Sabtu, 01 Februari 2014

Unruk Eria Widiarti



Limbangan, Garut, 4 April 2007  
Malam berhujan menjumpai seseorang

            Eria yang baik,
Semoga saat ini kamu baik-baik saja. Saya mencoba menulis surel jawaban atas tanggapanmu untuk surel bertajuk “Kepada Yth. Ujianto Sadewa, Iman Abda dan Badui U. Subhan”.
Masih lelah dan dada sesak setelah kemarin sore (jam setengah empat yang alhamdulillah tak hujan) tiba di rumah, lalu malamnya saya ketiduran di sofa dengan televisi menyala dan terjaga tepat tengah malam kemudian tahajud. Habis tahajud malah menonton film konyol tentang vampir di SCTV sampai pukul tiga dini hari. Begadang yang sia-sia. Saya tak mendapatkan sesuatu dari film itu. Mestinya tidur saja. Toh, energi saya terkuras cukup besar setelah dua hari di Bandung . Menyadarkan saya bahwa tak mungkin kelak bisa begadang di warnet dari malam sampai subuh karena tak akan kuat. Jarak tempuh Limbangan-Bandung (lalu Bandung-Limbangan) saja sudah melelahkan, belum lagi dibikin jantungan kala kemarin sopir angkot trayek Stasiun Cicalengka-Limbangan ngebut di jalan yang penuh tikungan dan jurang padahal licin karena hujan.
The death was closer!
Sekarang saat yang tenang untuk menanggapi surelmu karena kemarin di warnet saya sibuk kirim sana-sini sesuai yang direncanakan (setelah bolak-balik mencuri waktu demi mengetik di rental dekat Pasar Limbangan sehabis belanja untuk warung ibu saya).
Saya merencanakan untuk lebih sering bolak-baliknya. Mencoba produktif, semoga beroleh rezeki berlebih agar bisa bergerak dalam dunia menulis meski harus turun gunung ke Bandung -- plus sport jantung dan kembali mencium aroma maut yang harum! (Sepulang dari warnet di Garut Kota yang akses internetnya masih lamban dan billing yang mahal karena 6.000 per jam, sopir angkot Limbangan-Garut Kota ngebut dan main salip sana-sini tak peduli sedang hujan dan jelang malam, masih mendingan tak banyak jurang.)
Eria, saya tak tahu banyak tentang kamu. (Sekarang boleh ber-kamu? Eria juga boleh ber-kamu pada saya.). Namun terima kasih telah berbagi soal itu. Membukakan mata saya bahwa hidup memang penuh struktur tak terpahamkan.
Pekerjaan, tekanan keluarga, sampai dunia menulis hanyalah irama kehidupan; bahwa Eria masih punya pilihan. Pilihlah apa yang terbaik menurut-Nya. Sebab bisa jadi apa yang kita kira baik ternyata sebaliknya. Klise? Barangkali.
Akan tetapi, apa yang saya bagi dan ungkapkan dalam sekian surel berantai hanyalah semacam refleksi diri dalam memandang dan menghayati kehidupan. Ada keluhan, kepahitan, ketabahan, juga parodi untuk tegar. Cuma untuk membukakan mata orang-orang yang lebih beruntung namun lupa (atau tidak tahu) cara bersyukur.
Terima kasih telah menanggapinya secara positif.
Sekarang, Eria, selaku orang dewasa, syukurilah bahwa Eria masih punya pilihan (atau setidaknya boleh memilih) di antara sekian pelaku kehidupan yang bisa jadi berposisi tak bisa apa-apa dan harus pasrah pada realita.
Ya, bagi sekian orang (yang punya banyak pilihan atau peluang lahan penghidupan lain) menulis bukanlah segalanya; cuma sekadar solilokui, pelipur lara, arena ekspresi atau terapi jika depresi.
Namun bagi orang-orang tertentu yang merasa tak punya opsi lain, menulis adalah segalanya. Orang sunyi macam saya akan hampa luar biasa jika tak kenal dunia literatur. Saya paham seperti apa rasanya karena memasuki dunia ini pada usia 23 tahun, usia yang cukup lambat -- namun, seperti kata pepatah, lebih baik terlambat daripada tidak pernah sama sekali. 
Tentu ada sekian alasan bagi sekian persona yang memilih jalur menulis sebagai “jalan pedang”. Dan kamu, Eria, barangkali jalan pedangmu bukan dalam bidang ini. Masih ada bidang lain yang menuntut kesungguhan dan kegigihan (juga ketabahan dan kecerdasan) untuk kamu tapaki. Entah di kantor tempat kerjamu atau di bisnis keluarga. Keduanya bisa dijadikan sinergi. Ya melelahkan dan menekan! Namun coba lihat segi positifnya. Belajarlah melihat ke bawah. Dan yang utama dekatlah dengan Allah; agar jiwa tenteram. Bahwa hidup memang tidak mudah, namun apa arti hidup jika kita tak bisa meresapi sekian reniknya?
Saya telah melepas pekerjaan (yang ikut menghidupi dunia menulis secara finansial) demi sesuatu: kebebasan dan harga diri selaku individu. Bukan saya tak bertanggung jawab, namun ada saatnya kita harus memilih ketika situasi kian runyam. Perusahaan mundur karena gaya hidup keluarga bos yang cenderung konsumtif; rekanan pada “menyingkir” atau “disingkirkan”; ketidakpercayaan distributor karena soal pembayaran utang; pelanggan adalah arus pasang-surut; lalu yang terburuk bos punya masalah pribadi dengan keluarganya dan mengambil jalan untuk kebahagiaan (entah itu semu atau apa) sendiri sehingga mengabaikan kinerja perusahaan karena beralih pada bisnis lain. Selain itu, saya menguatirkan kesehatan fisik dan psikis yang cenderung menurun dengan ritme hidup 12 jam lebih di luar rumah demi pekerjaan setiap hari tanpa libur, ditambah dunia menulis dan sekian orang yang berbagi peran. Toko itu bukan lagi tempat yang baik bagi saya, keterbatasan saya pun mengganggu mereka karena harus memasuki wilayah yang bukan kapasitas saya di awal-awal masa kerja.
Uf, apakah saya patut dikagumi karena mencoba memilih jalan menulis sebagai lahan penghidupan? Eria, saya pernah tiga tahun berada dalam situasi seolah penganggur di awal-awal karier kepenulisan (Mei 1999 – Februari 2002). Dan saya tahu risikonya dengan hengkang dari pekerjaan. Namun dibanding dulu, sekarang lebih lumayan.
Jaringan perkawanan dan wawasan yang kian bertambah!
Bersyukurlah  bahwa Eria pernah memilih dunia menulis kala kuliah karena pada saat itu dunia lebih beragam untuk dijelajahi dan mengantarkanmu menjadi seperti sekarang ini.
Kamu pernah berwarna, Eria. Sekarang pun kamu masih bisa memberi warna pada hidupmu. Bekerjalah karena itu memang suatu kehormatan di antara sekian ketidakberuntungan yang terpaksa dicecap orang. Jikapun membuat kesalahan, semoga bisa belajar. Saya pernah tertekan karena dalam satu hari membuat begitu banyak kesalahan di tempat kerja. Lalu saya sadar sedang futur berat dan terlalu membiarkan diri ditelan rutinitas sehingga beribadah pun terasa hambar seolah tak ikhlas dan hanyalah ritual tanpa penghayatan.
Ya, jadi orang kota yang masuk kategori urban worker itu tidak mudah. Hidup seolah diburu-buru sesuatu demi materi yang ternyata semu. Untuk apa materi? Bisa bertahan di tengah kerasnya kehidupan? Bisa belanja dan membahagiakan ibu? Barangkali. Namun pada akhirnya terbentur kenyataan: kepuasan adalah titik nadir dalam hidup, orang memburu itu sampai lupa mencerap maknanya. Semoga Eria tidak menjadi bagian dari pelaku demikian.
Maaf, saya melulu bercerita tentang diri sendiri. Ini hanyalah cermin bagi sekian perumpamaan. Berbahagialah jika Eria memang yakin layak berbahagia. Melangkahlah dengan waspada namun tak meninggalkan sikap tawakal. Hidup memang penuh prasangka, namun cobalah untuk tawadu. Jika Eria tahu apa yang harus dilakukan, lakukanlah dengan penuh pertimbangan, yah semacam salat Istikharah. Dunia memang penuh muslihat namun semua tipu daya itu tidak mempan jika kita termasuk orang yang berserah diripada-Nya.
  Tidak, saya tidak memaparkan sikap pasif! Hidup harus aktif, dinamis, kalau bisa agresif. Namun tolong jangan jadikan materi sebagai segalanya dan tolok-ukur kebahagiaan. Itu hanya sarana agar kita tetap bisa melangkah pada jalan pedang yang hakiki: jalan yang diridai-Nya.
Doa, Eria, semoga kamu masih menjadikannya sebagai muara. Di kala susah, saya berdoa (ya, begitulah kita tak lebih makhluk lemah yang cuma bisa berkeluh kesah pada-Nya namun pada saat senang bisa lupa diri dan lupa-Nya), dan semua kesusahan seolah tak terasa menyesakkan. Sebab selalu ada jalan dan pintu-pintu untuk kita ketuk dan masuki.
Yakin dan tabahlah, Eria.
Mungkin suatu saat kamu bisa punya waktu untuk menulis. Mungkin menulis itu butuh waktu. Namun selalu ada waktu untuk apa saja sejauh kita masih diizinkan-Nya mencerap hidup sebelum maut merenggut!
Tersenyumlah, Eria.
Selalu ada tempat dan insan untuk berbagi; berbagi sapuan warna-warni.***
Wassalam,
Rohyati Sofjan 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D