuhkan waktu bertahun-tahun, mungkin puluhan tahun, untuk bisa menerima dan mengikhlaskannya. Itu sesuatu yang sangat penting dalam hidupku, bagaimana rasanya menjadi orang yang berbeda karena distigma CACAT?! Dan ini bukan stigma belaka, ada rasa tersisih dan tidak berada di tempat yang semestinya. Marah pada Allah, pada kedua orangtua, pada orang lain, pada keadaan, dan pada DIRIKU SENDIRI!

Aku sudah kenyang dengan sekian hinaan dari anak lain kala masih kecil, bahkan orang dewasa yang begitu kejam tak berempati. Menangis adalah hal biasa bagiku. Aku cengeng sekaligus rapuh. Minder sekaligus tak berdaya. Dan tak punya pegangan, tak diberi penghiburan dari kedua orangtuaku atau kerabat lain agar bisa menerima keadaan, yang ada adalah seakan penyesalan atau kasihan. Dan orang yang paling membuatku benci karena sering mengungkit masalah cacatku sampai sekarang adalah ibu kandungku sendiri. Seakan menyesal melahirkanku.

Kalau aku tidak menikah dan punya anak, barangkali depresiku berkepanjangan. Aku telah coba menutupi fakta tentang ibu namun sekarang biarlah kuungkapkan agar kelak bisa memaafkannya daripada terus kupendam sebagai beban. Yang penting aku tak bergantung padanya, dan bisa menjadi sekarang karena berupaya keras dengan caraku sendiri untuk mencari jalan ke arah lebih baik. Kuhibur diri, barangkali ibuku dibesarkan dengan cara salah sehingga punya pemikiran yang menyedihkan. Yang penting jangan sampai aku menyerupainya. Ia ibuku. Barangkali merasa gagal sebagai ibu, atau merasa punya anak yang gagal. Entahlah. Aku tak ingin bahas itu lagi. Aku hanya merasa kecewa karena keluargaku tak memiliki harmonisasi yang baik agar anak bisa tumbuh kembang dengan rasa aman dan nyaman.

Semoga saja ada orangtua yang tergerak dan menyadari bahwa anak “berbeda” bukanlah semacam kutukan. Anak pun menyandang beban berat dan butuh dibimbing agar jadi insan tangguh yang sukses karena disugesti hal positif.

Aku tak ingat persis bagaimana muasal tak berfungsinya kedua telingaku. Yang jelas segala ikhtiar pengobatan sudah kulakoni. Dari medis sampai non-medis yang menurutku menjurus syirik. Bagaimana bisa aku dibawa ke orang pintar segala yang konon bisa mengobati beragam penyakit. Telingaku ditiup-tiup, kepalaku dipegangi sambil dibacakan jampi-jampi, bahkan kala kecil pernah disuruh mandi air kembang segala. Lebih parahnya bapakku bermimpi telingaku akan sembuh jika diobati minyak kura-kura. Maka dimintalah seorang tetangga untuk menangkap kura-kura dan ibuku menggorengnya lengkap dengan bumbu, lalu minyak sisa penggorengan itu diteteskan ke telingaku. Itu kejadian kala aku 2 SMU!

Sembuh? Gak, telingaku malah jadi bau! Mungkin bikin parah atau menimbulkan infeksi, Dan ikut memperparah sinusku. Tragis. Baik, kucoba ikhlaskan itu. Sudah lewat. Bagian the past.

Aku tak mengerti dengan banyak hal konyol yang kualami. Dibawa ke dokter, diperiksa, tak ada hasil. Pernah disuruh periksa urin tapi sudah dari tadi pipis jadi harus pulang. Dicoba pakai alat bantu, gak mampu belinya. Pernah diperiksa grafik kepalaku pakai alat tapi gak ada jejak, pun hasil rontgen gak kupaham. APA YANG SALAH DENGAN DIRIKU?

Well, masa paling gelap bagiku adalah kala vakum sekolah selama 3 tahun. Ya, setamat SD gak bisa sekolah lagi. Ortu gak mau atau gak mampu masukin aku ke SLB. Tambah minder akunya, dan kemampuan membaca ucapan orang dengan reading lip/oral sign pun menurun drastis karena ketiadaan interaksi. Aku jadi anak pemalu, skeptis, introfer, pendiam, minderan, dan kurang tahu menempatkan diri!

Kawan gaulku cuma televisi dan aneka bahan bacaan apa saja!

Barangkali Allah mengabulkan doaku agar aku bisa sekolah lagi, di sekolah umum, meski itu bukan hal mudah. Kuanggap sebagai fase hidup yang menentukan. Menggiringku agar bisa menerima keadaan dan bersyukur. Bertempur dengan diri sendiri adalah sesuatu yang tak habis-habisnya. Bahkan sampai sekarang.

Aku tak tahu apakah telah memilih takdir atau takdir yang memilihku. Namun aku berupaya keras mengikhlaskan diriku untuk bisa menerima keadaan. Di dunia ini tiada hal sempurna. Seseorang yang tak cacat fisik bisa saja cacat hati dan jiwanya. Yang penting aku tak ikut cacat hati taraf akut, dan bisa menjaga kesehatan jiwaku dengan berupaya dekat dengan Allah, meyakini kekuatan doa.

Terimalah dirimu apa adanya. Jangan menyerah pada keadaan. Perjuangkan keyakinan agar sabar dan syukur tecermin dalam perbuatan sehingga hati pun lapang menyediakan ruang untuk mengikhlaskan.

Terima kasihku untuk suami yang selalu ada di samping kala aku rapuh menghadapi keadaan. Karena jiwa yang gersang butuh dirabuk cinta dan kasih sayang agar putik kehidupan bersemi. Pun anak semata wayang yang semoga bisa kami ajarkan agar ikhlas menerima bunda apa adanya. Semoga ia bisa menjadi telingaku pula. Terima kasihku pada sahabat dan kawan yang membuat hidupku kaya warna dengan kisah motivasi. Aliran dukungan hangat mereka turut mengisi relung jiwaku agar tak hampa.

Aku telah lama berkubang sunyi dan sering merasa kesepian. Sekarang yang paling kuinginkan adalah bisa menerimanya tanpa sesal lagi, agar pijar iman tak padam.***

Limbangan, Garut, 25 April 2014



 

Jumat, 18 April 2014

[Mozaik Blog Competition 2014] Meniti Jalan Pedang



Event Mozaik Blog Competition sponsored by beon.co.id

  



Alhamdulillah, berhubung artikel ini masuk finalis 20 besar Mozaik Blog Competition yang pengumumannya dini hari tadi keluar, maka isinya dihapus. Untuk hak cipta penerbit Mozaik dan ekslusive karya yang insya Allah akan dibukukan. :)
Sekali lagi alhamdulillah karena dapat kepercayaan untuk meraih juara 2. Bahagianya. Tentu amanah ini untuk memacu diri untuk terus berkarya dan meningkatkan kualitas agar ke depan selalu dan bisa lebih baik. Semoga. Terima kasih pada kawan-kawan yang turut berkomentar karena memberi nilai tambah sehingga lolos sebagai finalis 3 besar, terutama untuk kawan-kawan di Blogger Energy (BE).
Salam seperjuangan blogger. :)

Limbangan, Garut, 18 April 2014

Senin, 07 April 2014

[Resensi Novel Menanti Cinta Adam Aksara] Jika Cinta Memang Tak Membebani



RESENSI


Jika Cinta Memang Tak Membebani

DATA BUKU

JUDUL           : MENANTI CINTA

PENULIS       : ADAM AKSARA

PENERBIT    : MOZAIK INDIE PUBLISHER

CETAKAN     : PERTAMA, FEBRUARI 2014

TEBAL           : viii + 221 HALAMAN

ISBN               : 978-602-14972-3-4

HARGA          : RP37.500

CINTA tak pernah membebani, baik bagi yang dicintai maupun yang mencintai. Karena cinta adalah sebuah keagungan yang melembutkan hati dan mencerahkan kehidupan bagi yang memilikinya. Demikianlah sepenggal kutipan dari sampul belakang novel Menanti Cinta Adam Aksara. Begitu filosofis dan pada praktiknya bukan hal mudah untuk diwujudkan.

Akan tetapi, tokoh Joko ‘Alex’ Sudono bersikeras mewujudkan komitmennya tentang cinta pada kekasih jiwa, Claire Putrie Puspita; rela melepasnya ke belahan benua lain sekadar menguji rasa cintanya dan cinta Claire, yang tanpa pengekangan, tepat menjelang hari pernikahan. Meski pada akhirnya berbuah sesal, karena cinta kehilangan jasad untuk menyatukan.

Adam Aksara mengolah alur cerita dengan cara tak terduga, dari setiap lembar halamannya kita akan dibawa dalam ketegangan yang memuncak; akan bagaimana? Alex, meski  kakinya lumpuh akibat polio, adalah figur keras hati yang sukses dan kaya berkat kecemerlangannya memanfaatkan potensi diri hingga jadi ahli kimia, pengusaha, berikut dosen di kota kecilnya. Dengan latar belakang keluarganya yang terpandang berikut rasa kasih dari sekitar, ia tak kekurangan apa pun. Hanya seorang penyendiri yang anti dihina dengan kata cacat. Dan ia merasa tak layak mencintai apalagi dicintai perempuan.

Pertemuannya dengan Claire di lorong sayap barat gedung universitas mengubah tatanan yang dibangunnya. Ketika kali kedua melihat sosok Claire yang sedang duduk di kursi panjang lorong sambil membaca dalam keremangan karena minimnya pencahayaan; Alex kian penasaran setelah beberapa hari sebelumnya melihat Claire sedang duduk sendirian di kursi lorong itu, pukul delapan malam. Ia merasakan aura persamaan: rasa terasing dan kesepian!

Claire. dalam kesepiannya menganggap hidup adalah penderitaan, merasa tak layak memiliki harapan mewah berupa kebahagiaan dalam kebersamaan karena latar belakang keluarganya. Ibu kandungnya mantan pelacur yang pemabuk dan doyan minuman keras  mahal, tak peduli pada kedua anaknya.  Ayah tirinya mantan tentara yang dipecat dan alih profesi sebagai preman, berulang kali mencoba memerkosanya. Claire hanya tahu bertahan hidup dengan bekerja paruh waktu di restoran cepat saji Mark’s Burger yang pemiliknya kerap melecehkan dan mencoba memerkosanya juga.

Alex setelah mengetahui latar belakang Claire justru bersimpati, jatuh cinta dan rela melakukan apa pun untuk membahagiakan sekaligus membebaskan Claire dari belenggu penderitaan, meski dengan cara kotor demi menghadapi orang kotor dalam dunia hitam. Ia menggunakan pengaruh uang dan kekuasaannya. Namun tetap saja ia takut Claire akan mencurigainya, bertanya banyak hal padanya, dan akhirnya membencinya saat menemukan semua kebenaran tentang dirinya (hlm. 6).

Sebagai dosen, Alex berusaha agar pelan-pelan bisa mendekati dan memasuki hidup Claire, dengan caranya yang diam-diam. Rela membuka perpustakaan lama agar gadis itu beroleh tempat singgah yang aman dan nyaman sebelum jam pulang. Claire sengaja berusaha tiba di rumah jam sepuluh malam agar bisa menghindari ayah tirinya.

Adam Aksara meramu kisah cinta dosen dan mahasiswi dengan cara yang begitu subtil, menggali sudut gelap kehidupan mereka. Ada sisi kelam yang menyelubung, keraguan untuk bersatu karena perbedaan yang terlalu nganga, meski mereka saling mencinta. Dan perbedaan itu bagi Claire adalah latar belakangnya yang gelap dan berkubang kemiskinan.

Alex meski telah menyingkirkan bos Claire, ibu kandung yang tega berusaha menjual kedua anaknya, berikut ayah tirinya yang telah mencuri uang beasiswa; demi kebahagiaan gadis itu sampai memberi tempat di rumahnya tetap merasa kurang.

Alex melihat pada kedua kakinya yang cacat. Tidak akan ada yang memilih untuk mencintai seorang cacat. Desah tertahan penuh kesedihan tergetar keluar dari bibir Alex. Sesungguhnya dia ingin dicintai oleh Claire, dia sudah melakukan apa pun agar dapat dicintai oleh Claire. Akan tetapi, pada akhirnya dia ingin Claire memilih dirinya karena mencintai dirinya. Bukan bayaran atas utang budi yang ditanamnya (hlm.161).

Lalu bagaimanakah kelanjutan kisahnya? Alur tak terduga dari penokohan masa lalu Claire justru memisahkan mereka. Dan inti cerita dari Menanti Cinta adalah kepasrahan untuk ikhlas melepas seseorang demi mengecap kebebasan agar bisa menentukan pilihan. Bahwa hidup yang penuh prasangka hanya akan membuahkan penyesalan!

Ada hal penting yang harus diperhatikan penerbit indie: jangan abaikan garda depan penyuntingan! Penyunting yang baik mampu mengarahkan alur cerita agar tak melemah di beberapa bagian, memperjelas sudut pandang penceritaan, sekaligus mempertajam cita rasa bahasa agar efektif dan bisa memangkas bagian yang bertele-tele. Bagaimanapun, selain mematuhi EYD dan tata bahasa, kaidah ekonomi kata tetap dibutuhkan dalam karya apa saja. Fiksi maupun nonfiksi!(*)

Limbangan, Garut, 1 April 2014


Jika kamu berminat membeli novel Menanti Cinta langsung saja kunjungi website penerbitnya: Mozaik Indie Publisher.

Kamis, 03 April 2014

Dengan Kereta, Unforgettable Journey Berakhir pada Dikencingi Monyet!


Berhubung gue jarang banget melakukan perjalanan yang pantas dicatat sebagai kenangan, gue sempat bingung mau nulis apa kala baca pengumuman giveaway-nya Mak Muna Sungkar. Hem, gue pengen banget ikut. Siapa tahu jadi pemenangnya yang dapat hadiah ciamik.

Gue gak kapok ikut giveaway atau lomba blog meski kalah mulu, xixi. Namanya juga usaha dan positifnya bisa menambah jumlah pertemanan sesama blogger, plus ternyata merampingkan trafik rank alexa gue yang kala dipasang pertengahan Februari (gue bikin blog ini Desember 2013), 22 juta lebih menukik turun jadi 2 juta lebih sejak bulan Maret. Busyet, hanya dalam waktu sebulan bisa mengikis nilai 20 jutaan. Keren! (Gue GR, padahal belum seberapa dengan orang lain yang paling rajin isi blog tiap hari sampai dalam jangka waktu sebulan bisa menukik jadi ratusan.)
Gue emang kecewa kala kalah, tapi gue enggak menyalurkannya dengan banting barang di rumah. Kasihan barang gue kalo dibanting-banting gitu. Lagian gak semua barang tahan banting, terutama jenis pecah-belah kayak piring dan gelas beling. Ada juga piring seng, tapi nanti tetangga bakal heran kalo dengar penghuni rumah sebelah ngamuk-ngamuk gak karuan. Buku juga sayang buat dibanting, harganya mahal zaman sekarang. Tapi kalau dibolehin main banting, gue pengen bantu toko yang diskonan agar barangnya bisa lebih banting harga. Kian ngawur gue ini. Bangun tidur, habis mandi, lalu melindur.
Balik pada topik semula soal perjalanan tak terlupakan alias unforgettable journey, gue kala baca pengumuman Mak Muna di blognya sempat mikir panjang-pendek. Kira-kira stok cerita lama tentang perjalanan gue kala bocah layak dikonsumsi publik gak? Maksud gue, apa gak masalah nyodorin cerita lama yang barangkali sudah kedaluwarsa karena dilakukan pada tahun 1987, kala usia gue baru 12 tahun?
Gue gak punya cerita lain yang seru apalagi yang saru, hehe.
Jarang jalan-jalan, kagak ada modal. Tapi gak nolak kalau suatu saat kelak ada yang ngemodalin gue agar bisa jalan-jalan bareng keluarga. (Lebay!)

Kilas Balik Tahun 1987 
Usia gue baru 12 tahun Desember itu (tahun sekarang udah 38 jelang 39 November nanti, tua ya gue ini). Suatu hari nyokap bilang kita akan ke Jawa, nyuruh gue milih baju sendiri untuk ke sana. Gue pikir Jawa-nya Pangandaran, tempat kerabat dari pihak keluarga besar bokap “bermarkas”. Perbatasan dengan Cilacap, Jawa Tengah. Yah, bagi bokap Pangandaran adalah kampung halamannya meski lahir di Mataram, Lombok. Ortunya (kakek dan nenek) kawin di Jembrana, Bali, tempat asal nenek. Terus bokap besar dan sekolah di Purwakarta mengikuti penugasan kerja kakek yang mantri air. Dewasanya kerja dan kuliah di Bandung, lagi-lagi mengikuti kakek yang pindah tugas lalu jadi tuan tanah cukup kaya di kota kelahiran gue.
Malah melantur ke silsilah keluarga segala, maaf. Cuma pikiran polos gue tentang Jawa ya Pangandaran, hehe. Orang-orangnya kebanyakan berbahasa Jawa meski ada juga yang Sunda. Gak lucu, gue sempat mikir bisa jalan-jalan ke pantai lagi dan nekat mau bawa seragam olah raga SD. Hihi.
Seragam gak dibawa, nyokap yang larang. Gue diajak naik KRD dari Stasiun Kiaracondong ke stasiun Bandung. Turun dari KRD, menunggu bokap dulu. Lalu nyokap ajak gue cari kereta lain yang lagi mangkal di peron. Tanya-tanya pada pramugari kereta yang tinggi dan cantik. Ditunjukin arah gerbong. Di pintu masuk gerbong terpampang kertas pengumuman berisi rombongan keluarga besar karyawan PJKA (sekarang PT KAI) yang hendak ke Solo.

Foto dari


Solo, hem. Gue pikir cuma segerbong doang untuk nanti turun di Stasiun Banjar. Gue bukan tipe anak yang doyan ribut tanya-tanya. Kami masuk dan cari tempat duduk. Menunggu bokap yang entah kapan akan datang.
Satu per satu gerbong dipenuhi penumpang. Rekan kerja bokap ‘kali, bareng keluarganya. Gue hepi bisa duduk di gerbong kelas bisnis. Kursinya empuk. Ada kipas anginnya di atas langit-langit gerbong. Jambannya bersih dan air ngocor full. Berasa jadi eksekutiflah, hehe.
Setelah ditunggu sekian lama, bokap baru nongol. Sendirian gak bareng abang gue. Gue heran. Tapi kayak biasa gak banyak tanya. Jarang banget kami sekeluarga melakukan perjalanan bareng secara utuh. Abang gue yang udah STM termasuk badung dan biang kerok keluarga. Apakah karena bokap, sebagai kepala koperasi karyawan di bagian keuangan, terlalu sibuk kerja dan kurang perhatian pada keluarga? Tiba di rumah selalu jam 7 malam, padahal rekan sekantor lain di Balai Besar PJKA ada yang pulangnya sore, bahkan siang! Ada rahasia keluarga yang belum gue tahu waktu itu, menyangkut ketidakharmonisan ortu yang disembunyikan di depan anak-anak dan tetangga. Bokap adalah misteri terbesar dalam hidup gue sampai sekarang.
Akhirnya kereta bergerak juga, meninggalkan Stasiun Bandung yang dingin jelang senja. Makanya disebut kereta senja, hehe. Gue sangat menikmati perjalanan apalagi kursi di depannya cuma buat kami bertiga. Bokap nyewa bantal buat tidur dari pramugara yang keliling nawarin bantal pada penumpang. Gue sempat pikir itu gratis gak tahunya bayar, hehe. Dua bantal buat gue dan nyokap. Beli teh botol juga. Asyik, jarang banget dapat kesempatan minum teh botol. Duh, apa-apa bagi gue berasa mewah daripada sekarang. Maklum anak kecil yang belum bisa cari duit sendiri dan gak diizinin minta macam-macam. Zaman sekarang mah sudah ada teh gelas gopekan sampai seribuan.
Enaknya bisa segerbong rame-rame dengan rombongan karyawan PJKA, beroleh kereta yang nyaman dan tak ada orang lain menerobos masuk. Tidak juga pedagang asongan. Total jumlah penumpang ada puluhan. Gue gak ngitung tapi banyak banget. Dan semuanya kebagian tempat. Masih ada kursi kosong.
Di perjalanan, beberapa kali gue terbangun tiap kereta singgah di stasiun. Lama banget nyampe Banjarnya. Maklum gelap karena malam jadi gak semua stasiun bisa gue tahu namanya. Ada banyak nama stasiun yang asing. Yang jelas, Banjar lewat!
Gue heran, tanya bokap (atau nyokap, lupa), akan ke mana? Ke Solo! Wow, iya wow deh. Seumur hidup gue belum pernah menjejak kaki ke ujung Jawa paling jauh.
Gue suka perjalanan malam dengan kereta. Bokap nunjukin gue kerlip lelampuan di atas bukit. Indah dan syahdu kala itu. Bukitnya belum digerogoti perumahan padat. Kadang serem juga kala lewat tepi jurang curam yang di bawahnya ada sungai atau hutan. Kadang lewat jembatan, aduh panjang nian. Gue heboh banget! Rasanya malam itu tidur gue gak nyenyak. Terjaga mulu karena gak biasa tidur di atas kereta. Yang sebentar-sebentar jegleg, tuuut-tuuut.
Tahu-tahu tibalah kami di Stasiun Solo Balapan (nama yang aneh bagi gue, apakah di sana sering ada balap mobil atau motor, hehe), setelah menghabiskan entah berapa jam perjalanan. Yang jelas tibanya pukul 4 subuh! Mata yang mengantuk mulai bersemangat pada hal baru. Ramai banget rombongan kantor bokap. Kami istirahat di kursi stasiun. Menunggu jemputan.
Foto dari

Begitu keluar, ternyata sudah ditunggui bus besar. Kami dibawa ke sebuah rumah besar peninggalan zadul di tepi jalan raya utama Solo. Lingkungan perumahannya tenang. Dijamu sarapan. Ternyata empunya rumah mengadakan hajat nikahan. Rekan kerja bokap yang melepas predikat bujang. Dan sudah tentu rekan sekantor diundang, bela-belain menyewa satu gerbong kereta kelas utama, bus besar yang nyaman ber-AC untuk keliling Solo dan sempat lewat Semarang.
Hem, jadi mikir, enak juga ya bokap dan rekan-rekan kerja sekantor, barangkali dapat potongan harga atau tiket gratis untuk berkereta ria, hehe. Gak tahulah. Yang jelas habis sarapan pagi itu kami berbus ria entah ke mana. Pokoknya meninggalkan Solo yang panas ke tempat yang lebih dingin dan sejuk di pegunungan.
Panorama di luar jendela bus arah kanan bagus banget meski sempat juga melewati jalanan yang terasa sempit bagi busnya. Hamparan persawahan bikin mata adem. Pegunungan hijau menjulang. Itu momen paling membahagiakan bagi gue karena tak tahan dengan panasnya udara di Kota Solo. Gue rasa mayoritas rombongan yang jelas-jelas terbiasa dengan udara Kota Bandung pun sama gerahnya. Sampai ada yang rajin mengelap wajah pakai saputangan.
Ternyata bus berhenti di obyek Wisata Grojogan Sewu, Tawangmanggu. Tahunya nama lokasi setelah baca papan penanda, hehe. Kami keluar dan menunggu di sekitar pintu masuk. Tempatnya belum buka, kami rombongan yang kepagian. Sembari menunggu, gue asyik perhatiin monyet-monyet yang busyet banyak banget.


Foto dari


Monyet, Oh, Monyet Kampret! 


Foto dari


Monyet di tempat ini banyak banget, gak tahu dari mana mereka muncul yang jelas sudah ada sebelum kami datang. Dan gue yang sempat curiga itu monyet piaraan pemilik warung yang berderet, jadi ragu sendiri. Monyetnya emang jinak tapi jumlahnya banyak! Yang terlihat waktu itu lebih dari lusinan. Dan mereka nakal banget. Super duper usil!
Monyet adalah makhluk yang PD dan senang caper, hipotesis sementara gue. Seakan tahu dirinya jadi tontonan, mereka beraksi dengan cara monyetnya. Tahulah kayak apa cara monyet? Bayangin aja sendiri, hehe. Mereka lucu dan bikin ngakak, sekaligus wajib diwaspadai soalnya ada monyet yang mendekati tas pengunjung lalu membuka ristletingnya. Sebelum beraksi “merampok” isi, empunya tas langsung mengusir. Isinya gue gak tahu, tapi gawatlah kalau tu monyet kepikiran untuk menyambar tas tersebut. Untungnya enggak. Berat sih.
Bosan duduk-duduk manis perhatiin monyet, gue pengen coba duduk di pagar besi yang melintang di depan. Itu sejenis pipa panjang. Dan di atasnya ada pipa melintang juga. Gak tahu buat apa. Pokoknya ikut memagari sekeliling lokasi taman wisata.
Yang gak gue tahu, pagar itu merupakan wilayah teritori kaum monyet. Mestinya gue gak bego ikut duduk di sana hanya karena bosan duduk di tanah. Gak ada tempat duduk untuk menunggu. Orang lain bisa jalan-jalan dulu, gak tahu napa bokap gak ajak kami keliling sekitar bentar. Dan inilah akibat sompret yang harus gue tanggung. Merelakan diri kehilangan muka setelah… DIKENCINGI MONYET!
Waaa…, yang baca kisah ini pasti guling-guling ngakak. Orang apes diketawain. Tambah apes gue. Gara-gara kaum apes, primata yang Charles Darwin ngotot umumkan sebagai nenek moyangnya (moyang dia deh, gue gak ngaku teori Darwin dan Darwinian lainnya, wew!).
Mau tahu gimana kronologi kejadiannya?
Gue lagi asyik duduk sambil geser-geser dan berpegangan pada pipa besi itu. Main akrobat, ceritanya. Gue gak sadar kalau hal itu menimbulkan “kedengkian” seekor monyet karena ada yang berani menyerobot wilayah panggungnya. Dan alhasil, sebagai orang nekat bin gak tahu sikon, tahu-tahu ada cairan membasahi kepala gue. Gue heran, apa hujan? Tapi kok bau banget. Pas ngelihat ke atas, bujubune, ada seekor monyet dengan cuek melanjutkan aksi pipisnya. Secepat mungkin gue langsung menyingkir. Marah, malu, jengkel, dan aneka rasa campur-sari lainnya yang negatif mengepung gue. Gue gak berdaya, gak bisa mewek karena udah gede. Gak bisa ngumpet karena gak ada tempatnya. Pengen hajar tu monyet dengan balas mengencinginya, hahaha. Tapi gue cewek dan gak bisa keluarin titit untuk bikin “air mancur asoy” pada monyet itu. (Saru!)
Penderitaan gue sebagai penyandang pispot berjalan akhirnya berakhir setelah pintu gerbang dibuka. Petugasnya pakai alat penghitung kayak stopwatch untuk menentukan jumlah anggota rombongan sekaligus harga tiket masuk. Kala melewatinya, gue merunduk. Bukannya agar gak keitung bapak itu, gue malu karena BAU!
Hal pertama yang dilakukan gue dan nyokap kala masuk lokasi adalah cari jamban! Syukurnya ada dan berderetan jambannya. Gak tahu napa nyokap gak berpikir untuk bawa sabun, tapi alhamdulillah anggota rombongan di sebelah kebetulan bawa sabun dan sampo. Kami bisa mandi. Dan bau busyet campur najis itu akhirnya bisa lenyap dari sekujur badan gue. Sekalian gue ganti baju. Untungnya baju gue yang keciprat kencing gak kuyup. Tinggal dibasahi pakai air. Gak lucu kalau nyokap bawa-bawa baju basah di tasnya.
Airnya dingin banget. Kayak es! Bener, kayak es. Kalau gak percaya, coba aja sendiri. Mandi di sana, gak usah dikencingi monyet dulu untuk mandi. Hehehe.
Usai mandi, bokap gak kelihatan. Gak tahunya ikut renang bareng rombongan bokap lain. Gak tahu apakah airnya hangat atau dingin. Gue main sendiri di ayunan. Gak punya teman. Lalu iseng mendekati ibu-ibu yang bareng anak kecil kelas 2 atau 3 SD di tepian kolam. Gak tahu deh, kolamnya dalam dan airnya juga dingin. Tapi gak ada yang renang di sini. Gue diajak ngobrol oleh ibu itu yang sudah sepuh. Barangkali suaminya rekan kerja bokap. Ica, nama anak itu kayaknya merupakan cucu si ibu. Sayangnya kami gak bisa main bareng. Sama-sama pemalu. Lagian gue gak ngerti kala diajak ngobrol neneknya, hehe.

Foto dari


Lalu gue diajak nyokap untuk menuruni undakan anak tangga. Ada papan pengumuman, awas licin. Gak bisa lari-lari. Jalan bareng ibu-ibu yang kayaknya atasan bokap berikut anak cowoknya. Cowok itu gak tahu masih SMA atau sudah mahasiswa. Yang jelas gue risih dilihatin mulu. Ngeliatnya gimana, gitu. Di mana ada gue di situlah pandangannya terhunjam. Aduh, cowok itu ganteng tapi jarang senyum! Pakai kemeja kotak-kotak warna krem cokelat, celananya lupa bahan jeans atau kain. Tapi sepatunya kets.
Gue gak tahu napa tu cowok ngelihatin mulu. Sudah sejak di rumah Solo itu. Nyadar gak dia kalau gue tak lebih dari bocah bau kencur yang tadi sempat bau pipis monyet, hehe. Perasaan gue sebagai anak kelas 6 SD, belum kenal makna naksir. Ini keblinger GR!   
Yang jelas kami jalan bareng, ia bareng nyokapnya di depan, gue bareng nyokap di belakang. Kadang juga bersisian. Rasanya aman karena banyak monyet yang berkeliaran. Berhubung bokap gak ada, jadilah cowok itu bodyguard bayangan gue, hehe.
Dari kejauhan gue sudah dengar suara gemuruh, jadi penasaran dengan air terjunnya. Wah, begitu tiba di bagian tangga yang belum akhir saja sudah terkena cipratan air. Dan dari info yang gue peroleh sekarang di sini, baru tahu telah melewati undakan 1.250 anak tangga!

Foto dari


 Sik, asyik. Ini lebih dingin daripada tempat lain yang pernah gue sambangi. Air terjunnya juga besar, deras, dan menggemuruh. Kalau dilihat dari foto sih kecil padahal aslinya orang-orang berasa kecil di hadapan sang air terjun.
Gue baru tahu sekarang setelah googling kalau airnya bersumber dari lereng Gunung Lawu. Bisa dilihat di sini. Ketinggian Grojogan Sewu sekira 1000 mdpl. Dan air terjunnya setinggi 80 meter. Gue dan bokap sempat foto bareng keluarga Ica. Di atas batu besar. Sekarang gue gak tahu apakah batu besar berbentuk bulat itu masih ada.
Biasalah sebagai wisatawan kami berfoto ria. Meski bokap gak punya kamera, ada banyak rekannya yang jadi juru potret acara. Sayangnya gue gak bisa pajang foto-foto tersebut di blog ini. Entah ngumpet di mana albumnya. Lagian gue gak punya pemindai alias scan, kamera di HP dan netbook rusak dan hilang aplikasinya. Jadi terpaksa gue main comot foto orang dengan mencantumkan sumbernya, meski jelas beda banget suasananya.
Bagi gue sekarang, Solo dengan Tawangmanggunya sangat berkesan sebagai perjalanan tak terlupakan. Sangat mengesankan berkat: dikencingi monyet, haha…!
Ehm, masih banyak cerita lainnya, tapi berhubung ini sudah panjang, jadi laporan perjalanan ke Istana Kasunanan Surakarta, belanja di Pasar Klewer, sampai lewat Semarang, dan perhentian rombongan di tempat tertentu (yang gak gue tahu namanya) untuk foto bareng gak bisa dipaparkan di sini. Gue bahkan lupa kami dikasih makan apa kala di sana. Nasi bungkus atau apa. Lupa.
Yang jelas kami pulang dengan kereta. Kali ini gak dapat kelas istimewa. Kursinya gak empuk. Kalau gak salah jelang malam. Dan gue ngotot pengen oleh-oleh brem Cap Suling. Tahu ‘kan apa itu brem? Sekotak besar brem gue santap semuanya. Enak banget! Dengan akibat jadi pusing. Ya, perjalanan pulang gue dibarengi mabok brem. 


Uh, omong-omong soal brem, gue jadi kangen makanan itu. Sudah lama gak icip-icip brem lagi. Di Limbangan gak ada yang jual brem. Barangkali kalau ada rezeki gue pengen ke toserba untuk cari brem atau titip nyokap jika ke Bandung. Gue gak nolak kalau ada yang bermurah hati ngasih hadiah brem. Apa Mak Muna Sungkar mau nyediain tambahan hadiah brem untuk GA ini? Hehe….
Terima kasih sudah mau baca cerita konyol gue yang gak asyik. Panjang lagi. Di atas 2.000 kata. Semoga sukses giveaway-nya, Mak. Bisa nambah teman yang kian ngefans. Sip. ;)***
Limbangan, Garut, 2 April 2014
     
 


“Tulisan ini diikutsertakan dalam GA Unforgettable Journey Momtraveler’s Tale”