Jumat, 27 Desember 2013

Pada Kekinian



Pada Kekinian


S
etiap melihat Palung, ada buncah rasa yang membuatku harus bertahan sekaligus berjuang. Ya, setelah begitu banyak hal yang kami alami bersama, sejak ia masih dalam kandungan. Palung bagiku keajaiban. Kelindan takdir dari Yang Maha Adil.
Ia begitu lucu. Mungil dan lembut sebagai bayi yang belum genap dua bulan. Sekaligus kurus. Membuatku pedih saat menyusuinya, Palung selalu harus berusaha kuat untuk menyedot ASI hingga kepalanya terangguk-angguk ke depan sebagai upaya penyedotan. Dan dibanding bayi lain yang seusianya, ukuran tubuh Palung lebih kecil. ASI-ku kurang subur dengan payudara kecil dan tubuh kurus mungil seolah kurang gizi. Berat badanku tak bertambah juga, malah berkurang; dan memengaruhi pertumbuhan Palung.
Aku cemas. Begitu banyak hal yang membuatku kehilangan fokus, hantaman masalah dalam keluarga sampai finansial jujur saja membuatku kurang makan meski aku ingin makan lebih banyak dan lebih bergizi. Suamiku hanya buruh harian lepas yang kadang kerja kadang menganggur. Lebih sering menganggur karena ia telah melepas pekerjaannya di Tangerang sebagai buruh bangunan agar bisa bersama keluarga dan menjaga anak istri. Uang adalah masalah bagi kami berdua; menyangkut kelangsungan hidup. Palung terpaksa mendapat tambahan susu dot. Dan sepertinya ia jadi kecanduan dot. Itu bukan hal yang baik bagi kami dan baginya. Aku selalu menguatirkan pencernaannya, kalau-kalau susu yang Palung minum berdampak tak baik, entah alergi atau autis. Belum lagi kami kewalahan untuk menyediakan susu jika tiap minggu paling sedikit habis 2 kotak, uangnya dari mana? Rezeki kadang ada secara tak terduga dalam bentuk uang atau makanan, namun lebih sering harus diperjuangkan. Kadang suami dapat kerja memburuh cangkul di sawah atau kebun, kadang meng-gacong dan upahnya berupa sekarung padi dari sawah orang yang ikut dipanen, atau mengangkut berkarung-karung padi yang barusan dipanen dan diupah dengan beberapa kilo beras saja.
Suami adalah hal terbaik dalam hidupku. Ia lelaki yang baik dan sabar meski sering ceroboh dan sembarangan. Begitu bersahaja cara pandangnya, sesahaja caranya mencintai anak dan istri. Merawatku yang masih lemah dan sakit, sekaligus merawat bayi. Tanpa suami di sisi, entah akan bagaimana aku jadinya. Aku selalu membutuhkan suami. Bagaimanapun perbedaan kami. Kehadiran Palung kian menyatukan ikatan cinta dengan suami. Buah hati kami memberi sapuan warna yang sebelumnya tak pernah dikenal. Ia mendewasakan kami sebagai orang tua yang sedang bermetamorfosis. Sekaligus pengingat bahwa menjadi orang tua bukanlah hal yang mudah. Palung adalah amanah dari Allah.
Palung mengajar sabar sejak masih dalam kandungan. Bahkan sampai sekarang pun ia masih menguji kesabaran kami. Begitu melelahkan namun semua terasa pudar jika melihat senyum Palung dan segala polahnya yang ekspresif menggemaskan.
Suami adalah insan yang paling berbahagia dalam keluarga. Wajahnya selalu berubah, dari lelah atau kesal menjadi sumringah tiap melihat Palung atau sekadar mengingatnya saja. Tentu aku senang dengan perubahan itu. Dulu waktu aku masih hamil ia selalu risau meski bahagia dengan kehamilanku.
Setiap malam kupandangi wajah suami dan Palung yang terlelap. Begitu tenang dunia kami, dunia di dalam kelambu. Palung bobo dengan ekspresinya yang kadang mulutnya masih suka mut-mut seolah sedang enen, kadang pulas dan hanya menyisakan tarikan nafasnya yang lembut dan teratur. Dan suami, duhai wajah itu begitu damai dan bahagia. Segala persoalan dunia yang ruwet seolah jeda dalam lelapnya. Ia sangat menikmati dan menghayati perannya sebagai ayah. Suami tipikal ayah rumah tangga yang tak keberatan berbagi tugas dengan istri, termasuk mengurus Palung.
Cucian yang menumpuk bisa dua ember penuh setiap harinya merupakan tugas rutin suami, membawanya ke pancuran dan menjemurnya di belakang. Begitu terus setiap pagi. Tentu melelahkan, namun dilarang jemu karena merupakan risiko sebagai orang tua. Hanya saja kami tak mengira akan seperti ini. Sebelumnya banyak orang bilang kami akan repot dengan cucian, namun membayangkannya seperti apa tak pernah tebersit di benak kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D