Minggu, 05 Januari 2014

Intermezo

Intermezo

Cerpen ROHYATI SOFJAN


            Stage in: room; sound design, kali ini TV harus mati; 19.30, weker 5000-an yang kubeli di toko (gratis dari batu batere ABC); Senin, 18 Agustus 2003 (bagaimana Agustusanmu?). Dan mengamati. 

Auditorium CCF de Bandung, 7 Agustus 2002
            Aku datang dengan sensasi yang tak kupahami. Yang jelas aku gugup sekali. Memasuki halaman CCF adalah memasuki wilayah baru yang penuh keasingan. Terminus Kafe tampak dipadati orang-orang. Aku menyapa seorang pria di sana mengenai acaranya. Ia mempersilakanku terus saja melewati kafe dan masuk gerbang di mana kulihat beberapa orang tampak bergerombol. Insan yang kukenal dalam pandanganku adalah Beni R. Budiman, almarhum. Aku menyipitkan mataku untuk mengamati sosoknya sembari jalan mendekat, ia balas menyipitkan matanya untuk mengenaliku. Langsung kusapa dan kusalami saja ia, “Beni R. Budiman? Rohyati.” Lantas aku menanyakan kehadiran istrinya, tetapi Teh Nenden katanya tidak hadir. Lalu kutanyakan Kang Erwan atau anggota Jendela Seni lainnya, ia tidak tahu dan mempersilakanku duduk menunggu di depan. Kutinggalkan saja ia berikut orang-orang yang berbincang dengannya.
            Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Duduk sendiri di bangku panjang sembari mencoba mengamati suasana sekitar. Masing-masing tak ada yang kukenal, dan kuharap tak ada yang mengenaliku. Aku tidak tahu yang mana kamu di antara sekian lelaki yang berlalu-lalang. Tadi aku sempat tertawa membaca brosur di dinding yang bagiku kejutan: kamu ikut mengisi acara, entah baca puisi atau apa. Suatu ketakterdugaan yang membuatku riang. Namun bagaimana jadinya jika aku ketahuan sewilayah denganmu? Salah-salah langsung “ditendang”.
            Seorang lelaki duduk di depanku, di tangga batu yang menuju ruang kantor CCF, bersama kawan-kawannya; mengamatiku. Aku heran ditatap seperti itu, tetapi ia membalas keherananku dengan terus saja memerhatikanku. Entah siapa ia, dan apakah ia pun entah siapa aku? Kami bersitatap dengan bahasa orang asing selama entah berapa detik sampai menit, bagiku terasa lama. Lantas aku mengalihkan pandangan ke arah lain, tetapi ia masih saja memerhatikanku. Aku cemas kalau ia kamu, tetapi aku yakin ia pasti bukan kamu. Lalu aku cemas ia kawanmu,  tetapi apakah mungkin ia mengenaliku. Lalu kusadari sesuatu: tatapannya adalah tatapan seseorang yang ingin menyapa, “Halo, boleh kenalan?” atau sebangsanya. Dan itu yang kutakutkan. Aku tak boleh ketahuan. Pasang wajah tak ramah padahal serba salah, sebab ia seolah nekat untuk tetap demikian. Begitu pun saat aku hendak minum dan gagal menusukkan sedotan ke dalam gelasnya. Ia memperoleh keasyikan untuk memerhatikan setiap gerakanku. Sialan benar ia! Apa tidak tahu sikon saja?! Sampai sedotannya gagal kutusukan karena ujungnya malah tumpul. Aku coba membuka tutupnya yang sulit dibuka, dan ia menghargai usahaku dengan terus mengamati. Hampir saja aku ingin minta tolong padanya, tetapi itu ide gila. Dan ekspresinya seolah ingin membantuku namun ragu karena aku jutek. Ia membuatku tampak tolol. Aku ingin out segera. Akan tetapi, itu tidak mungkin. Untung seorang kawannya menyibukkan sehingga perhatiannya beralih pada hal lain; mendiskusikan naskah yang entah apa. Jarum jam menggelisahkanku. Lalu seorang lelaki, yang kemudian kuketahui Iman Abda waktu ia meminjam bolpenku di acara Malam Tiga Penyair, mempersilakan para hadirin untuk masuk ke dalam auditorium. Yang lain bangkit. Aku ikut bangkit sembari berharap lelaki itu tak mengusik. Bergerak cepat, tak mengisi buku tamu, malah bertemu Iman Plezz, anak Jendela Seni, yang menyapaku dan langsung saja ku-sttt ia agar diam sebab aku tak ingin ketahuan.
            Acara demi acara bergulir. Aku gelisah. Plezz berulang kali kuinterupsi dengan tanya itu siapa pada setiap penampilan. Sampai ketika giliran kamu berdiri di depan mik. Aku masih bertanya pada Plezz itu siapa, kali ini sekadar meyakinkan diri, dan ia menjawab pertanyaanku tanpa pretensi meski barangkali merasa kesal (atau geli jika tahu episode kita).
            Aku tertawa. Bertepuk tangan. Merasa nyaman duduk di belakang, melihat kamu beraksi. Waktu tiba-tiba terasa berlari padahal sebelumnya slowly. Sampai kamu mengakhirinya. Aku kecewa. Aku ingin melihatmu beraksi lagi, mengamati setiap inci gerakanmu, menikmati sosokmu di luar mimpi. Namun kuberi aplaus tepuk tangan yang panjang. Merayakan peristiwa betapa nikmatnya “jadi psikopat”.
            Lalu aku harus pulang. Ibu ingin aku ngandang sebelum jam sembilan. Kutinggalkan Plezz, kutinggalkan kamu. Aku tidak sempat menyimak bagaimana Kelompok Kereta Angin Partikelir bermain. Seandainya aku tahu kamu ada di antara mereka, pasti kepulanganku kutunda. Kamu ikut main bersama mereka? Seperti apa gaya main harmonikamu? Aku tak akan pernah bisa mendengarkannya, memang. Namun setidaknya aku bisa tahu bagaimana kamu dengan harmonikamu.
            Aku lupa wajah lelaki itu, lelaki yang tadi mengamatiku. Dan aku tak tahu apakah ia sudah lupa wajahku. Kalau bertemu lagi rasanya aku harus minta maaf sebab tak se-jutek yang kutunjukkan dulu. Namun semoga ia lupa aku dan segala insiden “mengamati”. Dan kalaupun kami bertemu lagi, barangkali ia tak akan mengenaliku serta tak akan tertarik untuk mengamati lagi seperti dulu. Sebab ia tipe pencinta keindahan, bagiku. Ia lelaki yang menarik, tetapi sayangnya aku tidak sedang ingin tertarik. Haruskah fisik luar jadi andalan?
            Lalu aku berpikir tentang kamu. Segalanya serba cepat untuk dihayati. Kemudian di gedung yang sama pada malam lain di acara Malam Tiga Penyair, ketika duduk dengan tenang bareng Hadi Fathurokhman yang baru kukenal di acara Pameran Buku Bandung (PBB) - Korbit, sekonyong-konyong kamu muncul. Berdiri di ambang pintu. Aku terpana. Seorang Madame menepuk bahumu menyuruh masuk, aku sempat geli karena kamu mengedikkan bahu seolah enggan disentuh sembarang perempuan. Dan, kamu duduk di belakang aku dan Hadi, tiga kursi dari kursiku, tepat di depan kursi yang diduduki Abda; sampai pindah tempat ke kursi lain dekat kawanmu karena ABG yang ikut menonton pada berisik.
            Di kursi yang kamu duduki, di barisan lain, bagian depan sebelah kiri, aku mendapat sensasi tiada tara dengan jadi “pengamat”. Perhatianku terbagi pada tiga hal: panggung, layar slide, dan kamu. Tiga adegan yang begitu rancak dan dramatis.
            Kala Cecep Syamsul Hari (CSH) atau Ahda Imran atau Kang Yoyon (Moh. Sunjaya) baca puisi, kamu bergerak dengan “puisi”-mu sendiri. Entah saat minum, membaca antologi puisi Moh. Sunjaya dengan bantuan senter, menyapu rambut, bicara dengan kawanmu, atau mengamati orang yang baru datang dari arah pintu. Akan tetapi, apakah kamu tahu sedang diamati?
            Namun saat CSH baca puisi lagi, jam hampir beranjak pada angka sembilan, para ABG bikin keributan dengan satu per satu atau beberapa orang sekaligus pada cabut. Kawan-kawanmu pun demikian. Lantas kamu menyusul. Melewati barisan bangku belakang. Aku sempat mengamatimu, kamu balas mengamati selintas. Lantas keluar. Aku kecewa. Sensasi yang tadi kurasakan mendadak tawar. CSH masih baca puisi namun ia tampak tak konsentrasi karena banyak audiens yang “permisi”, sebagaimana aku tak konsentrasi karena kamu sudah “permisi”.
            Aku tanya pada Hadi kapan acara usai, ia tidak tahu. Namun begitu CSH usai baca puisi, aku merasa acaraku sudah usai. Aku pamit pada Hadi hendak pulang, namun ia malah mengantar.
            Dan di luar, pada peradaban benderang lampu neon, ketika aku menyusul Hadi sampai di luar pintu sambil tersenyum lega, aku terenyak melihat sosokmu dan senyumku hilang seketika. Kamu sudah duduk di bangku panjang bareng seorang kawan. Aku mencoba meyakinkan itu kamu. Dan ekspresimu seolah orang asing yang dihantam kejutan. Kulihat kawanmu bangkit. Selintas wajahnya seperti orang yang menahan tawa atau hendak melepas tawa. Adakah kamu sudah tahu ini aku? Akan tetapi, mataku tertuju pada Doni Muhammad Nur yang sedang berbincang dengan beberapa kawannya. Aku menyapa sekadar pamit biasa. Namun ia tanya alamat. Jadi kami saling tukaran alamat. Dan kamu masih duduk di bangku itu. Juga saat aku dan Hadi mengamati poster pameran fotografi. Adakah kamu saat itu mengamatiku? Aku sempat menatapmu. Ya, menatapmu. Aku ingin tahu reaksimu (kamu melengos). Apakah itu kamu, dan apakah kamu masih kenal atau ingat aku? Lalu aku berpapasan dengan kawanmu yang berambut gimbal tadi (siapa namanya?) Alis kiriku terangkat, begitu pun alisnya. Kami saling melewati tanpa senyum. Bagaimana bisa aku tersenyum padanya. Ia kawanmu ‘kan, dan aku tak mengenalnya.
            Lalu di gedung itu, beberapa malam kemudian, pada 31 Oktober yang dingin. Di acara Malam Wing Kardjo. Kulihat kawanmu dengan rambut gimbalnya duduk beberapa kursi di depanku. Lagi-lagi aku bertemu Hadi yang duduk di samping Matdon. Kusalami ia dengan hangat dan riang. Kemudian Matdon pergi setelah menerima telefon yang entah apa isinya. Aku dan Hadi berbincang dengan tulisan.
            Dan saat acara bergulir, kamu menginterupsi ketukan tutup spidol yang kumainkan di keningku. Aku terkejut melihatmu. Namun mataku tetap saja ke depan. Saat kamu lewat di sampingku, duduk di kursi paling ujung di barisan belakang. Gantian mengamatiku. Aku coba tak peduli. Menginterupsi Hadi dengan melanjutkan obrolan kami yang ditulis. Dan kamu mengamati. Apa yang ada di benakmu? Merasa sebal atau terganggu atau menganggapku over acting? Hanya kamu yang tahu.
            Pada posisimu, gantian kamu yang mengamati. Aku tahu lewat ekor mataku. Juga saat aku membagi permen pada Hadi (sayang aku cuma punya dua biji, coba kalau lebih pasti aku akan berbasa-basi untuk menawarimu juga).
            Bagaimana rasanya jadi pengamat? Benda apa yang kamu mainkan di matamu; kamera atau teropong? Lalu saat aku bilang pada Hadi hendak ke belakang, kamu ikut-ikutan mengamati. Juga saat aku hampir terpeleset dari anak tangga yang tak kulihat sampai kaget, sempat kulihat kamu pun menyaksikannya. Ruangannya gelap ya, aku belum hafal jajaran kursinya pakai pembatas ketinggian. Semoga kamu tak mensyukuri insiden itu. Lebih memalukan jika aku terpeleset sungguhan, salah-salah bikin keributan.
            Begitu aku kembali. Kamu tak terlihat lagi di kursi itu, pindah ke depan bareng kawan-kawanmu. Namun saat Abda bangkit dari kursinya diikuti kamu, aku tanya pada Hadi pukul berapa sekarang. Kami saling memperlihatkan arloji, apakah waktunya sesuai . Dan kamu menyaksikan itu sembari berjalan melewati kursi barisan belakang. Lalu kusadari Abda malah berdiri di dekatku untuk beberapa lama, entah hendak apa. Kupersilakan ia duduk di barisan kursiku. Namun dia malah memilih duduk di barisan belakang (kecuali kamu). Sebenarnya kalian mau ke mana, sih?
            Abda dan Hadi bertukar salam, seolah sudah lama kenal. Aku tersenyum melihat mereka demikian. Kamu masih berdiri. Lalu kutanya Abda kapan acara usai sebab aku takut tidak kebagian angkot. Ia tidak tahu namun mempersilakanku jika ingin pulang lebih dulu.
            Lucu, aku jadi anak kecil, main lambai tangan berulang kali. “Dadah...,” namun sebenarnya enggan beranjak pulang. (Aku terkena jam malam!)
            Saat aku berdiri dan hendak menuruni anak tangga, kulihat posisi lain tak nyaman bagi langkahku karena jarak ketinggiannya, kecuali posisimu yang tepat di sebelah kursiku dan dekat lantai. Aku terpaksa ngomong punten padamu agar kamu bergeser, habis kamu menghalangi sih (atau sengaja menghalangi?). Begitu dekat kita waktu itu. Bagaimana rasanya? Jauh, ya? Ya, aku merasa jauh denganmu meski entah berapa senti dalam berapa detik aku melewatimu. Mataku tertunduk ke bawah, kali ini aku takut terpeleset lagi. Lucunya kamu ikut melihat ke bawah, memerhatikan langkahku atau kakiku? Terima kasih kamu berdiri di sana. Setidaknya berjaga-jaga agar aku tak jatuh.
            Saat ke luar, kusadari sesuatu, kamu mengikutiku. Namun kamu cuma mendekati meja hidangan untuk mengambil gelas kopi. Aku lega campur kecewa. Aku ingin menyapamu dan berbincang namun tak punya cukup keberanian, apalagi sikapmu sedingin udara malam. Tak adakah kehangatan selain segelas kopi yang juga ingin kucicipi -- seandainya kamu berbagi.
            Aku pulang dengan dada sesak tawa sekaligus kecewa.
            Aku ingin tertawa mengingat segala adegan di dalam gedung itu. Sekaligus sesak karena ketegangan yang terjadi di antara kita entah berapa tensinya.
            Dan begitulah namanya perang dingin -- yang entah kapan berakhir.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D