Jumat, 27 Desember 2013

Menyibak Kalender Lunar




Judul : Kalender Lunar
Penulis : Dian Hartati
Penerbit: Dian Rakyat-Jakarta
Cetakan: I, Maret 2011

Oleh ROHYATI SOFJAN


P
erkenalan saya dengan Dian Hartati bermula pada tahun 2003 lewat sur-el (surat elektronik) yang ia kirim. Ia mengucap selamat atas esai saya yang dimuat Republika, menyertakan cerpennya untuk saya komentari. Saya sempat heran, bagaimana bisa seorang mahasiswa UPI yang dalam pandangan saya sudah matang masih mau bertanya pada seorang non-akademi, lebih banyak awamnya pula. Namun saya tertarik untuk memenuhi permintaannya meski kecewa dengan alur cerita dan gramatikanya yang sama sekali kurang akademi. Memberi saran dan masukan untuk perbaikan cerpennya. Saya lebih meminati kritik yang bertumpu pada gramatika, karena itu titik kuat seorang penulis untuk berkembang secara lebih baik, apik, dan terstruktur ke depannya.
Dian rupanya menyimak dengan baik masukan saya, kami sering berkomunikasi, dan apa yang telah ia serap berbuah hasil. Ia lebih maju daripada saya. Pencapaiannya mengagumkan, lulus dengan baik dari UPI, sempat berkarier sebagai editor di berberapa penerbitan, setelah menikah dan tinggal di Banyuwangi menjadi editor lepas. Lalu prestasi terbarunya adalah buku kumpulan puisi Kalender Lunar.
Itulah Dian Hartati, selama di Bandung dan kami sama-sama sekomunitas penulisan Mnemonic, ia begitu ulet dan serius, menggulati sesuatu yang masih dianggap asing, dunia puisi. Maka puluhan puisi yang terangkum dalam Kalender Lunar adalah proses panjangnya yang tidak main-main. Dalam rentang tahun 2003-2009, ia berusaha keras menyajikan sepilihan puisi seolah mempersiapkan prosesi kelahiran bayi. Kalender Lunar begitu indah penyajiannya. Desain sampul warna biru mengundang rasa penasaran pembaca. Buku puisi ternyata bisa juga keren tampilannya.
Dian membagi 82 kumpulan puisinya menjadi tiga: Prelude, Dongeng Cinta, dan Serat Waktu. Menurutnya cinta, sosial dan lokalitas benang merah dari buku itu. Penyair kelahiran Bandung, 13 Desember 1983, itu memilih kata-kata yang sederhana dan mudah dimengerti. Memang begitulah puisi, mesti bisa berkomunikasi dengan pembaca awam sekalipun. Ia  tidak larut dalam permainan majas yang bisa jadi sulit dicerna, namun ia juga berusaha menjaga keindahan bahasa dalam rima, menggali bahasa Indonesia klasik yang jarang digunakan.. Beberapa puisi di bagian Serat Waktu memiliki kekuatan dari kekayaan khasanah Dian tentang lokalitas. Indonesia begitu kaya dengan upacara sampai peristiwa. Sebutlah “Di Kawali, Aku Berburu Cahaya”, Dian membiarkan inspirasi mendatanginya, dari kisah Perang Bubat puisi cinta yang liris menjelmakan kegelisahan mistis.
sampurasun,
di manakah dirimu pitaloka
aku mencari pintu pertemuan
kubawakan jantung pinangan yang tak rakus akan kuasa

pekat malam
aku bersiap mencacah setiap jiwa
raga suci yang disemayamkan di tanah leluhur
perjalanan demi perjalanan telah menghabiskan segala pertanda
ada apa gerangan hingga bulan tak muncul di peraduan
alam hanya ditingkah sunyi serangga
semilir yang datang dari jauh

di alunalun
gemerlap cahaya mengejawantahkan keriangan
iringiringan kaum pendatang
-- lungkrah --

aku, lelaki dari bumi jawa
telah meluruhkan segala perkara
permusuhan ratus tahun
kesepian yang datang dari kutuk para dewa

lihat langkahku
digiring oborobor, disembilu luka tahunan
seluruhnya adalah kehendak semesta
doa wastu kencana yang kehilangan raga sang kakak

aku datang kembali padamu
mempertaruhkan segala sumpah
-- agar lama jaya di buana --

*
sebuah gerbang
gadisgadis cilik pembawa lentera
itukah jelmaanmu
berjalan mengitari tubuhku
tahukah mereka, bahwa aku telah hadir kembali membawa cinta yang tak sampai

jika alun kecapi yang kudengar ini adalah isyarat darimu
jangan lagi bersembunyi
aku mendatangi sunda
tanah yang begitu surgawi

di mana dirimu putri
mengapa hanya gumam rajah kudengar
bahasabahasa asing tak kumengerti
menceritakan bubat yang kucipta
bongkahbongkah keserakahan
-- jalir janji --

**
langkah ini semakin berat
dan aku tak peduli
                        jika kawali telah mengutukku


***
cahaya tetap kucari
di antara batubatu
                        jejak masa lalu
di antara rimbun pohonan
            isyarat semesta

di manakah dirimu pitaloka
aku mencari pintu pertemuan
celah yang mengabadikan cinta


SudutBumi, 26 Agustus 2008

Dan masih banyak lagi puisi menarik lainnya dari Dian yang pernah diundang dalam acara Ubud Writers and Readers Festival 2009. Seperti  “Manik dari Pugung Raharjo”, “Geliat Musim Angin Teduh”, “Sahibulhikayat di Negeri Mantang Arang”, “Setelah Sandekala”, “Kranji, Upacara Dimulai”, “Kalender Lunar”; semua untuk bagian Serat Waktu. Ada puisi “Maison Bogerijen” yang menurut saya masih bisa diberi kemungkinan untuk bermain dalam wilayah bahasa yang lebih memukau karena itu menyangkut kota kelahiran kami; Jalan Braga yang sarat sejarah.
Saya lebih tertarik membahas lokalitas, karena Dian berpotensi untuk menggali lebih dalam lagi untuk puisi-puisinya. Barangkali seperti Oka Rusmini dengan nuansa Bali yang kental.
Cipeujeuh, 16 Agustus 2011     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D