Sabtu, 01 Februari 2014

Suatu Senja Bersamamu



Suatu Senja Bersamamu


Oleh Rohyati Sofjan



A
ku datang terlambat. Kita akan bertemu di warnet langgananku, itu bukan tempat pertemuan ideal, namun tak ada pilihan. Netbook dari bosmu bermasalah di bagian Microsoft Office padahal baru kupakai tiga hari, dan aku sudah sangat down. Ini barang baru, aku khawatir tak sengaja merusaknya. Kamu lewat SMS bilang akan datang ke kotaku bareng rekan kantormu yang bagian TI untuk menganalisis penyebabnya. Aku lega sekaligus tak enak. Kamu sudah selalu repot demi aku. Dan netbook ini berkat kamu padahal punyamu yang sudah tua sedang rusak  motherboard-nya.
Aku menunggu di teras warnet. Tadi kamu SMS salat asar dulu di masjid SPBU, tepat di seberang warnetnya. Seperti biasa aku selalu gugup, sudah sembilan tahun mengenalmu dan gugupku tetap saja sulit kuatasi jika hendak atau sedang bertemu denganmu.
Pertemuan terakhir kita kala makan bareng di restoran Asep Strawberry di Jalan Nagreg, untuk acara serah terima netbook titipan bosmu. Makan bareng berempat dengan suamiku dan rekan kerjamu yang fotografer. Ternyata bosmu yang tidak bisa ikut malah mentraktir kita, beliau orang bijak yang baik dan dermawan. Aku sedang hamil 7 bulan. Apa yang ada di benakmu kala melihatku dengan gundukan perut yang buncit? Sebelum itu kita bertemu saat aku sedang hamil 7 mingguan di Bandung. Kala kamu mengundangku untuk mengajar mata kuliah imaginative writing di kampus tempat mengajar paruh waktumu. Dan Bu Senny yang sekretaris jurusan mendampingi kita. Ah, aku gugup sekali berbagi pengalaman proses kreatifku, anak-anak kuliah yang cerdas dan kritis, murid-muridmu, beragam responsnya. Ada yang positif dan tak berpretensi buruk, ada juga yang sinis. Kulihat cara mengajarmu fleksibel namun serius dan santai. Seandainya aku sepertimu, berpengalaman dalam jam terbang mengajar, namun ini pengalaman keduaku yang kamu undang, dan aku khawatir malah mengecewakan.
Aku pencinta gerak, dan kesempatan yang kamu berikan seakan hendak mendewasakanku dalam pengalaman. Kamu selalu membukakan berbagai pintu untuk kuketuk dan masuki. Aku tinggal di sudut kampung suatu lereng gunung dan menikah dengan suami yang bekerja sebagai petani, mobilitasku jadi terasa menyedihkan dibanding semasa di Bandung dulu, kala aku masih punya karier meski sebatas buruh berupah kecil di toko listrik dan komponen elektronik. Dan di kota kelahiran kitalah perkenalan bermula. Namun aku tidak bahagia dengan kehidupan kota yang ingar, sesak dan terkotak-kotak. Teman sangat banyak namun kesibukanku menghalangi silaturahmi, kerja tiap hari dari jam delapan pagi sampai setengah sembilan malam membuatku tak tahu akan menjadi apa. Bandung telah berubah, kota itu tak ramah bagi kaum pinggiran. Harus ada uang!
Pulang mengajar, kamu memboncengku ke Ultimus, tempat menginapku. Aku suka berboncengan denganmu. Mengingatkanku pada suatu malam berhujan kita berboncengan menuju restoran Bakmi Jogja di Jalan Bengawan, bos forum bahasa kita ada keperluan denganku, makan malam berlima di sana bareng keluarganya. Kali ini motormu baru, yang lama dikemananakan? Bandung jam sepuluh siang tidak semacet tadi pagi. Apa kamu tahan dengan suasana seperti itu jika menjadi ritual harian, motor kita saja disalip motor lain dan kamu nyaris kehilangan keseimbangan?
Kamu berkendara dengan kencang, barangkali khawatir terlambat di kantormu di Bandung bagian selatan, atau kamu ingin aku berpegangan pada pinggangmu? Seperti biasa aku berusaha sopan dan menjaga jarak, tanganku memegang sadel bagian belakang. Jalanan kota ternyata tak selalu mulus, ada guncangan karena aspalnya berlubang. Kita lewat jalan layang dan melihat ke bawah, deret perumahan berdesakan dengan latar belakang gunung Tangkuban Perahu dan gunung lain yang aku lupa namanya. Gunungnya menyedihkan, gundul tidak seperti gunung di kampungku yang hijau dan rimbun.
Lalu kamu membawaku melintasi jalanan yang tak ramai, saat tiba di suatu jalan kecil dan lewat rumah bergaya country dengan seorang lelaki berdiri di balkonnya yang dipenuhi tanaman merambat, aku ingin bilang bagus sekali rumahnya, itu rumah kayu impianku. Aku tidak tahu kamu membawaku untuk melihat rumah kayu itu sebagai inspirasi agar aku membuat rumah masa depan macam demikian, atau sekadar menunjukkan SD tempat anakmu pernah bersekolah. Bagiku itu lingkungan yang tenang dan nyaman, ada banyak anak berhamburan.
Motor berbelok ke Taman Cilaki, melewati kuda-kuda yang biasa mangkal di sana, kali ini lebih pelan sebab aku mengajak berbincang. Aku suka suasananya. Kamu seolah mengantarku pulang sekaligus jalan-jalan. Andai kita mampir di kedai Yoghurt Cisangkuy. Aku tidak sedang tergesa-gesa, namun barangkali nanti kamu harus rapat seperti biasa.
Ah, lamunanku buyar. Kamu sudah ada di seberang jalan bersama rekanmu. Aku melambai dengan riang. Sosokmu yang tinggi tegap masih saja menggetarkan!
***
“Jadi, masalahnya apa?” tanyaku pada rekanmu yang sedang mengutak-atik netbook-nya.
“Apakah bagian belakangnya dibuka?” tanya rekanmu. Aku mengernyit, kamu menyikut rekanmu seolah membaca kernyitanku.
“Tidak, tuh. Atau saya tak sengaja mengutak-atik programnya, yang jelas kuncinya seolah hilang, sudah dicoba ke rental komputer sampai warnet ini namun mereka angkat tangan tak bisa menginstal netbook.” Ini kota kecil! Mereka biasa install desktop. Aku memandang Acer Aspire One Pro-ku berukuran 10.1 dengan nanap. Setahun lalu kulihat infonya di rubrik tekno majalah Kartika, versi kecil dan aku kepingin, eh impianku malah terkabul dengan jalan tak terduga. Rezeki selalu datang dengan berbagai cara. Dan aku khawatir bayi pertamaku rusak karena salah urus! Lebih dari itu aku khawatir kamu marah dan kecewa padaku karena tak bisa menjaga amanah bosmu. Namun kamu terlihat tenang dan senyum.
“Lebih enaknya di dalam,” katamu. Kita masuk dan kamu bilang keperluanku pada operator, butuh colokan listrik untuk menginstal. Masalahnya ternyata sederhana, bosmu yang baik sudah tahu dan menanyakannya pada toko tempat membeli, ternyata mereka cuma memberi Microsoft temporer, aku bisa install sendiri lewat internet, masalahnya di sini tak ada area hotspot dan suamiku yang sedang kerja jadi buruh bangunan di Tangerang melarang aku bepergian ke Bandung sendirian.
“Ati tenang saja,” katamu, “Pak Sanny akan install ulang pakai lisensi perusahaan, jadi Ati tinggal pakai beresnya, tapi versi lama, yang 2003,” katamu setelah berdiskusi dengan rekanmu. Aku lega.
Kita memerhatikan cara kerja Pak Sanny yang ternyata cuma sebentar, ia telah membawa alatnya. Kamu menawarkan musik dari MP3-mu untuk dimasukkan ke netbook-nya, “Saya ada beberapa ayat suci Al Quran, Ati mau?”
“Mau!” cetusku spontan. Aku senang sekali sebab itu yang akan kamu beri setelah minggu sebelumnya aku tanya apa kamu punya simpanan musik klasik untuk bayiku. Giliran Pak Sanny yang bingung, aku ‘kan tak bisa mendengar, buat apa musiknya? Kamu lagi-lagi tersenyum dan bilang buat bayiku. Dan aku tersenyum geli ketika membaca di layar, ternyata ada Phil Collins juga selain Peterpan.
Mencoba lewat bluetooth ternyata tak mudah, lama. Kamu lupa ada kabel datanya yang barusan dipakai buat install. Kita bertiga tertawa. Kala Pak Sanny memindahkan musiknya, dan kita bertiga membungkuk, aku mengendus aroma parfum yang lembut dan segar, begitu maskulin. Entah siapa yang pakai. Sore ini kamu lebih rapi dan formal daripada biasanya. Aku bahkan tak tahu apakah kamu pakai parfum selama mengenalmu.
Blackberry-mu berbunyi terus, ternyata kamu chat dengan Bu Senny soal flashdisk  pemberiannya yang diantarkan kamu tadi. Aku kagok begitu kamu meminta aku chat juga dengan Bu Senny. Seumur hidup baru pegang BB yang sudah lama kuidamkan sayang harganya tak terjangkau, dan sayang pula sinyal di kampungku jelek untuk mengakses internet. Aku iri padamu yang leluasa dalam mobilitas, bisa bepergian ke mana saja, luar kota sampai luar negeri.  
Selesai juga semuanya! Kalian harus pulang dengan Daihatsu Espass metalikmu. Pak Sanny bilang sudah lapar. (Aku tidak bisa ikut berbuka, tak puasa!) Di luar kulihat matahari senja yang bundar oranye menaungi langit kotaku, seolah-olah tepat di atas Alfamart, dan dilatarbelakangi gunung menjulang berwarna hijau kebiruan. Langit masih terang berbaur warna merah keemasan. Subhanallah! Aku suka panorama senjanya, begitu kaya warna dalam seketika; seperti Seno Gumira Ajidarma, aku suka senja, namun di gunung senja sering terhalang rimbun bukit dan pepohonan. Kecamatan ini riuh dengan orang yang ngabuburit dan belanja. Aku bahagia menikmati sepotong senja di bulan ramadan bersamamu, meski sekejap saja.***
Limbangan, Garut, 4 Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D