Rabu, 26 Februari 2014

Tristan



Fiksi


Tristan

Oleh Rohyati Sofjan


T
ristan seperti muncul dari ketiadaan, sekonyong-konyong yang diam, dan aku hanya bisa terpaku di ruang tamu ini menyaksikan sosok yang masuk begitu saja tanpa salam. Wajahnya beku, ia bahkan tidak melihat ke arahku, sang tamu. Tristan menghilang ke ruang tengah, barangkali masuk kamarnya, entahlah. Aku merasa kecewa dengan pertemuan kesekian yang selalu saja berakhir tanpa sapaan.
Bodoh, aku tak berani menyapanya! Bagaimana bisa kusapa wajah beku seperti itu, huh, cool banget,  kayak habis dipendem di freezer ‘kali.. Ah, Tristan, wajah tampan itu selalu mengusik anganku. Aku sudah terpesona padanya kala ia dipajang di ruang tamu dalam bingkai besar, sebuah foto keluarga yang hangat. Tristan tersenyum lepas berdiri mengapit Najmi kembarannya bersama Palung abang mereka yang enam tahun lebih tua, di depan mereka duduk ayah bundanya. Aku langsung suka senyum Tristan, dan tak menduga begitu bertemu dengannya jauh dari kesan murah senyum.
Najmi, nama lengkapnya Najm Syaqib Istiqomah dan biasa dipanggil Najmi, masuk dengan nampan besar berisi makanan dan minuman, plus senyum ramah yang terkembang. Ia mirip Tristan namun dibedakan dari segi jantan-betina, Najmi lebih ramah dan murah senyum daripada abangnya.
Aku lebih tertarik pada Tristan ketimbang rasa haus dan lapar setelah seharian berkutat mengerjakan makalah penelitian biologi kami. “Apa ia selalu begitu?”
“Maksudmu?” Najmi bingung meraba arah ucapanku yang empat kata sebagai sambutan.
“Abangmu jutek atau sok jaim, sih?”
“Oh,” Najmi tersenyum geli, “kenapa emang?”
“Tiap aku berada di sini ia selalu masuk begitu saja tanpa beruluk salam, apalagi bonus senyuman.”
“Wah, kasihan kamu,” Najmi malah menggoda. “Ia memang selalu gitu ma cewek. Jangan tersinggung, banyak yang tersinggung dengan ulahnya yang dianggap sombong atau tak sopan, ia bisa berdalih tak ada urusan.” Najmi angkat bahu. Aneh, punya kembaran kok beda watak.  
Aku memandang Najmi berharap ia bisa cerita lebih banyak tentang kembarannya, namun Najmi seperti tak ingin melanjutkan. Ia seperti tak suka mengumbar cerita tentang keluarganya. Kedua orang tuanya tinggal di desa, rumah besar ini milik Palung abang mereka yang kerja di Vietnam. Palung sudah lama mengincar rumah dekat Taman Cilaki ini, begitu terbeli langsung minta kedua adiknya untuk menempati. Palung masih lajang, kata Najmi. Setidaknya Najmi dan Tristan yang kuliah nyambi kerja di Bandung tak perlu kost apalagi keluar biaya lainnya. Ada Palung yang menyokong mereka.
“Kapan Palung pulang?” Sudah satu jam dan aku bosan dengan suasana diam, tugas biologi ini membuatku capai, ini makalah tentang energi alternatif dari tumbuh-tumbuhan, bagaimana pati jagung dan beras bisa dimanfaatkan. Sudah selesai tinggal diedit ulang. Ya, biologi kajian pilihan kami. Aku dan Najmi di ITB, Tristan di ATB, itu Akademi Tata Boga. Aneh ya, pilihan jurusan Tristan. Lelaki macho yang sepintas mirip Orlando Bloom itu mestinya berkutat dengan mesin bukan masak.
“Belum tahu, bisa bulan ini atau depan. Ada apa dengan Palung?” lagi-lagi Najmi menggoda, senang punya dua abang yang keren ‘kali.
“Minta oleh-olehnya,” rajukku.
Najmi tertawa dan mengiyakan. Dan saat itu Tristan tiba-tiba muncul, selalu seperti dari ketiadaan sosoknya bagiku, menyapa Najmi, “Aku berangkat dulu, hati-hati di rumah. Mau pesan apa untuk bahan belanja nanti?”
“Apa aja deh, yang penting enak dimakan, jangan lupa bumbu dapur....”
“Dan martabak bangka!” usulku tiba-tiba, aku sendiri tidak tahu mengapa. Tristan hanya diam seolah tak mendengarku. Lalu berlalu tanpa melihatku.
“Jangan lupa martabaknya buat Rika, Tristan!” teriak Najmi sambil tertawa yang disambut tawaku. Entah mengapa aku merasa bahagia, berharap kekakuan dengan Tristan mencair. Aku sudah lama kenal Najmi sejak mapram namun baru akrab karena tugas biologi ini.
Tristan sudah menghilang dengan motornya. Mulutku usil lagi, “Ia mau ke mana?”
“Kerja di Potluck, jadi tukang masak dan sebagainya. Abangku ‘kan jago masak. Mau nginap untuk mencicipi masakannya nanti malam?”
Dan tawaran Najmi kusambut dengan sangat senang hati. Kapan lagi aku mencicipi masakan Tristan, makan malam bareng yang kuharap romantis. Argh! Eh, aku ‘kan sudah punya pacar! Gimana reaksi Inal jika tahu yayangnya malah terbayang-bayang pada cowok lain, pengen dimasakin pula! Dan jangan lupa sudah lancang minta oleh-oleh martabak bangka, haha....  

M
akan malam yang kuharap romantis ternyata tak terwujud. Setelah semalaman menunggu Tristan dengan dalih kabita kana martabakna, dan penampilan supercantik ala Rika yang kuaaplikasikan dari majalah Kartika punya Najmi, pada akhirnya malah membuatku layu. Tristan pulang menjinjing belanjaan tidak sendirian. Di belakangnya ada seorang perempuan ayu berjilbab yang anggun plus modis mengekor dengan dua kantung plastik kecil, salah satunya berisi sekotak martabak. Aku hanya bisa melongo ketika Tristan melenggang masuk begitu saja. Aku bahkan tak membalas senyum ramah dari perempuan ayunya. Aku merasa seperti ranting kering yang dipatahkan angin. Begitu tiba-tiba, dan aku tak bisa menahan laju gravitasi untuk jatuh ke bumi, bumi kesadaranku sendiri!
Dari ruang tengah kulihat Tristan begitu akrab dengan  perempuan itu di pantry. Ada senyum dan tawa mewarnai mereka. Aku pilu sekaligus cemburu karena senyum dan tawa Tristan tidak ditujukan untukku. Ia begitu menarik, sangat menarik jika tersenyum dan tertawa. Begitu tulus dan lepas. Andai saja senyum itu untukku. Betapa berubahnya Tristan dengan kehadiran perempuan itu, bukan lagi lelaki beku yang habis dipendem di freezer. Ia begitu hidup dan wajah putihnya sesekali merona bahagia.
Aku masih terpaku di sofa ketika Najmi muncul dengan sepiring martabak bangka yang masih hangat. Namun aku sudah kehilangan selera apalagi membayangkan makan malam yang romantis. Tristan memasaknya tak sendirian! Harusnya aku yang menemani, aku tak jago amat namun ingin juga diajari Tristan masak makanan ala restoran dengan penyajian yang ciamik!
“Siapa dia, Naj?”
Seperti biasa Najmi selalu tersenyum sebelum mengawali ucapan, barangkali kali ini ingin mencairkan suasana karena wajahku keruh sekali. Sangat kentara rasa tidak sukaku karena kehadiran perempuan itu. “Mbak Atiqah, istrinya.”
Deg! Bagaimana bisa fragmen ini harus kujalani. Aku memandang Najmi, sangat tersinggung. “Kok aku tak diberi tahu ia dah nikah, semuda itu pula, kalian ‘kan sama-sama belum lulus kuliah?”
“Jangan ngomel, sabar, Rika. Ia dah lama nikah, dah setahun. Cuma aku dan kamu yang tahu. Please, aku mohon jangan umbar soal ini pada siapa pun, orang tua kami saja belum tahu, apalagi Palung. Sengaja dirahasiakan demi menjaga perasaan Palung yang trauma karena calon istrinya meninggal akibat kecelakaan kala ekspedisi ke pedalaman.” Kali ini Najmi berhenti, diliriknya Tristan dan Mbak Atiqah yang sedang memasak. “Memang tidak etis namun Tristan merasa tak bisa menunggu lebih lama lagi, takut MBA. Mungkin Palung akan mengerti namun Tristan yang pendiam dan tertutup itu tidak akrab dengan Palung dan tak tahu bagaimana cara menyampaikan keinginan soal menikah yang bagi Palung bisa terasa lucu. Sejak kecil Palung yang usil dan mischief suka mengganggunya. Barangkali Tristan ingin membalas Palung dengan caranya. Aku tidak tahu.” Najmi angkat bahu. Dan aku hanya bisa melongo.
“Jangan melongo saja, dimakan tuh martabaknya, khusus buat kamu dari Tristan, katanya dipilih yang spesial. Sayang jika keburu dingin, Rik. Aku nyiapin meja makan dulu.”
Aku masih duduk merenungkan ucapan Najmi, dan aku merasa picik dalam fragmen ini. Ya, nikah muda sudah biasa, masalahnya bergantung cara. Aku melihat Tristan dan Mbak Atiqah, mereka begitu mesra layaknya suami istri. Ada ikatan sah di antara mereka, ikatan halal. Mendadak aku tidak cemburu lagi, aku hanya iri pada kemesraan mereka. Sedang aku sangat sering gonta-ganti pacar, alasanku bosan. Hanya Inal yang tetap bertahan untuk menjadi pacarku. Aku merindukan Inal kakak tingkatku. Kapan ia melamarku, ya? Kulahap martabak bangka sambil membayangkan masa depan dengan Inal, apakah kami akan nikah muda juga, secara diam-diam atau terang-terangan?
Makan malam sudah siap. Kami makan dalam suasana yang riang dan hangat. Masakannya sangat lezat. Dan aku mencoba terbiasa dengan sikap Tristan yang berjarak.***
Limbangan, Garut, 19 April 2011 
> Dimuat di majalah Kartika edisi 98, Oktober 2001  



Puisi yang Dimabuk Senja



RESENSI

( Pustaka Nusantara)

Puisi yang Dimabuk Senja

 

DATA BUKU            : KUUKIR SENJA DARI BALIK JENDELA
PENULIS                  : NOVY NOORHAYATI  SYAHFIDA
PENERBIT               : PUSTAKA NUSANTARA
CETAKAN                : PERTAMA, DESEMBER 2013
TEBAL                      : 109 HALAMAN
ISBN                          : 978-602-7645-18-9
HARGA                     : RP35.000,-  

ADALAH senja, panorama yang senantiasa mengilhami penyair untuk memuisikannya, menggoda orang turut menafsirkan dalam beragam persepsi sesuai ranah pengalaman. Dan Novy Noorhayati Syahfida mengumpulkan kepingan senja yang sarat cerita dalam antologi puisi tunggalnya, Kuukir Senja dari Balik Jendela.

Seperti Seno Gumira Ajidarma yang bercerita dalam cerpen “Senja di Balik Jendela”,  Novy mengukir senja dalam puisinya, senja yang sarat cerita. Sukacita dan duka berbaur menjadi satu dalam irama kehidupan, dan yang menyatukan kepingan manik kenangan adalah cinta.

Berceritalah tentang cinta dalam balutan senja, maka dapatkan panorama rasa yang menghanyutkan. Sebagai penyair, Novy cenderung liris sekaligus lembut memuisikan senja; meski marah, sedih, bahagia, atau terluka.

Bisa saja baginya, senja telah mati/ dalam pekik sunyi nelayan pantai/ terkurung bersama ribuan camar tua/ yang terluka// dalam “Kematian Senja”. Atau juga mengumpamakan dirinya sebagai, aku ini senja/ yang kadang berwarna jingga/ namun pernah pula merah menyala/ …aku ini senja/ jangan panggil yang lain/ karena senja tak meninggalkan sisa// (hal 24).

Senja, dalam tafsiran KBBI, bermakna waktu (hari) setengah gelap,  sesudah matahari terbenam. Apa yang tersisa dari senja sendiri selain kegelapan malam. Apakah Novy, sebagai senja, merasa dirinya tak menyisakan apa-apa setelah pudarnya pesona yang dipancarkan jika “gelap” menjelang, hanya meninggalkan kehampaan dan ruang misteri terbesar?

Akan tetapi, jika dirinya adalah senja, setiap saat selalu memampangkan pesona meskipun pada akhirnya karam ditelan malam. Pun sebagai penyair, Novy seakan dimabuk senja, lalu mengajak kita ikut berpesta dalam  “Aku Senja dan Kau adalah Ombak”: Aku senja dan kau adalah ombak/ bertemu dalam satu titik yang sama/ kerinduan…/ pada batu karang serta pepasiran/ pada nyiur yang melambai enggan// Aku senja dan kau adalah ombak/ yang letih mengharap/ pada cinta…/ di luasnya samudera/ di langit nan jingga// Aku senja dan kau adalah ombak/ aku yang dimabuk cahaya/ dan kau yang bersetia/ mari kita tuang lagi satu puisi/ di sini, di pantai ini…//

Ada 100 puisi dalam antologi ini, Proses kreatif yang panjang dan produktif, dengan titi mangsa tahun 1997 sampai 2013. Betapa Novy rajin berkreasi mengolah alur pikir dan rasa menjelma puisi. Dan dengan judul  Kuukir Senja dari Balik Jendela, sebenarnya seakan menunjukkan betapa Novy merasa dirinya sebagai pengamat. Dari balik jendela ia menyaksikan berbingkai-bingkai panorama senja yang sarat cerita.

Puisi yang ditulisnya cenderung  pendek, liris, dan mudah dipahami. Bermain dengan imaji. Ada yang kuat ada pula yang lemah. Bergantung selera penafsiran pembaca. Penyair kelahiran Jakarta, 12 November 1976 ini menulis puisi sejak usia 11 tahun. Jika dirunut dari jejak panjang kepenyairannya berarti Novy telah 26 tahun berpuisi. Rekor yang mengagumkan.

Setiap puisi mengajak kita menapaktilasi peristiwa yang dipaparkan penyair, setiap puisi adalah kelindan peristiwa itu sendiri. Dan setiap puisi merekam takdir. Meskipun sepi.

Puisi membawa kita pada keheningan atau hiruk-pikuk peristiwa. Ditujukan pada seseorang atau sesuatu, ada juga untuk pencipta langit dan bumi. Puisi adalah kabaran jiwa, upaya manusia agar karsa terpelihara.

Begitu pun dengan Novy, bersikeras menjaga elan vital karyanya bukanlah hal mudah. Sebagaimana pasang-surut laut, hidup pun adakalanya membuat kita terpuruk. 100 karya yang ditawarkannya adalah upaya mengajak pembaca menafsirkan sekaligus menikmati senja. Senja bisa mengajak kita memahami rahasia usia, sekaligus sesuatu yang fana.

Sebuah catatan bagaimanapun harus ditorehkan sebagai apresiasi sekaligus kritik konstruktif. Sebagai penyair Novy telah memiliki ciri khas dalam puisinya, pilihan diksi yang sederhana dan mudah dipahami. Seakan ia ingin leluasa berkomunikasi, mendedah pikir dan rasa tanpa kendala. Dan rima pun terjaga. Akan tetapi, masih ada yang perlu dikoreksi. Kekinian dalam berbahasa!

Puisi bisa berlindung di balik licentia poetica, namun sebagai penyair yang baik janganlah mengabaikan gramatika. Ilmu tata bahasa bagaimanapun untuk melengkapi karya penyair agar lebih bernas. Samudera yang dipilih Novy kiranya bisa “dibakukan” menjadi samudra. Janganlah bunyi dijadikan dalih sebagai pemberi kekuatan dan pengaruh bagi puisi, bagaimanapun bahasa jangan dikebiri.

Sebaiknya penyair khatam EYD dan panduan berbahasa agar karyanya tetap elok dinikmati sepanjang masa. Dan semoga kelemahan Novy dalam beberapa bagian kelak bisa dikoreksi. Tabik! (*)

ROHYATI SOFJAN, Penulis lepas, tinggal di Garut    

Limbangan, Garut, 12 Februari 2014
> Dimuat harian Jawa Pos, Minggu, 16 Februari 2014 


(Foto Untung Wahyudi)


Meresapi 30 Riwayat Napas



Resensi

(Foto Sampul oleh Ferina Meliasanti)

Meresapi 30 Riwayat Napas


DATA BUKU            : UPACARA BAKAR RAMBUT

PENULIS                   : DIAN HARTATI

PENERBIT                : MEDIUM DAN RUMAH SENI LUNAR

CETAKAN                 : PERTAMA, DESEMBER 2013

TEBAL                       : 98 HALAMAN

ISBN                           : 978-602-8144-20-9

HARGA                      : RP38.000


M
emasuki belantara kata terkadang membuat kita sesat dalam ketakjuban atau kebingungan. Lalu hanyut dialun rasa asing. Sebuah dunia tak dikenal telah kita masuki, tempat belajar mengenal perasaan dan pengalaman orang lain. Dan memasuki wilayah puisi adalah pengalaman turut serta berbagi dengan penyair.
Mengenal Dian Hartati secara pribadi membuat saya subjektif menilai puisinya. Ia pernah berbagi hari, hari-hari sulit dan rungsing sampai hari-hari tenang penuh kedamaian. Begitu pun saya terhadapnya. Yang membedakan di antara kami adalah ketekunannya  berladang kata. Mendedah setiap peristiwa yang terjadi dengan puisi.
Dunia kami yang berbeda terkadang membuat saya iri pada kemampuan dan kemajuannya mengolah alur rasa dan pikir sedemikian subtil. Saya tercengang membaca CV-nya sebagai penyair. Begitu banyak karya yang diterbitkan. Dan jelang usia kepala tiga, sadar atau tidak, ia seakan telah menerapkan prinsip penting dalam hidup: jangan mubazir!
Membaca Upacara Bakar Rambut, saya menyesali diri karena tak berbuat banyak untuk melipur lara karib yang berduka. Saya adalah pembaca yang “turut-serta” sekaligus in absentia. Dan sekarang, saya sedang berhadapan dengan autobiografinya. Nuansa muram begitu pekat, sepekat dukacita. Namun saya harap Dian tak berlarat-larat dalam duka semacam itu. Marilah, masih banyak tangan untuk digenggam, atau bahu untuk bersandar; sekadar menguatkan.
Jika Putu Arya Tirtawirya berpendapat bahwa puisi merupakan ungkapan secara implisit, samar dengan makna yang tersirat di mana kata-katanya condong pada makna konotatif. Saya merasa Dian berjiwa bebas dalam menulis puisi. Mengikuti alur yang diteorikan oleh Putu Arya Tirtawirya, namun bisa juga sebaliknya bermain dalam ranah eksplisit sekaligus denotatif. Kentara baginya bahwa puisi adalah bagian dari keseharian, tempat mendedah perasaan, sebagai perempuan yang terkadang dipaksa tegar oleh keadaan.
Dan membaca 30 puisi dalam Upacara Bakar Rambut bukanlah perkara mudah bagi saya untuk memahaminya. Terkadang Dian membawa saya ke dalam dunianya yang seolah surealis, ngungun dialun mimpi. Kata-kata boleh diungkapkan secara sederhana, namun makna seringkali tersembunyi dalam relung gelap yang sulit dijelajahi pembaca awam macam saya. Puisi semacam itu bukanlah ditujukan untuk menyesatkan pembaca; tak lebih dari semacam kabut kesadaran yang sedang menyelubungi penyair kala ia dihinggapi stimung hingga trance mendedah rasa, membelah jiwa, agar menjelma makna.
di dalam semadi,/ aku merasakan kematian yang dingin/ tangan maut terus menarik akar rambut/ aku melihat si pemilik mata merah/ wajah bengisnya merontokkan segala usaha// hangat tubuh mengelilingi ruang semadi/ ternyata angin tak dapat meredam semua/ tangis tak memiliki arti/ dan warna kehidupan mengacaukan isi kepala// aku membuka mata/ melihat cahaya berkedipan/ mencari pintu, jalan keluar yang tak juga terbuka// SudutBumi, 2013 (“Upacara Bakar Rambut”)
                   
Dian seolah menjadikan puisi sebagai napas kesehariannya. Hidup dengan bernapaskan puisi membutuhkan kepekaan yang harus senantiasa diasah, terus-menerus. Mencermati peristiwa, bahwa hal remeh ternyata berharga. Dan cinta bukanlah perkara remeh-temeh semata. Kalaupun dianggap remeh bagi orang lain, Dian mengolahnya agar kita mengenal dimensi kehidupan bahwa empati dan simpati janganlah mati.
aku sedih/ begitu aku berbisik di telingamu/ kau masih saja bertahan di pembaringan/ berteman dengan hangat tubuh dan batuk/ padahal tadi pagi kita telah/ melakukan perjalanan panjang/ bercerita pada laut yang sedang bergelora/ berkisah tentang sakitmu/ pada ikan-ikan dan pasir pantai// sedang menulis puisi/ begitu aku berbisik di telingamu/ sedikit berbohong karena sepanjang/ siang aku banyak melamun/ memikirkan kamu, rumah,/ dan tabungan yang hampir habis/ segalanya telah kuupayakan/ bahkan aku telah lupa cara/ berkeluh di hadapanmu/ cara menangis yang sebelumnya/ kukemas manis// duduk di hadapanmu/ aku diam/ meraba seluruh wajah dan tubuh/ aku ingin waktu cepat berlalu/ dan kau sehat seperti waktu-waktu lampau/ berjalan pongah dengan lelucon yang siap/ ditembakkan// aku mencintaimu/ begitu aku berbisik di telingamu// Bumiwangi, 2012 (“Begitu Aku Berbisik di Telingamu”)
Baiklah, membaca 30 puisi Dian Hartati dalam antologi ini seakan meresapi 30 riwayat napas hidup sang penyair. Sangat kentara warna kelabunya. Seperti langit pada akhir tahun yang lebih sering mendung. Anggap saja Dian telah membukukan sebagian dari bab kehidupannya, bahwa kenangan adalah jejak langkah di masa silam demi langkah lain ke masa depan. Semoga kelak Dian tetap berkarya, mencipta, dan tidak melulu tentang duka.
Ada hal penting yang lagi-lagi harus diperhatikan agar tak cepat berpuas diri, kritik tetap harus mengiringi karya. Kalaupun ada yang harus saya kritisi adalah soal terlalu cairnya Dian membahasakan puisi. Butuh kehati-hatian ekstra agar irama tak dikebiri. Ya, rima dalam persajakan bagaimanapun memberi ruh bagi puisi agar tak cuma enak dan indah diresapi, juga menguatkan makna. Jadi, janganlah demi mengejar momen puitik lantas mengabaikan bangunan estetik.
Jika Ralph Waldo Emerson bilang, “Puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin.”  Berbahagialah penyair. Mencipta puisi di tengah gebalau dan bising peristiwa adalah hal istimewa, sebab kita telah menjadikannya ada, mengabadi dalam kata.(*)
Limbangan, Garut, 26 November 2013
*Rohyati Sofjan, Penulis Lepas Tinggal di Limbangan, Garut
Ø  Dimuat di harian Jawa Pos, Minggu, 5 Januari 2014

 
(Foto Koran oleh Anang Muaddin)