Sabtu, 01 Februari 2014

Baby Hunkwe



Baby Hunkwe


Kali ini saya harus menemani Daya meliput suatu tempat yang katanya akan dijadikan feature majalahnya. Saya hanya berlaku sebagai kawan baik yang memberi tumpangan ke mana ia suka. Gara-gara Bramantyo, rekan fotografernya, berhalangan. Bram itu masih keponakan dari sepupu saya. Daya yang cantik tak berdaya mengenali jalanan Kota Jakarta, ia baru diterima bekerja di majalah yang satu group dengan tempat saya kerja. Apa salahnya menjadi pemandu bagi nona yang sedang diincar Bram, setidaknya saya bisa mewakili keluarga besar. Sebagai sesama pendatang dengan senang hati akan saya antar, mengenali kota yang sudah berpuluh tahun silam saya diami sejak masih muda dan lajang. Kota yang kemacetannya sudah sedemikian kurang ajar. Yang tak saya tahu Daya ternyata tak terduga!

Cerpen Rohyati Sofjan


S
aya mencoba memecah kebisuan. Perempuan ini seperti tegang atau pendiam. Mungkin ini liputan pertama baginya tanpa Bram, mereka sudah dibiasakan kondisi kedekatan. Jadi barangkali perjalanan kami mencanggungkan. Saya menyetir dengan bingung. Daya telah memberi tahu tempat yang akan kami tuju, namun saya belum tahu tempat apa itu.
“Siapa yang akan kita temui?” Pertanyaan saya bersamaan dengan dering BB-nya. Daya mengalihkan pandang pada BB, dahinya mengernyit, lalu dengan cekatan jari jemari kedua tangannya mengetik.
“Baby Hunkwe,” Daya memandang saya sambil tersenyum lucu lalu jemarinya kembali bermain. Saya tercenung. Nama itu rasanya kok pernah akrab.
“Siapa Baby Hunkwe itu?” Saya mencoba merasakan gema namanya, memanggil ingatan yang barangkali alpa.
“Ia bakul kue yang sukses sekaligus unik. Pak Juna akan menyukainya, secantik dan legit kue-kue bikinannya.” Daya mengedip nakal. Wah, Bram, cewekmu tenyata genit!
Mobil terus melaju sampai dihentikan lampu merah, kali ini saya tak berhasil menggali-gali ingatan sialan tentang nama yang sepertinya pernah dikenal. Atau mengingatkan pada seseorang yang entah siapa di masa silam. Seorang loper berteriak menjajakan koran. Ingatan saya terlonjak namun masih samar. Daya membuka jendela, memanggil bocah itu yang dengan antusias bergegas menghampirinya. Saya tertegun. Menyaksikan Daya memborong begitu banyak koran yang dijajakan bocah tanggung yang barangkali masih sekolah dasar, itu jika ia masih sekolah. Ada beragam koran dan tabloid. Yang murah cuma dua ribuan. Harga yang diharap bisa mendongkrak oplah penjualan mengingat daya beli dan minat baca masyarakat masih rendah. 
Daya membalas tatapan heran saya dengan nyengir begitu selesai bertransaksi. Menutup jendela mobil, dan tak peduli. Kembali disibukkan dering BB-nya. Mungkin BBM-an.
“Akan kamu baca semua?” Saya memandang tumpukan koran dan tabloid yang tergeletak begitu saja di dasbor.
“Nanti saja, Pak Juna, pusing baca. Lagi BBM dengan Mbak Baby Hunkwe.”
“Boleh saya lihat?” Lampu hijau kok lama banget. Jalanan macet gini emang mumet. Apalagi sekarang akhir pekan. Dan Kemang masih panjang.
Daya tergelak. “Privat, Pak Juna. ‘Ntar juga bisa jumpa orangnya, sabar saja.” Ya, ampun, ia menggoda. Pakai acara ngedipin mata lagi. Bram diapakannya saja sehingga bisa tergila-gila? Saya geleng kepala memandang makhluk elok yang entah dari mana muasalnya.
Daya masih asyik dengan BB-nya. Mata saya beralih lagi pada tumpukan koran Minggu dan tertegun. Bunyi klakson membuyarkan lamun. Saya tersentak, lampu hijau sudah dari tadi menyala. Seiring sentakan gas saya sontak ingat sebuah nama yang mirip Baby Hunkwe: Baby Huwae!
“Daya, saya harap kita tak bertemu peramal.” gumam saya pelan. Daya tak mendengar.
Saya menyetir sepenuh kenangan. Teringat Mbak Yanie Wuryandari rekan kerja saya dulu di majalah wanita yang sudah lama saya tinggalkan karena memilih bergabung di majalah berita mingguan nasional yang pernah dibredel. Ia sekarang sukses jadi wapemred majalah wanita lain. Waktu itu kami masih muda dan bersemangat. Mendapat tugas mewawancarai beberapa peramal, salah satunya ya Baby Huwae. Di akhir sesi pekerjaan wawancara, saya dengan dungu mau saja diramal. Mbak Yanie yang puisi-puisinya sering saya ketawain, balik mengompori.
“Ayo, Jun, coba lihat seberapa baik peruntungan nasibmu?”
Dan demikianlah Baby Huwae dengan serius meramal hidup saya akan sangat menyedihkan. Saya ketakutan diramal demikian. Bagaimana tidak ketakutan, coba, jika diramal akan sakit keras pada usia 30-an. Saya masih pertengahaan 20-an, merasa yakin sehat wal afiat. Namun siapa yang bisa meraba nasib? Kartu tarot, rajah tangan, atau menata bintang? Saya pucat. Mbak Yanie terbahak. Masih terbawa dalam OTW ke kantor. Lalu ia dengan serius menghibur, nasib manusia siapa yang duga, kita tinggal elakkan saja hal buruk itu jika benar adanya. Pasti bisa. Saya masih termakan ramalan dan mengabaikan Mbak Yanie yang sudah saya anggap kakak sendiri, kami biasa saling mengejek atau ledek-ledekan. Namun seiring waktu pada akhirnya saya berusaha keras menyangkal bahwa ramalan tak lebih dari rekaan gombal. Sama searti dengan kamus dari kata dasar ‘ramal’ yang artinya duga, bisa saja luput, ‘kan?
Jadi saya putuskan berhenti cemas dan tak percaya peramal. Tidak juga ramalan nasib macam shio atau zodiak di bacaan mana saja. Semuanya gombal. Saya mati-matian menyangkal, lalu sampai separuh baya ini saya bisa anteng menjalani kehidupan. Lupa pernah diramal.

“INILAH tempatnya,” kata Daya riang. Saya tertegun, rumah di kawasan Kemang ini jauh dari yang saya bayangkan. Halaman depannya dipenuhi kursi dan meja dengan atap yang meneduhkan. Ada begitu banyak tanaman dan bebungaan, juga gentong air terjun. Tempat ideal untuk makan. Yang membuat saya tertegun adalah merek toko Baby Hunkwe, ia begitu PD mencantumkan brand ‘Baby Hunkwe, Bakul Kue’ di bagian atas tokonya. Tadi saya pikir akan menemu tulisan semacam ‘Baby Hunkwe, Cake, Pastry and Bakery’, ‘kan lebih gaya.
Mobil diparkir di halamannya yang luas dan rindang. Kami turun bersamaan. Seorang perempuan muda keluar dan menyambut kami. Ia tinggi semampai bak model, sekaligus seksi namun berpenampilan elegan hingga membuatnya seolah bangsawan. Cipika-cipiki dengan Daya, begitu akrab dan hangat. Saya terpesona, seolah bertemu bidadari mana. Mungkin penjelmaan Nawang Wulan. Ia melebihi bayangan Ken Dedes saya dalam sebuah cerpen lampau.
Baby Hunkwe sangat berbeda dengan Baby Huwae. Saya harap ia memang bakul kue yang tak merangkap sebagai peramal apalagi paranormal. Ada aroma lembut menerpa, seperti bunga lonceng di halaman. Paduan busana batik merah marunnya yang berbeda motif terlihat serasi.  
Saya tersenyum begitu Daya memperkenalkan saya.
“Jadi Anda yang bernama Pak Juna, senang berkenalan.” Ia menyodorkan tangannya yang halus bak pualam, tidak seperti tangan pekerja pada umumnya. Saya menikmati sensasi kulitnya dan menyalami dengan sopan.
 Basa-basi berakhir, Baby Hunkwe mengajak kami ke dalam. Ternyata tokonya penuh pembeli. Ada begitu banyak kue dan roti. Aneka jajan pasar yang bentuknya menggiurkan. Juga suki dan sashimi. Amboi, tak heran tokonya seperti tak kehabisan pengunjung, karyawannya hilir mudik di gerai. Saya menemukan kenyataan bahwa Baby Hunkwe tidak sekadar berjualan kue lokal, ia memvariasikan dagangannya antara kue-kue buatan tradisional Indonesia dengan mancanegara. Tak heran tokonya laris. Isinya saja sudah begitu ciamik, aromanya juga sangat menggelitik. Mendadak saya sangat lapar.
Berhenti di depan sebuah etalase yang memampangkan sesuatu seperti clay. Apakah toko kue ini juga memajang lilin? Ini seperti mainan beneran. Saya membaca tulisan di bawahnya, sculpted cake. Apaan itu? Kok harganya wah, ratusan ribu. Saya berdecak.
“Itu bisa untuk dimakan?” tanya saya iseng pada Daya, tak berani bertanya pada Baby Hunkwe, khawatir tersinggung. Baby Hunkwe tertawa, telinganya tajam juga padahal saya merasa sudah bicara pelan.
“Cantik ya?” komentar Daya kentara kagumnya.
“Tentu saja bisa dimakan, Pak Juna. Itu namanya kue tiga dimensi. Sculpted cake artinya kue yang dipahat. Untuk lebih jelasnya, yuk kita ke dalam, lebih leluasa wawancara.” Kami mengekor Baby Hunkwe memasuki ruangan lain, semacam pantry namun nyaman dan terpisah dari aktivitas karyawan.
“Ini ruang kerjaku.”
Daya menyiapkan peralatan kerjanya, perekam suara dan kamera. Baby Hunkwe menyiapkan peralatan dan bahan untuk membuat kue tiga dimensinya. Lalu berkicau menjelaskan detail pembuatannya yang ternyata rumit. Sungguh mengagumkan. Katanya tidak mudah memahat kue yang diinginkan pemesan, selera sini cenderung suka kue enak yang lembut macam lapis legit padahal memahatnya sulit. Berbeda dengan di luar negeri yang memakai keik keras. Namun itulah seninya.
Baby Hunkwe bekerja dengan cekatan, sungguh tak dipercaya kue cantik itu tercipta dari jemarinya yang lentik, kehalusan tangannya begitu peka mencipta detail kue seolah ada tenaga gaib. Fondant merupakan bahan dasar utama untuk melapisi kue lapis legitnya hingga memiliki bentuk warna-warni kue 3D. Gum paste sebagai penghias agar lebih semarak bentuknya.
Dari tadi Daya sibuk memotret dan mengajukan pertanyaan yang sudah jadi tugasnya. Saya hanya berperan sebagai penonton yang menyaksikan keajaiban sulap. Sungguh tak dipercaya, semuda dan secantik ini ia ahli mencipta detail rumit. Waktu yang dihabiskan tidak terasa lagi. Siapa sih yang tidak betah berdekatan dengan perempuan cantik lagi baik. Buktinya saya tidak kelaparan dan kehausan menyaksikan atraksinya, ada semeja hidangan, kue-kue ringan sampai berat yang lezat disantap.
Nah, kuemu jadi! Nanti sekalian akan diantar kurir agar utuh,” Baby Hunkwe berseru riang. Itu kue kelinci terlucu yang pernah saya jumpai. Daya berterima kasih. Saya memandang bingung.
“Ada yang ulang tahun?”
“Anak tunggalku, empat tahun, Pak Juna mau datang nanti sore bareng Bram? Jangan lupa kadonya!” Seolah menjadi kebiasaan ia mengedip lagi. Saya terperangah.
“Saya tak tahu Daya sudah menikah.”
Single parent. Cerai. Tamat. Titik.”
“Mari kita makan siang,” tawaran Baby Hunkwe seolah menyelamatkan kekikukan saya. Ia telah menyuruh karyawan lain untuk mengemas kuenya.
Kami makan siang di gazebo halaman belakang, semuanya telah tersaji lengkap. Menu khas Bumi Pasundan. Daya dan Baby Hunkwe berbincang akrab. Baronang bakar begitu menggugah selera.
“Mengapa jadi bakul kue?” usik saya penasaran. Tidakkah ia pernah jadi model? Menilik dari usianya jelas masih muda, barangkali belum 25. Daya sendiri baru 24.
“Saya tidak ditakdirkan jadi bakul ikan, Pak Juna. Nama Anda mengingatkan pada kota kelahiran saya, Juwana. Ayah dan abang saya memilih jadi juragan kapal warisan kakek, saya merasa nyaman dengan dunia ini, juragan kue.” Amboi tawanya begitu renyai.
Namanya ternyata Baby Juwana, diberi nama demikian agar senantiasa ingat asal. Baru 24 tahun, sarjana oseanografi Hawaii University. Asal mula ketertarikannya pada dunia perkuean bermula dari kegemarannya dari kecil akan kue yang terbuat dari tepung hunkwe. Lalu selama di Amerika malah ikut kursus kue, dan masa libur kuliahnya dipakai magang kerja di beragam toko kue dan roti sana. Tidak pernah mudik ke Indonesia saat liburan karena bertekad mengumpulkan modal agar kelak bisa buka toko kue. Kemang sudah lama diincarnya sebagai tempat usaha. Rumah ini merupakan warisan dari kakeknya dulu. Abangnya punya rumah lain di Jalan Kertanegara.
“Percaya ramalan?” saya penasaran dengan latar belakangnya, buat apa jauh-jauh belajar ke Amerika kalau malah berakhir jadi tukang kue di Indonesia. Pasti ada sebabnya. Pertanyaan itu malah membuat Daya dan Baby Hunkwe tergelak.
“Waktu SMP saya dan Daya pernah iseng mendatangi peramal. Daya diramal akan hidup senang dan bahagia dengan pacarnya....”
“Nyatanya pacarku itu pecundang yang menyengsarakan. Saya kawin muda setamat SMA, punya anak, dan ternyata pacar yang jadi suamiku psikopat.” Daya tanpa segan menyibak lengan kemejanya yang  menutupi pergelangan, menunjukkan beberapa bekas luka bakar. Lalu dengan tenang kembali menutup seolah tanpa beban. “Saya harap dengan Bram tak berakhir demikian, Pak Juna. Saya hanya sampel dari sebagian besar KDRT.” Ia serius, tidak lagi mengedip sebagaimana biasanya. Saya tercenung, memandang Daya dan Baby Hunkwe, tidak mengira bahwa mereka berkawan baik. Tentu, saya bisa memastikan Bram tak akan melakukan hal demikian. Ia dewasa dan matang secara emosional.
“Saya harap semoga tidak. Semoga kalian sama-sama bisa menjadi orang yang tepat untuk saling melengkapi.” Saya bicara seakan menyadari ada maksud Bram mempertemukan kami.
Daya tersenyum, “Bagaimana denganmu, Baby?”
Ada kilat jenaka di mata Baby Hunkwe, sepertinya ia menyadari makna pertemuan kami, pertemuan calon keluarga. “Saya diramal akan tenggelam di laut. Justru itu yang membuat saya penasaran kuliah kelautan. Tahu sendirilah pemerintah seperti tak peduli dengan nasib perbaikan nelayan, tak ada satelit penunjang bagi kapal-kapal peninggalan kakek yang cukup canggih, berbeda dengan nelayan luar negeri yang bisa dengan mudah memantau kehadiran ikan karena teknologi satelitnya hebat. Maka saya mengambil spesifikasi bidang teknologi kelautan. Saya berharap bisa melakukan sesuatu yang berarti. Yang paling mengesankan bagiku selama di Hawaii adalah menjadi bagian Green Peace,” Baby Hunkwe tertawa. “Dan saya tak tenggelam seperti yang diramalkan, mungkin belum, namun siapa yang peduli, untuk apa menikmati kecemasan? Jadi obsesi besarku adalah bisa bergabung dengan Cousteau Society yang didirikan Jacques-Yves Cousteau agar dapat mencerap ilmu dan belajar mengenai isi laut, ikut membuat film dokumentar, itu jika saya bisa melanjutkan kuliah lagi. Mungkin nanti. Fokus dulu jadi bakul kue agar punya bekal untuk kuliah.” Ada binar di matanya.
Saya merasa sesak sekaligus malu. Baby Hunkwe, apa jadinya kamu jika tahu maksud saya bertanya tentang percayakah pada ramalan?***
Limbangan, Garut, 19 Februari 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D