Jumat, 31 Januari 2014

Surat untuk Ibu (2)



Surat untuk Ibu (2)


Ibu, terimalah realita tentang hidup, tentangku, atau tentang apa saja.
Bukan kepasrahanku pada takdir atau pesimis pada dunia kedokteran
yang kuyakini maupun klenik yang kau percayai, membuatku enggan
berpaling dari dunia yang tak kau pahami.
Aku telah coba menerima diriku sebagaimana adanya, seperti halnya
cinta tuhan yang menguji keyakinan pada rukun iman yang enam.
Maka adakah yang lebih baik saat ikhtiar berubah menjadi
obsesi tak sampai-sampai, selain ikhtiar dalam bentuk lain.
Aku telah coba membangun diriku selama 23 tahun bukan kesia-siaan.
Persetan dengan pendengaran, setidaknya hatiku tak tuli.
Aku tak perlu minta pada Tuhan agar pendengaranku kembali,
lantaran aku takut menyalahgunakan indraku seperti orang kebanyakan.
Meski kupahami rasa cemasmu akan masa depan,
namun percayalah aku tak akan sendirian, sepeninggalmu esok nanti.
Hanya satu yang kupinta, agar aku selalu berada di jalan-Nya.
Dan kau rida melahirkan, membesarkan, lalu melepasku tanpa sesal.
Sebab aku selalu terngiang puisi Gibran tentang anak
yang mengajarkan pemberontakan saat usiaku 14 tahun.

Maafkan kepicikanku, Ibu. Aku terlalu dimanja duniaku,
dunia sunyi yang sarat beban sekaligus tantangan menawan
untuk kutaklukkan, namun juga menyajikan ketenangan.

#Bandung, 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D