Jumat, 27 Desember 2013

Dari Saudaraku



KIDUNG UNTUK ROHYATI SOFJAN

Assalaamu’alaikum warohmatulloohi wabarokaatuh!
“Ternyata hidup hanyalah sejengkal, demi menyambung napas yang bermuara pada selamanya. Jangan takut, jangan resah, pada remang-remang. Hidup hanya senda gurau di depan kaca, yang akan berakhir pada suatu masa. Maka bagi manusia yang berpikir, ia akan bersungguh-sungguh berjuang untuk kehidupan yang selamanya, daripada menghabiskan waktu hanya untuk merisaukan kehidupan yang sejengkal.”

Itu yang menjadi pegangan saya kini, di sini. Jika disusun dalam daftar, tentu tuntutan beban hidup, juga hutang, aneka perjanjian yang harus saya bayar, jumlahnya saaangat banyak. Saya akan merasa seperti dikejar-kejar godam, diburu hantu, sampai saya merasa tidak tenang hidup. Tapi, saya tidak sedang berdiam diri di sini—untuk diketahui. Dengan tenaga, pikiran, dan kemampuan yang saya coba maksimalkan ini, saya sedang berupaya untuk membereskan semua itu. Saya membayangkan diri saya berada di finish pada akhirnya, menghirup napas lega dan puas atas apa yang saya lakukan pada hidup saya. Mungkin rasanya akan sama seperti saat saya pertama kali memegang formulir pendaftaran mahasiswa baru meskipun saat itu jalan di hadapan saya terasa  gelap dan lengang, pun tinggi.
Tapi inilah aneka macam pergantian yang terus bergulir. Empat tahun lalu, impian yang harus segera saya wujudkan adalah “ingin bisa seperti mahasiswa lain” yang tidak pernah punya tunggakan SPP. Bahagia rasanya membayangkan kehidupan mereka yang tidak perlu risaukan beras, tagihan listrik, atau aneka hutang dan biaya hidup. Tentu nikmat rasanya kalau belajar tinggal belajar, baca tinggal baca, bernapas tinggal bernapas, nilai bisa tinggi, peluang saya untuk jadi mahasiswa paling pintar dan paling prestatif di kampus pun terbuka lebar. Karena sepanjang waktu saya hanyalah untuk belajar.
Ternyata hal itu baru bisa saya raih, justru pada detik-detik terakhir keberadaan saya di kampus. Saya ternyata bisa jadi sama seperti mahasiswa lain yang tak punya tunggakan SPP. Tapi nilai saya tak terlalu bagus, prestasi saya tak secuil pun. Sementara banyak kawan saya ber-IP 3,55 sekian, saya hanya berpuas pada angka 3,35 saja. Saya gagal menjadi mahasiswa paling pintar sekampus, saya gagal menyumbangkan banyak prestasi untuk almamater, tapi saya telah berhasil menyentuh finish itu meski dengan banyak kegagalan di punggung saya. Berapa banyak mahasiswa yang telah dianugerahi banyak kemudahan dan fasilitas tapi justru sia-siakan kesempatan untuk belajar lebih keras daripada apa yang telah saya lakukan?Ya, meskipun saya akui, banyak hal pula yang telah saya siakan selama menjadi anak kuliahan.
Saya sangat mendukung rencana Teteh untuk berdagang di dekat kebon itu. Eksotis sekali membayangkan Teteh dan suami hidup berdampingan sambil melayani kebutuhan banyak orang. Saya tidak percaya bahwa nasib manusia hanya terlahir sebagai jongos selamanya. Itulah yang saya lihat pada kakak saya nomor dua yang tinggal di Indramayu. Dia memulai usahanya dari segala hal tumpangan.. Buka warung, jualan ecek-ecek, es limun, dan jajanan anak. Modalnya dulu hanya dua ratus ribu saja dan masih tinggal menumpang pula di rumah mertuanya yang kaya. Tentu apa pun yang menumpang tak akan terasa enak. Rasanya seperti benalu. Tapi itu akan terasa menyenangkan setelah dibiarkan berlalu. Sekarang ia sudah dimampukan Tuhan untuk punya kendaraan sendiri, dan sedang mencicil rumahnya sendiri pula.

Itu yang membuat saya ingin lebih baik dari kakak saya yang laki-laki itu. Saya pun ingin lebih baik dari ayah saya yang telah menghabiskan masa mudanya dengan merantau, belajar dari aneka gaya hidup para manusia-manusia kecil. Saya ingin lebih baik dari ibu saya yang tulus dan sahaja menyikapi hidup. Walau ternyata, ketika melihat diri saya yang sekarang ini, menjadi lebih baik dari mereka adalah jalan panjang yang penuh keringat.

Tapi, siapa pun yang ingin berdagang, akan saya dukung. Karena saya teramat suka dunia itu. Sangat menyenangkan rasanya bisa menjadi bos, manajer, sekaligus karyawan dan penerima laba usaha kita sendiri, bukan? Berapa pun jumlah rupiah yang jatuh di tangan, zan terasa amat nikmat.
Saya pun ingin sekali berdagang lagi. Saya rindu tetesan peluh saat melayani orang-orang yang menginginkan dan menggemari barang dagangan saya. Tapi itu ada pada rencana hidup saya beberapa tahun lagi, tidak sekarang. Tahun ini saya sedang fokus pada pelunasan aneka kewajiban yang telah saya tundakan ketika saya bergelut dengan dunia saya sendiri yang egois. Tahun depan saya ingin meningkatkan kualitas menulis saya dengan menambah ilmu-ilmu baru, di mana pun akan saya rajah. Tentang menikah? Saya ingin menikah pada 2011 saja, dengan siapa pun pria yang saya anggap cukup kuat dan tangguh untuk mengarungi kehidupan ke depan bersama impian-impian saya yang menanti untuk diwujudkan. Saya tak butuh pria tampan, kaya, atau pewaris tahta. Saya hanya butuh tangguh, karena tangguh artinya tak manja dan cemen dalam hidup. Karena, masih banyak hal yang ingin saya wujudkan. Saya ingin kuliah lagi di UI, saya ingin bisa kuliah Leiden. Saya ingin mengajar bahasa Indonesia di banyak desa terpencil dan banyak negara. Saya ingin membuka toko buku dan sekolah gratis di Indonesia, saya ingin menghajikan orang tua, dan akhirnya memencilkan hidup saya di desa. Banyak orang yang meragukan ini, menganggap impian2 yang saya tulis di dinding kamar sebagai hal yang muluk2, sesuatu yang takhyul. Tapi, ini adalah impian saya, hidup saya, sayalah yang memegang kemudi nasib ini. Akan ke mana pada akhirnya, adalah tanggung jawab saya. Mari bersama-sama, kita awasi setiap keputusan dan jalan yang saya pilih.
Tentang XXXXX, oh saya sudah lama tidak kontak sejak dia menjual ponselnya demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Saya pun tak nyaman harus digombali terus oleh suami orang yang tidak waras. Saya tidak tahu apa yang sedang dia lakukan atau alami sekarang. Mungkin saja dia sedang melemahkan dirinya lagi pada sesiapa perempuan yang dia penasari. Saya tidak tahu apakah benar saya punya pesona seperti yang Teteh katakan. Tapi saya memang punya hati yang sensitif, mudah tersentuh oleh film dan lagu cengeng. Namun jangan lupa, bahwa saya pun punya batasan dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Meskipun sialnya, kebebasan saya dalam berkata-kata kadang bisa jadi bumerang dan benalu yang samar terlihat bagai bendera yang mengizinkan para buaya masuk dengan mudah.
Sekarang, saya menjelma single woman yang tidak available. Saya memang sedang mencintai seorang pria. Dia adalah pria sederhana berhati samudera. Hatinya sangat baik, terlampau baik jika dibandingkan dengan saya yang selalu keruh hati. Tapi ternyata saya pun masih harus belajar bagaimana cara mencintai, bagaimana cara mengungkapkan cinta tanpa mengatakannya. Saya harus berguru lagi, pada para gembala yang dikisahkan Paulo Coelho dalam Sang Alkemisnya. Saya tidak akan mengisi waktu saya untuk berpacaran untuk saat ini. Juga untuk sisa tahun ini dan sepanjang tahun depan. Saya harus fokus pada amanah yang diberikan kehidupan kepada saya, yaitu merawat orang tua saya sampai saya rasa saya pantas mencintai mereka dari jauh. Saya pun ingin  menebus waktu-waktu saya untuk keluarga yang telah saya hilangkan dan saya abaikan selama saya kuliah.
Apakah saya merasa sunyi? Ternyata saya sudah terbiasa seperti itu, terbiasa dengan itu. Saya telah terbiasa menjalani hari-hari saya yang sunyi. Saya telah terbiasa melawak seperti badut, bagi-bagi balon, bunga, kertas, beli tinta, mendongeng di depan anak-anak, dan berkelakar bersama sahabat-sahabat dan tidak memasukkan kehidupan cinta saya ke dalam keseharian saya. Cinta saya jauh tersimpan, di dalam hati saya.

Mungkin benar kata Teteh, bahwa saya telah keluar dari rumah kepompong saya semasa SMA. Ketika Teteh berkata bahwa, “cerpen Eka jauh melampaui anak SMA”, mungkin saat itu pula saya sedang berjalan ke depan. Membawa oleh-oleh masa di waktu lalu, untuk kemudian menjadi entah pada kehidupan yang akan datang. Belajar bijak memang sulit, belajar ikhlas pun sulit, dan ternyata belajar berjalan, belajar membaca pun sulit. Namun hebatnya, kita sudah bisa berjalan dan membaca kini.

Semoga Teteh dan suami sedang berbahagia kini. Percayalah pada saya, tak perlu banyak uang untuk bahagia. Mendapatkan genggaman tangan dan pelukan hangat suami tentu kebahagiaan yang utama saat menyambut buah cinta Teteh yang perdana. Saya doakan di sini, semoga kelahirannya merupakan berkah, pertanda bagi bumi dan langit. Bahwa masih ada harapan untuk mengubahnya menjadi lebih baik, seperti saat moyang kita masih hidup. Tenggaklah madu bersama segelas air hangat pada setiap awal hari Teteh, seusai solat subuh mungkin. Insya Allah, Teteh akan lebih sehat sampai tiba waktu bahagia itu.
Tentang penyakit saya? Ah, jangan hiraukan. Saya menganggapnya seperti kelakar. Sama seperti potret tiang-tiang listrik yang berlalu ketika saya duduk di dalam bus kota yang melaju. Suatu hari nanti, saya akan tetap mati. Tapi saya janji, saya tidak akan mati sekarang-sekarang. Nanti. Ya, saya janjikan nanti. Ketika saya sudah punya cukup warisan yang bisa saya tinggalkan untuk para penghuni kehidupan yang akan datang.

Salam saya untuk suami, untuk ibu, untuk keluarga, untuk bayi dalam kandungan, untuk kesunyian Teteh yang murni, untuk Limbangan, untuk hawa dingin dan hawa panas hati, untuk arak-arak baru bagi mimpi.
Lalu siapakah orang yang paling bahagia di bumi? Seorang guru pernah berpesan, orang yang paling bahagia adalah mereka yang banyak direpoti orang. Untuk perkara ini, saya masih belum cukup repot untuk bisa disebut bahagia.

Wassalaamu’alaikum warohmatulloohi wabarokaatuh!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D