Sabtu, 28 Desember 2013

Kasta



Kasta


/bagi klan R. Soewarno dan Nyi Mas Marminah

Aku telah lama kehilangan akar, maka jangan ajak bicara
tentang silsilah, juga makam para moyang, leluhurku
yang berkubur di petak tanah asing tak lagi kukenal
jejaknya tak lagi kutahu siapa nama mereka, apalagi peta
jalan pulang pada kenangan silam, sekadar mengenal
bagaimana aku bisa ada dan darah siapa saja
yang mengalir dalam setiap pembuluh, agar menari
mengikuti tarian bumi di tanah Bali.

Kakiku tak pernah mencium tanahnya, dan tak kutahu
bagaimana nenekku mewarisi darah yang konon bangsawan
dari seorang R. Mas Mad Marlin yang retakan wajahnya
tak kukenal dan tak kutahu apakah telah merangka
atau diperabukan dalam upacara ngaben yang purba,
dan bagaimana pula agamanya. Sebab ayahku mencium
matahari Mataram di tanah Nusa Tenggara pada kelahiran
tanpa aroma dupa. Sembari melepas silsilah tanah leluhur,
menyandang klan lain dari cinta seorang ayah yang kelak
mengajak hijrah ke tanah Jawa yang subur di mana
leluhurnya berkubur, dengan warisan gelar bangsawan
(atau bajingan) -- seperti dalam buku sejarah berdebu
di tangan kawanku. Kemudian cucu dan cicitnya
menghirup abad lain, melupa akar, melupa silsilah,
bahkan melupa ikatan darah satu klan. Tinggallah  aku
memungut klan baru, klan ayahku yang berkubur
di tanah kematian, melupa nama para sepupu
yang cuma bertemu pada ritual tertentu, sembari
menertawakan gelar kebangsawanan yang enggan
kami semua sandang; dan hidup biasa, hidup bahagia,
atau hidup sengsara. Namun kami hidup dan mengada
meski melupa, meski arwah sengak nenekku
mengutuk darah ibuku yang mengalir dalam tubuhku
yang sudra.
Bandung, 28 Mei 2003


Kasta


/bagi klan R. Soewarno dan Nyi Mas Marminah

Aku telah lama kehilangan akar, maka jangan ajak bicara
tentang silsilah, juga makam para moyang, leluhurku
yang berkubur di petak tanah asing tak lagi kukenal
jejaknya tak lagi kutahu siapa nama mereka, apalagi peta
jalan pulang pada kenangan silam, sekadar mengenal
bagaimana aku bisa ada dan darah siapa saja
yang mengalir dalam setiap pembuluh, agar menari
mengikuti tarian bumi di tanah Bali.

Kakiku tak pernah mencium tanahnya, dan tak kutahu
bagaimana nenekku mewarisi darah yang konon bangsawan
dari seorang R. Mas Mad Marlin yang retakan wajahnya
tak kukenal dan tak kutahu apakah telah merangka
atau diperabukan dalam upacara ngaben yang purba,
dan bagaimana pula agamanya. Sebab ayahku mencium
matahari Mataram di tanah Nusa Tenggara pada kelahiran
tanpa aroma dupa. Sembari melepas silsilah tanah leluhur,
menyandang klan lain dari cinta seorang ayah yang kelak
mengajak hijrah ke tanah Jawa yang subur di mana
leluhurnya berkubur, dengan warisan gelar bangsawan
(atau bajingan) -- seperti dalam buku sejarah berdebu
di tangan kawanku. Kemudian cucu dan cicitnya
menghirup abad lain, melupa akar, melupa silsilah,
bahkan melupa ikatan darah satu klan. Tinggallah  aku
memungut klan baru, klan ayahku yang berkubur
di tanah kematian, melupa nama para sepupu
yang cuma bertemu pada ritual tertentu, sembari
menertawakan gelar kebangsawanan yang enggan
kami semua sandang; dan hidup biasa, hidup bahagia,
atau hidup sengsara. Namun kami hidup dan mengada
meski melupa, meski arwah sengak nenekku
mengutuk darah ibuku yang mengalir dalam tubuhku
yang sudra.
Bandung, 28 Mei 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D