Minggu, 23 Februari 2014

Senja yang Bercerita

Sebuah Pertanyaan untuk Cinta 
(Foto diambil dari )




Esai Sastra


Senja yang Bercerita

(Renungan dari Sebuah Pertanyaan untuk Cinta,

Seno Gumira Ajidarma)


Oleh Rohyati Sofjan


Senja. Mengapa lelaki suka sekali menyebut senja, terutama para pengarang  (termasuk penyair!), mereka pasti menulis senja. Lalu apa istimewanya senja? Adakah daya magis dari kata yang seolah tak sederhana apalagi biasa? Mungkin senja itu luar biasa, ya seluar-biasa keajaiban alam ciptaan Tuhan. Senja adalah proses metamorfosis, antara terang dengan kegelapan, antara ruang yang melebar dan menyempit, berikut aktivitas penghuni bumi; termasuk angin, air, dan gelombang lautan.
          Senja ada karena bumi berputar pada porosnya mengelilingi matahari, rotasi semacam itu menampilkan senja-senja  yang selalu hadir di belahan dunia mana. Namun Seno, mengapa sih ia senantiasa bersenja ria? Kadang senja-nya memikat, kadang membosankan.
Semua suasana senja pasti masuk dalam cerpennya. Entah “Nocturno”, “Dua Lelaki”, “Gelang untuk Kaki Seorang Wanita”, “Senja di Balik jendela”, dan “Je t’aime” di antologi cerpen Sebuah Pertanyaan untuk Cinta; sampai “Peselancar Agung”   di Republika (Ahad, 21 Mei 2000).
Apakah Seno begitu tergila-gila pada senja, atau senja memang menghanyutkan? Kalau sudah demikian, siapa yang lebih melankolis, lelaki atau perempuan? Atau memang kedua-duanya saling memengaruhi?
Senja Seno di “Peselancar Agung” lebih banyak berdeskripsi, dan terus terang itu agak membosankan meski iramanya konstan. Ada apa sih dengan pemandangan alam yang tiba-tiba saja bisa menjadi absurd? Atau memang dunia ini sudah begitu absurdnya, memaksa pembaca memasuki ruang absurditas; meraba-raba mencari makna yang mungkin tak pernah dikenalnya.
Seno mungkin hebat dalam mendeskripsikan apa pun, menyeret pembaca untuk hanyut mengarungi jeram imajinasinya. Seorang lelaki yang begitu matang dan berani, imajinya penuh kejutan yang menyentak. Ia begitu liar sekaligus melankolis. Semua diksi yang ia ungkapkan selalu punya kekuatan, ada roh yang menghidupkan.
Senja Seno dalam cerpennya tak selalu sama. Suasananya memang senja, namun adegannya berbeda-beda. Bisa di beranda menghadap pantai, di jantung Kota Jakarta, di sudut taman Kota Singapura, di balik jendela, sampai di dalam mobil yang meluncur di atas jalan raya. Bahkan di suatu kota di mana pelangi tak pernah memudar warnanya.
Namun semua senja yang Seno paparkan tak sembarangan. Semua “senja”-nya selalu bercerita. Begitu puitis, mistis, melankolis, romantis, ironis, sampai tragis.
Begitulah hidup. Ada tangis dan tawa, seolah mereka kawan lama yang tak terpisahkan sampai kapan pun, meski bisa saja mereka membosankan. Mungkin hidup harus demikian, harus ada kata bosan. Bukankah jika kita bosan pada  sesuatu, bisa beralih pada hal lain yang dianggap baru dan tak membosankan. Ganti suasana. Bosan lagi. Kalau sudah demikian, apa arti hidup?
Namun hidup selalu penuh kejutan. Sebagaimana paparan di atas, Seno akan selalu mengejutkan. Elegan dan jantan, sekaligus jahanam. Ia memotret senja dari berbagai angle. Memprosesnya. Lalu membingkainya  dalam berbagai frame. Menghasilkan cerita yang bergambar atau gambar yang bercerita; bercerita banyak tentunya. Untuk kau rasakan, untuk kau bayangkan, sampai tersimpan dalam alam bawah sadar. Lalu keluar dari memori otak sekian mega byte­-mu, kala kau ingin mengenangnya kembali atau terkenang begitu saja tanpa disadari.
Senja adalah tamu tak diundang  yang senantiasa ditunggu kehadirannya, saat manusia lelah memburu hari dan senja mengisyaratkan untuk berhenti. Ia bisa datang tiba-tiba pada waktu yang sebenarnya bisa diduga, namun lebih banyak manusia lupa.
Apakah seorang wanita menunggui senja untuk memutuskan sesuatu dalam hidupnya? Menikmatinya. Lalu disadarkan pada malam bahwa ia harus pergi dan kembali jadi petualang. Namun untuk apa ia pergi? Bertualang dari satu cinta ke cinta lain, mencari cinta dari setiap lelaki yang ia jumpai, sampai lupa dan asing akan maknanya. Untuk mimpi atau cinta yang tak pernah puas ia cari, di dunia yang memang tak abadi? (“Nocturno”)
Kalau sudah demikian, Seno seolah menggambarkan,  bahwa bukan hanya lelaki saja yang bertualang, wanita pun bisa demikian. Akan tetapi, manusia memang musafir, mencari-cari tujuan sampai tidak tahu tujuan apa yang ia cari dan kapan berhenti.

Begitulah, dua lelaki yang mungkin berkawan baik berjalan pulang sembari mencoba menikmati panorama senja dengan ragam penghuninya di jantung Kota Jakarta. Kau melemparkan problem yang menyesakkan. Sesuatu dalam hidup yang tiba-tiba berubah, seperti senja, mungkin. Bagaimana rasanya jika kau punya seorang istri yang bagimu adalah segalanya, lalu semuanya berakhir. Kalian bercerai ketika perkawinan sudah terasa seperti neraka dan tak bisa dipertahankan keutuhannya. Kau menumpahkan kekesalan pada kawanmu yang tetap berperan sebagai pendengar yang baik. Sampai senja berakhir, di kelokan jalan kalian berpisah. Kau pergi tanpa menoleh lagi. Kawanmu diam-diam memperhatikan. Sampai kau menghilang dari pandangan. Lalu ia bergegas pergi. Senja benar-benar berakhir. Malam digelar. Ia akan menemui mantan istrimu. Mereka sudah janjian: ada kencan! (“Dua Lelaki”)
Barangkali inilah dramaturgi perkawinan yang berakhir dengan perceraian. Seperti senja. Sekelebatan. Indah dipandang  lalu hilang. Dalam hidup memang ada “senja” lain;  senja absurd. Semuanya berganti dengan cepat, menjadi malam yang metaforis: gelap. Akan tetapi, pasti esoknya ada pagi, siang, sore, lalu senja lagi. Hidup ini memang berirama dan berwarna, serta serba tak terduga.

Ada apa dengan kaki seorang wanita? Barangkali di mata lelaki, kaki wanita punya daya tarik tersendiri. Seksi, menggairahkan, dan sudah tentu merangsang ketika dipandang. Dan di mata Seno sendiri, kaki seorang wanita adalah sumber inspirasi. Suatu keindahan dalam makna yang sebenarnya, bukan suatu bayangan vulgar untuk dibawa dalam mimpi yang jorok dan murahan..
Memasangkan gelang di kaki seorang wanita, di suatu sudut dalam taman Kota Singapura, pada suatu senja. Hingga membentuk suatu siluet yang begitu indahnya. Memasangkannya sih mudah, namun bagaimana jika kau meminta seorang wanita yang (mungkin) tak kau kenal apalagi mengenalimu; agar bersedia menyandarkan sebelah kakinya di pangkuanmu, untuk kau pasangkan gelang, lalu mengelusnya perlahan-lahan. Pada suatu senja tentunya. Dan yang jelas gelang itu bukan sembarang gelang, sebuah gelang yang didapat kala mengunjungi negeri Atap Dunia dan butuh perjuangan untuk ke sana: Nepal, di mana eksotisme tak memudar! Lalu kau memberikannya begitu saja kepada seorang wanita yang di matamu memiliki kaki terindah. (“Gelang untuk Kaki Seorang Wanita”)
Apakah dengan itu Seno seolah ingin mengungkapkan, bahwa semua hasil perjuangan lelaki di dunia tidak berarti jika tak membaginya dengan wanita?   

Apakah senja begitu romantis dan melankolisnya di mata seorang lelaki, hingga membuatnya terkenang-kenang pada suatu senja lain, di masa yang lain. Mengenang seorang wanita dalam hidupnya, yang datang lalu pergi begitu saja. Sekelebatan. Dan kau tak menduga ia akan pergi dengan cara yang begitu manisnya: menciumi kelopak mawar di rumpunnya, mengelus bunga di tepi jalan, melangkah lincah dengan kaki telanjang dan gaun putih berkibaran, lalu lenyap seolah ditelan kabut yang mengendap, sampai kau tak bisa melihatnya lagi. Dan kau bertanya, ada di mana ia gerangan? Namun wanita memang senantiasa meninggalkan tanda tanya bagi lelaki dengan jutaan misteri tak terungkapkan. Apakah bagi lelaki, wanita itu misteri tak terpahamkan? (“Senja di Balik jendela”)
Ada sesuatu dalam senja itu, senja di balik jendela yang Seno ungkapkan. Jika kita melihat jendela yang terpentang lebar, ibarat melongok ruang yang dalam, ruang yang pernah kita isi tetapi tak bisa kembali ke sana untuk mengulanginya lagi. Hidup senantiasa berubah. Seperti “senja” dan “cinta”. Dan cinta biasanya tak pandang usia, bisa saja seorang lelaki tertarik pada wanita yang 12 tahun lebih tua darinya. Dan cinta selalu serba mungkin, meski wanita sendiri bisa gamang akan cinta karena takut tua atau hal lainnya.
Bagi wanita, tua memang proses, namun prosesnya tak sesederhana itu. Anggapan bahwa wanita harus indah atau wanita adalah sumber keindahan, kadang menjadi bumerang bagi wanita sendiri. Mereka bisa meragukan cinta, dari seorang lelaki yang paling tulus sekalipun. Ketika muda, wanita bisa dianggap segalanya. Namun ketika waktu bergulir, dari senja ke senja lain; mereka menyadari, betapa keriput sampai menopause bisa menjatuhkannya.
Akan tetapi, Seno berpikir lain. Kecantikan memang akan lumer, namun tidak keindahan dalam diri wanita. Lantas, keindahan macam apa lagi yang seno jabarkan -- selain senyum dan mata yang bercahaya? Akankah wanita penasaran karenanya? Keindahan memang ada dalam diri wanita, keindahan yang bisa bukan bentuk fisik sekalipun.
Kalau sudah demikian, mungkin wanita harus keluar dari lingkaran hedonismenya dan memercayai keindahan dalam (inner beauty), keindahan yang memancar tanpa pulasan. Dan definisi keindahan bisa apa saja. Termasuk hati dan isi kepala, sesuatu yang bisa membuat lelaki jatuh cinta. Namun apakah wanita hanya hidup untuk cinta? Wanita pun bisa gamang. Kadang mereka tak tahu untuk apa dan siapa berdandan, sampai segala keindahan yang dimilikinya. Untuk dirinya, untuk orang lain, atau memang sudah seharusnya? 

Kadang senja bisa merupakan pergantian suasana. Ikut ambil bagian dalam hidup seorang lelaki. Dari tiga wanita yang masuk dalam hidupnya, sekaligus, ia pun membagi cinta dan hidupnya untuk wanita-wanita yang memang tak bisa ia lepaskan. (“Je t’aime”)
Mungkinkah bagi lelaki, seorang wanita di dunia tak pernah cukup baginya? Mengapa lelaki selalu bisa membagi cintanya? Adakah cinta lelaki yang utuh untuk seorang wanita? Hanya untuk seorang wanita?!
Ah, Seno memang gila! Wanita bisa belajar dari tulisannya.

Membaca cerpen Geno Gumira Ajidarma sebenarnya tak selalu bisa “asal baca”, ada muatan nilai filosofis di dalamnya. Bisa ringan, bisa pula berat. Interpretasi Seno tentang senja -- berikut sejuta cerita -- awalnya membosankan. Mungkin tak mudah memahami Seno, sama halnya tak mudah memahami lelaki. Kita harus membacanya berulang kali sampai paham bagaimana substansinya. Mungkin inilah kompleksitas tentang hidup manusia yang ditawarkan Seno, adakalanya penuh kontemplasi.
Seperti hidup yang penuh ironi, manusia bisa terpesona begitu saja pada sesuatu dan menjadi dungu tanpa tahu telah  didungui, seolah memang harus ada yang membuatnya demikian. Entah itu pada suatu kota yang senantiasa ada pelanginya, pada ombak dan lautan, berikut pada yang bisa menguasainya; berselancar dengan tenang di atas ombak yang bergulung khusus untuknya, seolah dewa, pada suatu senja yang sempurna. Apakah memang manusia mudah terkesima pada suatu bentuk yang bernama “pengultusan”, lantas berbondong-bondong ingin ikut ambil bagian, meski mereka bisa merana karenanya. Lupa pada “kekuasaan” lain yang menciptakan panorama senja dengan sebenarnya. (“Peselancar Agung”)
Itulah Seno, ada lambang metafora di dalamnya. Ia seolah mengejek pengultusan individu, berikut orang-orang yang rela jadi kroco ngaco ambisius. Namun sebagai Seno, ia menyusupkan metafora-metafora itu dengan cara khasnya. Bahasa yang penuh bunga-bunga dan berima mengalir begitu saja, dan tanpa sadar kita selesai. Mungkin membosankan. Namun Seno cerdik. Jika kita jeli, ia bicara tentang “sesuatu”, sesuatu yang sesungguhnya terjadi di negeri kita ini. Dan ia mengemasnya dengan gaya dunia absurd yang surealis-metaforis. Kota di mana pelangi tak pernah memudar sebetulnya ada di mana-mana, di belahan bumi Indonesia bukan hanya Pantai Kuta yang menginspirasinya saja.
Atau memang itu dunia imajinasi Seno belaka -- yang absurd? Namun siapa yang peduli. Seno tetap Seno. Seseorang yang begitu memuja senja dan membingkainya dalam ribuan cerita, cerita yang senantiasa bercerita dengan sepenuh cahaya.
Bahkan dalam perjalanannya ke Vietnam sampai Kathmandu, Nepal. Lelaki kelahiran Boston, 19 Juni 1958 ini bisa bercerita begitu menyentuh, dan seperti biasanya hidup, berirama dan berwarna. Hingga bukan suatu feature perjalanan wisata (travelling) biasa. Itu feature perjalanan pencarian jiwa Seno. Ia mencari sesuatu namun tak tahu apa yang dicari, sampai sadar bahwa yang ia cari tak jauh dari dirinya sendiri: hati! (Intisari No. 390, Januari 1996; Intisari No. 395, Juni 1996; Jakarta Jakarta  No. 500, 3-9 Februari 1996.)
Barangkali hidup ini untuk mencari sesuatu. Bahkan selalu ada senja untuk kita pelajari, senja yang menyimpan cerita sekaligus rahasia. *** 
Ditulis tahun 2000-an ke atas, belum pernah dimuat media mana pun. :)







4 komentar:

  1. Kecil sekali mbak teksnya??
    Kenapa ini?
    Coba pakek standartnya aja, gag usah diruah..
    Jadi gag fokus bacanya saya.. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih sarannya. Maklum baru bikin blog lagi setelah lama vakum alias menelantarkan yang di Wordpress jadi kurang paham cara kerja blogspot. :)

      Hapus
  2. Aku biasa pake Georgia/ Verdana terus aku ubah ukuran jadi large. ada di pengaturan dashboard blognya mbak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saran yang sangat membantu, Mbak Susan. Blog Anda enak dibaca dari segi huruf dan isi. Makasih. :)

      Hapus

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D