Jumat, 31 Januari 2014

Tumbangnya Beringin Kami



Tumbangnya Beringin Kami



Betapa menyenangkannya berbagi denganmu, berbagi apa saja. Termasuk rahasia dan cita-cita. Sesuatu yang tak begitu saja kubagi dengan orang lain. Tentu, karena kau sahabatku dan tak pernah memanipulasi.

Cerpen Rohyati Sofjan


Sangat lucu ketika kukatakan apa cita-citaku sekarang: membangun rumah masa depan di kebun dekat jalan dengan panorama menakjubkan: menghadap bentang pegunungan dan lembah-lembah di arah timur dan utara; agar buku-bukuku punya ruang dan kawan-kawan bisa kuundang, juga bebek-bebek sampai ayam leluasa keluyuran.
Ya, tentu kita punya cita-cita masa kanak yang tak kesampaian. Cita-citamu sebagai dokter terpaksa karam dan kau malah jadi wartawan. Jika kau jadi dokter sekarang barangkali tak pernah berada di jalur seperti ini bersama orang-orang yang mengasihimu. Akankah kau kaya asam garam kehidupan dan sematang sekarang?
Dulu aku punya cita-cita lazim; menjadi wartawan karena tergila-gila pada sosok Superman, lalu astronot atau ahli astronomi karena ingin menjelajahi galaksi raya, lalu ahli antropologi karena ingin keliling nusantara, lalu psikolog karena suka dicurhatin kawan. Cita-citaku memang tak kesampaian, namun aku tak peduli sebab apa yang kuinginkan di atas telah kuperoleh dari jalur menulis sebagai pilihan. Aku punya banyak kawan yang berprofesi seperti kau. Masih bisa melihat langit malam dan terkadang disodorkan keajaiban dari rahasia alam raya, macam gerhana bulan total sampai bulan yang naik perlahan begitu besar berwarna kemerahan, allahu Akbar! Dan aku masih sering dicurhatin kawan lalu mencoba menjadi psikolog amatiran.
Kita tak pernah pasti akan apa yang terjadi nanti.
Ketika kau umpamakan dirimu sebagai pohon beringin, kemarin. Aku tercenung, mengapa dari sekian pohon kau pilih pohon kehidupan demikian? Pertanyaanmu tentang apakah beringin pun tak punya kelemahan membuatku hanya bisa diam. Ingatanku dilambungkan pada pohon beringin di kampungku. Aku suka pohon itu. Kukira aku punya persahabatan tertentu, persahabatan manusia dan tumbuhan tanpa kata-kata.
Pernah terpikir untuk menanam pohon beringin di halaman rumah masa depan bersama pohon kemboja aneka warna bunga. Namun kurasa itu ide gila. Ibuku yang masih percaya mistik akan menentang habis-habisan dengan alasan klenik. Dan mungkin orang lewat sampai anak-anak sekolah akan ketakutan gara-gara film Kuntilanak.
Jadi, kukira pohon bungur cukup masuk akal, aku suka bunganya. Di tengah kebun ada pohon malaka sebatang kara yang rimbunan buahnya jarang kumakan.
Dan inilah kisah persahabatanku dengan pohon beringin itu.
***
AKU lupa kapan persisnya, barangkali tahun 1990. Rumahku masih di tepi deretan balong alias empang ikan, menghadap arah utara. Dan ibuku menyesal menempatinya. Rumah kami hanya diapit dua rumah tetangga kanan kirinya. Ada undakan tangga batu ke bawah menuju jamban terbuka berdinding tembok dengan sumber mata air alami. Dan ibuku masih saja beranggapan lokasi rumahnya cukup angker sehingga membuatku ikut ketakutan. Sering mengalami mimpi buruk kala tidur sendirian dan mengalami katindihan. Belum lagi bibiku pernah terganggu dengan ulah jin-jin yang doyan ajojing.
Namun, terlepas dari ketakutan-ketakutan konyol kami kala menyongsong kegelapan, aku menyukai lokasinya dengan pertimbangan dekat alam. Bisa leluasa mengamati gugusan bintang dan bentang pegunungan. Tepat di bawah rumah kami, hanya dipisahkan undakan tangga batu lalu jalan setapak kecil, ada balong yang disewa aki, kakekku dari pihak ibu. Dan aku suka bermain di sana, termasuk memancing ikan dengan Dede, adik mantan pacarku zaman SMU kelak. Rumahnya di atas tebing rumahku. Ia dekat begitu saja denganku, lebih tepatnya mendekatiku, dan aku tak punya pretensi apa-apa karena usianya lebih muda dariku. Kuanggap kawan sepermainan namun aku tak begitu akrab. Lalu ia lebih dulu berhasil memancing ikan mas besar warna oranye dengan joran diiringi jeritanku yang senang. Namun pesta kami terusik teriakan marah aki. Terpaksa mengembalikan ikan itu ke balong, menghentikan permainan, lalu bubar. Dan tak pernah mancing bareng lagi! Tidak di balong aki apalagi balong aki-nya!
Beberapa langkah di sebelah kiri balong aki, ada pohon beringin besar sekali. Tingginya melebihi tinggi atap rumah di tebing atasnya. Usianya melebihi usia kampung kami. Merupakan sarang nyaman untuk kaum burung. Termasuk seekor rajawali berwarna merah dan biru di bagian leher dan dadanya. Konon kala kampung kami masih berupa hutan raya, daerah itu merupakan tempat pertempuran. Banyak serdadu Jepang mati di sana. Dan konon pula, arwah mereka gentayangan. Aku tak tahu persis. Apakah yang gentayangan itu kaum pejuang, penjajah, atau romusha. Atau memang jin-jin doang yang sudah dari sononya jadi penghuni pertama sebelum digusur kaum manusia.
Saat itu musim hujan. Aku sedang main di rumahku bareng Sepupu Annisa, anak dari Wa Ail sepupu ibu dari pihak nenek. Di luar hujan cukup deras dan angin kencang. Kami dikejutkan bunyi gelegar yang keras dibarengi kilatan cahaya, segera berlari ke jendela kaca dan membuka tirai untuk tahu apa yang terjadi. Pohon beringin itu tumbang dihajar petir dan ikut menumbangkan tiga pohon sekaligus. Aku terpesona dan mengikuti arah tumbangnya hingga mataku tertumbuk pada pemandangan di balong Bi Titi.
Astagfirullah, suami Manah, kawanku, yang sedang mandi ngibrit keluar sambil telanjang sebelum pohon itu roboh menghantam jamban. Itu bukan pemandangan bagus. Aku hanya melihatnya sekilas. Tidak sopan melihat lelaki yang bukan suamimu telanjang. Namun Sepupu Annisa spontan ngakak sambil memukul lenganku menyaksikan lelaki yang panik itu buru-buru balik ke jamban untuk menyambar handuk sebelum pohonnya  benar-benar menghantam jamban. Siapa pun dalam posisinya sudah tentu akan sepanik itu, tak ada yang ingin mati konyol kejatuhan pohon tanpa berpakaian; atau ia terpaksa menyingkir sejauh mungkin lalu merendam tubuh telanjangnya di balong yang lain, menunggu pertolongan.
Aku hanya terpesona pada prosesi penumbangan pohonnya. Pelan namun pasti, bagaimana pohon besar yang barangkali usianya ratusan tahun bisa begitu saja tumbang dihajar petir, lalu ikut menumbangkan barisan pohon lain. Bagaimana kekokohannya tak abadi. Diameter pohon itu luar biasa dengan sulur-sulurnya, apalagi panjangnya melampaui balong Bi Titi.
Dalam sekejap, orang sekampung pada berbondong menonton sampai menebangi jatuhan pohon. Aki, seperti biasa, sempat marah karena pohonnya ikut tumbang dan melarang orang lain menebanginya: itu hak milik aki! Para anak-cucu lelakinya pun dikerahkan untuk mengambiltebangi pohon. Termasuk ibu. Kecuali aku yang tak terima disuruh-suruh mengangkuti kayu karena merasa bukan kewajibanku. Aku lebih suka menonton saja dan baru sadar malah diperhatikan seorang anak lelaki 1 SMA, cakep, Amir namanya; kala ibunya mengomel. Rupanya pohon mereka yang tumbuh di pematang balongnya -- tepat di bawah balong aki, sama-sama kejatuhan beringin! Sang ibu mengomeli Amir agar segera menebang pohonnya karena kepergok lebih asyik ngecengin cewek lain.
Ia tampak malu karena omelan ibunya. Aku pun sama malu karena dianggap biang keladi. Kurasa aku senasib dengan pohon beringin itu. Keterpesonaan pada sesuatu yang misterius namun sama rapuhnya. Ada kecantikan sekaligus kelemahan di balik kekokohan akar dan rimbun daunnya. Dan Amir belum menyadari perihalku sebenarnya, telingaku tak berfungsi, maka aku tak memperhitungkannya. Tidak juga saat kami tumbuh dewasa mengikuti siklus usia.
***
JADI jika kau tanya apakah ada hal lucu sekaligus ironis dari tragisme tumbangnya pohon beringin di kampungku, kau tahu aku selalu berusaha menikmati hidup yang terkadang komikal. Aku terpesona pada perspektifmu dalam banyak hal. Meski mungkin kau akan malu karena merasa tak layak dikagumi, namun percayalah kekagumanku pada sesuatu dengan pertimbangan masuk akal, bukan untuk menjerumuskanmu ke dalam jurang kesombongan. Aku selalu berusaha melihat sisi positif sama sejajar dengan sisi negatif; bahwa hal negatif bisa diubah menjadi positif, atau sebaliknya. Itu yang kau ajarkan, itu yang kucerap dari kehidupan. Bahwa kita terkadang harus mengarungi rimba kelam sebelum menemu jalan terang, namun dibutuhkan seseorang untuk menguatkan.
Suami Manah? Ia baik-baik saja. Tak terluka sedikit pun. Sekarang anak mereka satu. Lelaki umur 5 tahun, matanya lucu, merupakan anak kedua karena yang pertama -- lelaki juga -- meninggal kala balita dengan kelainan jantung bawaan.
Amir? Ia sudah menikah dengan kawan kuliahnya. Anaknya dua. Konon jadi guru. Aku tak tahu banyak perihalnya, rumahnya cukup jauh dari rumahku, di atas tebing sebelah timur dan dipisahkan hamparan balong. Barangkali ia sudah lupa bahwa aku perempuan yang pernah membuatnya tampak bodoh delapan belas tahun silam.
Pohon beringin kami? Ajaibnya setelah tumbang dan menyisakan sedikit batang tubuh, telah tumbuh besar lagi melebihi tinggi atap bekas rumah kami, meski tak sebesar dan seraksasa dulu. Pada musim tertentu, biasanya pagi, ratusan burung kecil terbang berputar-putar di dekatnya; dan buahnya yang seperti melinjo berguguran memenuhi balong-balong di bawahnya. Dan orang-orang masih saja mandi sampai buang bom di jamban Bi Titi. Dan kehidupan masih berlangsung damai. Hanya menunggu masa sampai beringin itu kembali menumbangkan diri, entah dihajar petir atau angin.
Namun ada yang berubah. Tepat di bawah beringin itu ada sumber mata air. Kolam kecil yang selalu penuh meski kemarau sekalipun. Dari situlah sumber pancuran jamban Bi Titi. Dulu aku suka mandi di sana, sekarang tidak lagi. Pada masa sekarang airnya tak lagi murni, ada tambahan aliran air dari balong Pak Ade di atas kiri. Barangkali peristiwa penumbangan silam membawa pengaruh pada debit airnya, wallahua’lam. Namun yang jelas, jika tak ada beringin, barangkali beberapa sumber mata air akan kering. Akarnyalah yang menyaring dan menyimpan cadangan air.
Kita tumbuh untuk berubah, atau berubah untuk tumbuh. Dan seiring usia, aku tak lagi percaya pada hal klenik. Aku tak setakut dulu kala melewati pohon beringin,  malah terkadang bernaung di keteduhannya yang berangin. Termasuk boker di jamban Bi Titi sambil menontoni burung kala pagi, siang, bahkan jelang magrib. Tinggal baca doa masuk-keluar jamban saja, beres. Yang kukhawatirkan hanyalah kejatuhan buah kelapa atau pelepah kering kala sedang enak-enaknya menongkrongi benteng penghabisan terakhir.
Tak peduli nenek Sepupu Annisa pernah menakuti kami dengan cerita seramnya, bahwa jelang magrib ia pernah bertemu makhluk halus sejenis dedemit. Waktu itu ia lewat sana dan melihat seorang perempuan berambut panjang dan berpakaian serba putih (seperti laiknya dalam adegan film horor Sundel Bolong), berdiri di depan pohon beringin sambil memunggungi.
Neng, Neng, nuju naon?” sapa nenek sepupuku. Perempuan itu tak menjawab. Tidak juga kala sang nenek terus mengulang pertanyaan. Dan selanjutnya? Aku tak begitu menyimak cerita macam itu. Yang jelas nenek sepupuku langsung ngibrit dari TKP begitu menyadari atau merasa bahwa ia malah menyapa kaum dedemit.
Aku harap semoga tak bertemu kaum itu. Bukan hal bagus untuk jadi penakut. Bacaan Al Quran-ku baru 5 juz. Entah untuk khatam ke berapa, 4-5? Aku lupa. Pada saat seperti ini aku sungguh sangat butuh ketenangan jiwa, juga pegangan. Biarlah alam menyimpan misterinya. Dan barangkali kau bisa berbagi lebih banyak kisah kehidupan untuk kuhikmati. Terutama persahabatanmu dengan alam sebelum ajal memisahkan.
Kaulah beringin yang lain.***
Limbangan, Garut, 12 Juli 2008   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D