Sabtu, 01 Februari 2014

Suami Cemen



Suami Cemen



Hidup bagi Tama seolah jungkir balik; istri sakit, mertua nyelekit. Ia sendiri berada di titik ingin meledak. Kesabarannya seolah terkikis sedikit demi sedikit, menyisakan kekecewaan dan amarah mendalam. Tidak mengapa istri sakit sesudah melahirkan Palung anak pertama mereka. Kana masih lemah dan labil secara fisik dan psikis. Operasi caesar menguji bahtera rumah tangga mereka. Secara finansial mereka berantakan, Tama tak bisa kembali kerja sebagai buruh bangunan di Tangerang lagi seperti rencana semula. Ia harus merawat Kana sang istri, juga Palung.

Cerpen Rohyati Sofjan


D
an menjadi penganggur, di mana-mana sudah tentu sangat tak mengenakkan bagi seorang lelaki yang telah menjadi kepala keluarga. Pengeluaran banyak tetapi tak ada pemasukan. Pekerjaan yang bisa dilakukan hanyalah jadi buruh tani, mencangkul di sawah atau kebun orang. Upahnya sekarang hanya 20 ribu rupiah, atau 15 ribu rupiah jika sudah termasuk makan. Upah standar di kampung mereka. Sayang ia jarang ditawari kerjaan. Bukan tidak ada, sekarang musim panen dan bercocok tanam, ia mungkin tak beruntung, hanya kerabat atau tetangga saja yang menawari kerja. Di sini, sistem kekerabatan sampai perkawanan sangat dominan, juga kepercayaan. Apalagi ia seorang pendatang, pindah ke tanah kelahiran neneknya. Perempuan yang telah membesarkannya sejak bayi.
Tama tak pernah berpikir bahteranya akan diambing badai seperti sekarang, dulu ia berusaha berpikir positif; akan selalu ada rezeki asal mau ikhtiar, namun ikhtiar terbentur peluang. Ke Tangerang tidak mungkin, tetap di kampung hanya menjadikannya seorang pecundang. Haruskah ia menyalahkan Kana karena tak bisa melahirkan cara biasa? Caesar di RS pakai Jamkesmas membuatnya bersyukur, mereka tak perlu keluar uang jutaan. Namun pada akhirnya terlalu banyak ganjalan begitu mereka pulang. Proses pemulihan Kana tak mudah. Istrinya sering merasa seolah ditusuk-tusuk pisau di bekas jahitan. Memanjang beberapa cm dari atas vagina sampai pusar. Sakitnya minta ampun, namun Kana berusaha menahannya. Zikrul maut, ujarnya getir. Dan ia cuma diam.
Dokter melarang Kana kerja atau mengangkat barang yang berat-berat. Jadilah segala urusan rumah tangga ditanganinya. Hanya sementara, ia tahu, namun waktu begitu lamban dan terkutuk. ASI istrinya tak lancar dan sedikit, kurus dan sakit. Palung terpaksa mendapat tambahan susu formula bayi. SGM sebab harganya cukup murah di pasaran. Namun bagi ukuran mereka harga murah itu tetap dirasa mewah. Dan ibu Kana terpaksa membantu.
Andai saja mertuanya yang nyinyir itu tak terlilit utang, barangkali mereka tak akan dianggap sebagai beban sebab masih mampu untuk dibantu. Namun perempuan yang digunjingkan tetangga sering berpikir dengan dengkul karena tak memperhitungkan batas kemampuan itu, di ambang kebamgkrutan. Bangkrut oleh ulahnya yang riya dan suka dipuji. Sialnya, mertua malah menyalahkan anak sampai menantu sebagai penyebab kebangkrutan. Membantu anak yang sakit bukan lagi dianggap sebagai kewajaran melainkan beban. Gali lubang tutup lubang, dan berutang ke rentenir seolah menjadi penyakit akutnya. Kana (dan abangnya) sampai frustrasi karena tak bisa menasihati ibunya yang keras kepala dan mau menang sendiri. Kata Kana ibunya boros untuk hal mubazir. Dan Kana tak berdaya, hanya bisa mengutuk diri andai mapan dan kaya, tak perlu lagi serumah dengan ibunya, paling tidak tak dianggap sebagai beban. Sebagaimana dirinya, Kana hanya bisa menyalahkan diri sendiri.
Ia teringat masa di RS, masa yang paling menegangkan baginya. Seorang calon ayah yang lelah. Hidupnya banyak berubah. Betapa ia tidak menyangka proses persalinan istrinya tidak mudah. Ia pikir mereka akan bisa dibantu paraji karena ongkosnya lebih murah, namun paraji angkat tangan. Istrinya tak punya tenaga untuk melahirkan. Kontraksi berulang tak menghasilkan kemajuan dalam bukaan. Teh Ade, pengurus posyandu menyarankan ke bidan saja, soal biaya bisa dipertimbangkan. 
Bu Bidan cemberut begitu memeriksa Kana. Lebih pada kesal dan khawatir karena menurutnya Kana tak mengikuti saran Bu Bidan; agar lebih banyak makan makanan dan jangan makan pikiran. Namun Bu Bidan yang baik banyak membantu mereka, begitu pada hari berikutnya tetap tak ada kemajuan. Ketuban pecah dan warnanya keruh, Bu Bidan bilang mereka harus ke puskesmas. Dan membuat surat rekomendasi ditambah kartu Jamkesmas.
Malam-malam, dengan menumpang ojek, ia memangku Kana ke kecamatan. Diikuti mertuanya dan Teh Ade dengan motor ojek lain. Malam begitu tenang. Ia mencoba tenang juga agar sang istri tak panik. Motor melaju di jalan berbatu yang rusak aspalnya. Berguncang-guncang. Melewati perkampungan sampai persawahan dan permakaman. Naik turun jalan berbukit yang meliuk seperti naga barongsai. Tiada rembulan, hanya kerlip gemintang. Namun di puskesmas tetap tidak ada kemajuan dalam hal bukaan, kontraksi masih mendera, dan tahu-tahu ketuban pecah lagi. Tiada pilihan mereka harus dirujuk ke RS, naik ambulans. Teh Ade telah memintanya agar tetap tenang.
Di RS, ia terpisah dengan istrinya dalam ketidakpastian. Ia ingin menemani Kana dan menghiburnya, namun aturan RS melarang. Mereka terpaksa berkomunikasi lewat notes yang diantarkan perawat. Kana tengah berjuang dalam kontraksi yang melelahkan namun tetap tidak ada kemajuan dari malam sampai pagi. Baru setengah dari bukaan yang mestinya sepuluh. Harus dioperasi. Bayi ingin keluar namun ada tiga hal yang menghalang meski posisi bayi baik: vagina tidak mau membuka, terlalu lemah dan tak ada tenaga, dan faktor usia karena melahirkan untuk pertama kali pada usia 33 tahun.
 Sungguh ia ingin meledak. Aroma maut seolah merayap. Dan hanya doa yang dirasa mujarab; obat penenteram jiwa. Kana dan bayi selamat. Ia sangat bersyukur dalam kelegaan yang membuncah. Tidak sadar bahwa mereka akan melalui tahapan masa-masa sulit begitu keluar dari rumah sakit. Dan semua selalu berujung pada uang!
Sungguh ia sesak. Di kampung asalnya ia hanya buruh petik dan angkut di perkebunan. Lampung telah ia tinggalkan demi harapan kehidupan yang lebih baik, juga jodoh. Dan di kampung ini harapan demi kehidupan yang lebih baik seolah penuh aral. Karena pekerjaan yang jarang, juga masalah keluarga yang meruwetkan.
Ia tidak suka mertuanya dan tak ingin serumah. Sebaliknya, Kana tak cocok dengan mertuanya dan ditolak serumah. Alangkah memusingkan jika demikian. Lagu lama ketidakcocokan dengan mertua melanda mereka.
Neneknya, mertua Kana, jenis perempuan yang mudah dipengaruhi orang lain. Lebih tepatnya dihasut agar memusuhi menantu yang semula tak ada persoalan apa-apa. Mulai dari soal pekerjaan rumah tangga yang tak bisa dikerjakannya lagi karena sakit dan Kana dianggap malas, ASI yang kurang dan Palung sering rewel (karena ternyata lapar dan udara dingin membuatnya sering masuk angin), ketiadaan uang, sampai hal-hal lainnya yang selalu saja harus diributkan.
Siapa yang mengurus Kana yang sakit selain ia sebagai suaminya. Dan tanggung jawab yang semula diembannya dengan bangga kini dirasa sebagai beban. Cucian yang menumpuk, memasak, menimba air, dan urusan lainnya dikomentari sang nenek. Seolah tidak rela cucunya yang bekerja. Perempuan kolot yang menganggap seorang istri adalah pelayan suami sewot dengan dunia kecilnya yang dianggap jungkir balik. Ia hanya diam dikomentari nenek yang menganggap menantunya tukang suruh. Kana yang manja alangkah malangnya. Tak ada toleransi apalagi simpati. Peran pertamanya sebagai ibu dianggap penuh cela.
“Baru punya anak satu saja tak becus mengurusnya!” komentar nenek pedas karena Palung sering nangis. Ah, Palung yang lembut dan lucu harus jadi sumber keributan. Nenek tak rela Tama sering keluar uang untuk beli susu, mencela menantu yang ASI-nya tak subur.
“Kana cuma kurang makan karena kita kurang uang!” Ia terpaksa membela istrinya. Bagaimanapun, ia muak jika pendamping hidupnya terus dicela. Itu kian mengingatkan betapa cemennya ia sebagai suami, tak bisa menyejahterakan istri, dan anak kena getahnya. Rumah mereka lebih dingin daripada rumah ibu Kana, belum lagi suasana sekitar yang berisik. Palung yang malang sudah tentu sering tak nyaman.   
  Dan pindah ke rumah ibu Kana cuma mengalihkan persoalan saja. Betapa ia tidak bahagia. Kana yang mestinya bisa pulih dengan cepat malah mengalami komplikasi. Gurat-gurat hidup yang susah terlukis di wajahnya. Ia tidak lagi seceria dan sekuat dulu. Hanya perannya sebagai ibulah yang membuat Kana bahagia.
Ya, Palung memang tak semontok bayi lain, namun cerdas. Usia dua bulan lebih sudah bisa memegang botol dot sendiri. Rajin mengucapkan kata “niin” untuk minta enen. Namun jika ASI Kana ngadat atau kurang, Palung akan minta “duut”. Bahasa bayi yang lucu, Kana sering mengajaknya ngobrol. Dan pada mulanya Palung akan minta dengan manis dua hal itu sambil tersenyum, jika tidak dipenuhi jeritan khas bayinya akan berkumandang. Yang menyebalkan bagi Kana adalah polah mertua yang berlaku bak nyonya besar pada pembokatnya. Dan Tama serba salah.
Kana suka mengajari Palung membaca, dan ia tertawa menyaksikan bagaimana istrinya mengeja huruf demi huruf sampai kalimat. Bayi dua bulan sudah diajari membaca, ha! Palung juga termasuk jenis bayi yang ribut suka diperhatikan. Ketika usianya bertambah, ia akan “menyanyi” jika dikelilingi orang, dengan a atau u panjang. Dan tersenyum atau tertawa pada siapa saja. Jika bersin, Palung akan tersenyum malu, seolah geli dengan suara ajaib yang diperdengarkannya. Namun jika Kana bersin, Palung akan heran lalu tersenyum atau tertawa seolah geli karena bundanya bisa mengeluarkan suara ajaib juga.
Sungguh ia menikmati perannya sebagai ayah. Melihat anak dan istri sebagai bagian hidupnya yang sangat berarti. Namun sungguh, ia tidak ingin berada dalam posisi penuh dilema.
Di televisi ia menyaksikan kemewahan yang dimubazirkan, dan di sini, di kehidupan nyatanya betapa ia lebih dari sahaja. “Mereka makan karena ingin, sedang aku dan keluargaku karena butuh!” ia geram pada keadaan. Berharap masih ada asa akan kehidupan yang lebih baik meski entah kapan. Sering terusik dengan tatapan istrinya yang seolah bertanya, “Hari ini kita makan apa?” Begitu pasrah. Sementara Palung memegang dotnya dengan lahap dan mata separuh mengantuk. Sementara mertua sibuk ngomong sana-sini pada siapa saja yang mau atau terpaksa mendengarkan, mengeluhkan mereka. Sementara nenek menuntut agar ia juga membantunya, mengeluhkan menantu yang telah “merebut” cucunya; nenek tidak sadar telah diporoti adik perempuannya yang tukang hasut dan telah menjerumuskan agar meminjamkan uang untuk bagi hasil pada orang lain. Lalu utang itu sulit ditagih nenek yang dibuai omongan muluk adiknya, yang sebenarnya punya banyak utang dan ingin memanfaatkan uang kakaknya, tentang bunga tanpa kerja. Itulah sebabnya Tama jengkel, uang jutaan yang ada di luar mestinya bisa untuk modal seolah hilang tak tentu rimba. Dan pada saat yang bersamaan ia kesulitan uang. Andai nenek tak sudi dibodohi adiknya barangkali hidup mereka tak akan serunyam sekarang. Namun bagaimana cara menghadapi ketelanjuran selain bersabar?
Ia hanya ingin bisa lebih kuat dan sabar. Juga dilapangkan dalam hal rezeki dan pekerjaan. Ia mencintai dan menyayangi anak dan istrinya. Namun sungguh ia merasa lemah dan butuh sandaran. Berharap istrinya segera sehat. Hanya dengan itulah hidup mereka yang timpang bisa kembali lengkap.***
Limbangan, Garut 20 September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D