Rabu, 19 Maret 2014

Sebab Itu Ada di sana



Sebab Itu Ada di sana

Oleh Rohyati Sofjan


(Foto diambil dari internet)
Meski tinggal di lereng gunung, saya tak pernah mendaki gunung sebagaimana pencinta mountaineering. Ya, gunung yang ada puncaknya dan merupakan puncak tertinggi. Bukan saya tak mau atau tak pernah diajak. Saya penggemar tulisan mengenai petualangan mendaki gunung di majalah Intisari lawas -- yang jumlah tersisanya cuma 98 eksemplar, mestinya jika tak hilang bisa mencapai 150 eksemplar kurang lebih.
Dari Intisari-lah, saya kenal Norman Edwin, Sang Beruang Gunung, berikut segala sepak terjangnya yang mengagumkan. Saya sungguh sangat terinspirasi dan ingin sepertinya, meski yang saya bisa cuma jiwa berani bertualang saja. Belum ada kesempatan untuk itu, termasuk mendaki Gunung Gede dan Pangrango yang populer di kalangan pencinta alam di Pulau Jawa. Dulu Chie, adik saya yang penggemar berat daki-mendaki gunung dan pernah aktif di klub pencinta alam Mahacita UPI, pernah mengajak saya mendaki gunung, namun dengan berat hati terpaksa saya tunda untuk batas waktu yang entah sampai kapan dengan alasan tiada libur dari pekerjaan. Namun saya sungguh sangat ingin tahu bagaimana rasanya mendaki gunung.
Lalu tulisan Denny Prabowo (atau Denny Baonk yang pernah menanggapi surel saya di milis penulislepas?) di Annida No. 20/XIV/1-15 Agustus 2005, yang berjudul Because It’s There”, menggugah kenangan akan gunung. Sekarang saya tak punya alasan untuk menunda mendaki gunungnya karena telah keluar dari pekerjaan dan separuh menganggur, namun entah apakah Chie bisa libur dari pekerjaannya untuk kembali jadi anak gunung. Saya ingin merasakan kedekatan kami seperti dulu setelah ruang dan waktu menciptakan jarak demi alasan pengembangan diri dalam karier dan masa depan. Hanya gununglah yang bisa menyatukan kebersamaan meski entah kapan.
Akan tetapi, saya tak tahu apakah akan kuat mendaki puncak yang tak terlalu tinggi (yah, sekira 1000 m dpl) bagi pemula. Paru-paru saya masalahnya. Pernah digeber asap ala the chamber untuk episode tentamen suicide yang gagal, dulu sekali. Lalu sering terpapar udara malam harian kala pulang kerja, bagaimanapun cuacanya. Saya hanya tahu harus sadar kapasitas diri dan tak sok kuat atau sok gengsi yang ujung-ujungnya menyusahkan orang lain dan diri sendiri.
Bagaimanapun, mendaki gunung adalah semacam tadabur alam. Dan Denny Prabowo dalam esainya itu (rubrik Male 1269), mengajarkan bahwa tujuan utama mendaki gunung bukanlah menaklukkan puncak melainkan menaklukkan diri sendiri.
(Foto diambil dari)
Meskipun demikian, soal George Leigh Mallory dan Andrew Irvine yang gugur di medan gunung kala hendak mencapai Puncak Everest yang tingginya 8.848 m dpl pada 8 Juni 1924, merupakan teka-teki besar yang pernah menjadi sorotan. 
Dalam artikel di majalah Intisari edisi September 1999, disebutkan bahwa mayat Mallory menjadi marmer, membeku oleh proses alam yang terus-menerus dengan pergelangan kaki patah dan wajah terbenam ke bawah setelah terjatuh bersama tali pengamannya oleh sebab misterius, pada ketinggian 8.300 m dpl. Sedang Irvine, rekannya, tak diketemukan dan entah ada di mana. 
(Foto diambil dari)

Kamera Kodak Mallory yang mestinya bisa menjadi bukti dokumentasi apakah mereka telah mencapai puncak, hilang. Entah waktu itu dipegang oleh siapa, sebab Irvine suka memotret. Jadi tak diketahui apakah Mallory (dan barangkali juga Irvine) jatuh kala naik atau turun. 
(Foto dari)
 Lalu timbullah berbagai spekulasi tentang siapa yang pertama kali menaklukkan Puncak Mount Everest: George Leigh Mallory dan Andrew Irvine yang lewat jalur Utara, atau Edmund Hillary dan Tenzing Norgay yang lewat jalur Selatan. Kedua nama terakhir merupakan orang-orang pertama yang berhasil menjejakkan kaki di sana, beberapa tahun kemudian setelah ekspedisi Mallory dkk. yang gagal.
Namun bukan berarti Hillary dan Tenzing mencapainya dengan segala kemudahan. Berulang kali mereka gagal. Terutama Tenzing yang sebelumnya pernah mencoba untuk mencapai Puncak Everest sebagai sherpa pendamping bersama beberapa pendaki asing yang salah satunya adalah Raymond Lambert, ia sempat jadi sahabat Tenzing (Intisari, Mei 1991).

Lalu, apakah mendaki gunung merupakan pengendalian ego semata? Tahu dan sadar kapasitas diri itu sangat penting. Mundur begitu sadar saatnya belum memungkinkan untuk dilanjutkan namun bukan berarti menyerah sebab masih ada kesempatan lain untuk diperjuangkan. Demikianlah Edmund Hillary dan Tenzing Norgay menaklukkan puncak diri sampai pada akhirnya berhasil mencapai Everest dengan selamat pada 29 Mei 1953; tak penting benar apakah mereka menjadi yang pertama atau kedua sesudah perjuangan Mallory dan Irvine. Mereka berempat sama-sama pelopor dan inspirator. Mallory dan Irvine tatap dikenang orang, bagaimanapun persepsi orang tentang perjuangannya untuk mencapai puncak.
(Foto diambil dari)
 
Kegigihan adalah bagian dari ego diri, namun ada batas untuk tahu kapasitas diri. Jadi, gugurnya Mallory dan Irvine tetap menjadi wallahualam bagi saya. Entah ambisi atau alam yang menjatuhkan. Namun bagi saya alam itu sarat ketakterdugaan, menyadarkan betapa kecilnya kita di tengah hamparan kebesaran mahakarya Tuhan. Namun saya lebih memilih kecil dengan terus-menerus berusaha mengenal dan bersahabat dengan alam. Betapapun tak mudahnya hal itu dilakukan.

Cuaca, misalnya, terus terang saya tak pernah bisa memprediksikan apakah hujan akan turun atau tidak karena mendung semata. Meski saya pencinta hujan, saya bukan pawang hujan. Jadilah saya sedikit payungholik seperti Nia, istri Andi rekan kerja saya. Alasannya: saya tak mau hujan menghambat mobilitas. Lebih asyik berjalan di bawah guyuran hujan dalam naungan payung daripada basah kuyup kehujanan, untuk alasan praktis semata payungholiknya.
Bagi saya, alam dan cuaca tak mudah ditebak meski saya mencoba akrab. Termasuk berusaha mengakrabi kampung halaman dengan sesekali trekking yang cuma jalan kaki pagi menyusuri jalanan desa menuju tempat paling tinggi.
(Foto hasil jepretan netbook sendiri, sebagai tambahan ilustrasi panorama kampung)
Saya selalu penasaran akan
puncak, kebetulan saya tinggal di daerah yang menanjak. Jadi, ada apa di tempat yang lebih tinggi selalu menggoda saya untuk bertualang, termasuk memerhatikan bentangan pegunungan yang melingkupi kampung. Ya, sebab itu ada di sana. Ada sesuatu yang membuat saya harus tahu. Maka bertualanglah saya, seperti pengalaman tadi pagi (6 Agustus 2005).
(Foto hasil jepretan netbook Acer Aspire One Pro 10.1)
#Bersambung
Catatan ini saya temukan di milis, merupakan surel lama, sayang kertas sambungannya hilang dan saya bingung gimana cara merangkai ingatan perjalanan lama.



---------------------------------
Get your own web address.
Have a HUGE year through Yahoo! Small Business.

[Non-text portions of this message have been removed]
  Rohyati Sofjan
Message 2 of 5 , Apr 2, 2007
View Source

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D