Rabu, 26 Februari 2014

Puisi yang Dimabuk Senja



RESENSI

( Pustaka Nusantara)

Puisi yang Dimabuk Senja

 

DATA BUKU            : KUUKIR SENJA DARI BALIK JENDELA
PENULIS                  : NOVY NOORHAYATI  SYAHFIDA
PENERBIT               : PUSTAKA NUSANTARA
CETAKAN                : PERTAMA, DESEMBER 2013
TEBAL                      : 109 HALAMAN
ISBN                          : 978-602-7645-18-9
HARGA                     : RP35.000,-  

ADALAH senja, panorama yang senantiasa mengilhami penyair untuk memuisikannya, menggoda orang turut menafsirkan dalam beragam persepsi sesuai ranah pengalaman. Dan Novy Noorhayati Syahfida mengumpulkan kepingan senja yang sarat cerita dalam antologi puisi tunggalnya, Kuukir Senja dari Balik Jendela.

Seperti Seno Gumira Ajidarma yang bercerita dalam cerpen “Senja di Balik Jendela”,  Novy mengukir senja dalam puisinya, senja yang sarat cerita. Sukacita dan duka berbaur menjadi satu dalam irama kehidupan, dan yang menyatukan kepingan manik kenangan adalah cinta.

Berceritalah tentang cinta dalam balutan senja, maka dapatkan panorama rasa yang menghanyutkan. Sebagai penyair, Novy cenderung liris sekaligus lembut memuisikan senja; meski marah, sedih, bahagia, atau terluka.

Bisa saja baginya, senja telah mati/ dalam pekik sunyi nelayan pantai/ terkurung bersama ribuan camar tua/ yang terluka// dalam “Kematian Senja”. Atau juga mengumpamakan dirinya sebagai, aku ini senja/ yang kadang berwarna jingga/ namun pernah pula merah menyala/ …aku ini senja/ jangan panggil yang lain/ karena senja tak meninggalkan sisa// (hal 24).

Senja, dalam tafsiran KBBI, bermakna waktu (hari) setengah gelap,  sesudah matahari terbenam. Apa yang tersisa dari senja sendiri selain kegelapan malam. Apakah Novy, sebagai senja, merasa dirinya tak menyisakan apa-apa setelah pudarnya pesona yang dipancarkan jika “gelap” menjelang, hanya meninggalkan kehampaan dan ruang misteri terbesar?

Akan tetapi, jika dirinya adalah senja, setiap saat selalu memampangkan pesona meskipun pada akhirnya karam ditelan malam. Pun sebagai penyair, Novy seakan dimabuk senja, lalu mengajak kita ikut berpesta dalam  “Aku Senja dan Kau adalah Ombak”: Aku senja dan kau adalah ombak/ bertemu dalam satu titik yang sama/ kerinduan…/ pada batu karang serta pepasiran/ pada nyiur yang melambai enggan// Aku senja dan kau adalah ombak/ yang letih mengharap/ pada cinta…/ di luasnya samudera/ di langit nan jingga// Aku senja dan kau adalah ombak/ aku yang dimabuk cahaya/ dan kau yang bersetia/ mari kita tuang lagi satu puisi/ di sini, di pantai ini…//

Ada 100 puisi dalam antologi ini, Proses kreatif yang panjang dan produktif, dengan titi mangsa tahun 1997 sampai 2013. Betapa Novy rajin berkreasi mengolah alur pikir dan rasa menjelma puisi. Dan dengan judul  Kuukir Senja dari Balik Jendela, sebenarnya seakan menunjukkan betapa Novy merasa dirinya sebagai pengamat. Dari balik jendela ia menyaksikan berbingkai-bingkai panorama senja yang sarat cerita.

Puisi yang ditulisnya cenderung  pendek, liris, dan mudah dipahami. Bermain dengan imaji. Ada yang kuat ada pula yang lemah. Bergantung selera penafsiran pembaca. Penyair kelahiran Jakarta, 12 November 1976 ini menulis puisi sejak usia 11 tahun. Jika dirunut dari jejak panjang kepenyairannya berarti Novy telah 26 tahun berpuisi. Rekor yang mengagumkan.

Setiap puisi mengajak kita menapaktilasi peristiwa yang dipaparkan penyair, setiap puisi adalah kelindan peristiwa itu sendiri. Dan setiap puisi merekam takdir. Meskipun sepi.

Puisi membawa kita pada keheningan atau hiruk-pikuk peristiwa. Ditujukan pada seseorang atau sesuatu, ada juga untuk pencipta langit dan bumi. Puisi adalah kabaran jiwa, upaya manusia agar karsa terpelihara.

Begitu pun dengan Novy, bersikeras menjaga elan vital karyanya bukanlah hal mudah. Sebagaimana pasang-surut laut, hidup pun adakalanya membuat kita terpuruk. 100 karya yang ditawarkannya adalah upaya mengajak pembaca menafsirkan sekaligus menikmati senja. Senja bisa mengajak kita memahami rahasia usia, sekaligus sesuatu yang fana.

Sebuah catatan bagaimanapun harus ditorehkan sebagai apresiasi sekaligus kritik konstruktif. Sebagai penyair Novy telah memiliki ciri khas dalam puisinya, pilihan diksi yang sederhana dan mudah dipahami. Seakan ia ingin leluasa berkomunikasi, mendedah pikir dan rasa tanpa kendala. Dan rima pun terjaga. Akan tetapi, masih ada yang perlu dikoreksi. Kekinian dalam berbahasa!

Puisi bisa berlindung di balik licentia poetica, namun sebagai penyair yang baik janganlah mengabaikan gramatika. Ilmu tata bahasa bagaimanapun untuk melengkapi karya penyair agar lebih bernas. Samudera yang dipilih Novy kiranya bisa “dibakukan” menjadi samudra. Janganlah bunyi dijadikan dalih sebagai pemberi kekuatan dan pengaruh bagi puisi, bagaimanapun bahasa jangan dikebiri.

Sebaiknya penyair khatam EYD dan panduan berbahasa agar karyanya tetap elok dinikmati sepanjang masa. Dan semoga kelemahan Novy dalam beberapa bagian kelak bisa dikoreksi. Tabik! (*)

ROHYATI SOFJAN, Penulis lepas, tinggal di Garut    

Limbangan, Garut, 12 Februari 2014
> Dimuat harian Jawa Pos, Minggu, 16 Februari 2014 


(Foto Untung Wahyudi)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D