Senin, 30 Desember 2013

Uang Sekarat



Podium

Uang Sekarat

Oleh Rohyati Sofjan 


*Penulis Lepas Cum Ibu Rumah Tangga, Tinggal di Limbangan, Garut

U
ang sekarat adalah uang yang kondisi fisiknya sudah tidak layak. Terutama uang kertas. Tersebab kucel, lepek, sampai robek. Namun masyarakat banyak masih tetap saja menggunakannya. Entah karena ketiadaan pilihan atau terpaksa menerima uang demikian.
Fungsi uang sebagai alat tukar dan transaksi jual beli sesungguhnya kurang terlindungi. Kekerapan pemakaiannya akan tergerus waktu sehingga penampilannya tidak layak lagi dan bahkan kerap ditolak pelaku transaksi. Rasanya memalukan jika kita membeli sesuatu yang baik dan sangat dibutuhkan dengan uang kertas yang sudah tak laik pakai lagi. Tapi kita sering tak berdaya karena kekerapan peredarannya masih berkesinambungan di masyarakat. Tak ada yang mau bertanggung jawab sebagai pemegang. Pun tak ada informasi berharga bahwa uang demikian bisa ditukar lagi di bank terdekat dengan uang baru yang lebih segar dan gres.
Saya teringat adegan film tentang perjalanan uang 1 Dollar Amerika. Dari saat masih mulus sampai berpindah ke banyak tangan hingga melayang ke udara dan beruntung hinggap di tangan serang nenek tunawisma yang memperebutkannya dengan orang lain, Uang yang robek sebagian itu ternyata masih bisa ditukar di bank. Sang nenek bertanya pada petugas bank wanita yang ramah, akan diapakan uang rusak itu. Katanya akan dihancurkan. (Atau mungkin akan didaur-ulang kertasnya?
Saya kagum, uang sekarat itu masih bisa dihargai di sana. Bahkan menjadi peran sentral cerita. Bermula dari upah penghibur pesta lajang yang akan menikah, lalu terus-terus bertukar tangan pada setiap lakon cerita. Dan berakhir di tangan nenek gembel itu. Sedang sisa sobekan satunya? Ironisnya menjadi pembatas buku teman perempuan si cowok lajang yang malah batal menikah gara-gara pesta lajang yang ketahuan calon istrinya. Dan mereka kebetulan bertemu di bandara untuk melakukan penerbangan ke kota lain.
Selembar uang, alangkah panjang sejarahnya. Kita tidak pernah tahu bagaimana ia bermula. Mungkin sebagai bagian dari upah karyawan, masih mulus benar dan berbau bank. Lalu seiring asas kebermanfaatannya sebagai alat tukar, ia bisa berakhir menyedihkan. Menjadi uang sekarat yang kucel, robek, atau tercoret-coret. Uang rusak yang masih terpaksa diakui eksistensinya, meski tak jarang yang menerima menggerundel atau menolak.
Kebiasaan masyarakat sendiri dalam memaknai uang mungkin kurang menghargainya untuk menjaga kesinambungan agar tetap utuh. Mencoret uang dengan sederet nomor telefon, atau curhat ngaco atau apa saja seolah hal biasa. Itu uang kertas, nanti juga berpindah tangan, emangnya gue pikirin. Barangkali demikian pemikiran masyarakat kita. Sama sekali tak ada sosialisasi media dari pemerintah pada masyarakat tentang pentingnya menjaga keutuhan uang.
Namun, apa yang terjadi jika kita tidak sengaja merusak uang? Robek karena anak kecil? Terpaksa disambung dengan solasi plastik. Adakah rasa sayang dan bersalah? Atau kita salahkan uang yang kurang kuat? Lalu, bahan kertas apa yang paling kuat?
Di sebuah toserba, saya menyaksikan seorang ibu yang ditolak uangnya oleh kasir, setelah kasir itu berkonsultasi dulu dengan rekannya. Alasannya, uang seratus ribu tersebut sudah rusak penampilannya karena terendam lunturan pakaian. Bukan uang palsu, memang. Namun noda lunturan tersebut jelas sangat mengganggu jika dilihat dari etika bisnis. Baik sebagai alat upah karyawan atau transaksi dengan pemasok barang. Ibu tersebut terpaksa “berutang” dengan jalan menggesek kartu merchant toserba itu. Masih beruntung ia punya kartu gesek, bagaimana jika bagi yang tidak punya? Paling banter mengembalikan barang belanjaannya dengan rasa malu atau dongkol.
Sebaliknya, pada suatu hari yang lampau, di Gramedia BIP saya beroleh uang kembalian seribuan yang masih sangat gres. Tentu saya senang menerimanya. Seperti sengaja dilakukan untuk memanjakan konsumen.
Sekarang, di zaman serba gesek ini, kehadiran uang elektrik atau e-money memudahkan transaksi masyarakat. Selain kartu kredit dan debit atau kartu member toko tertentu. Namun bagi masyarakat pemakai jasa uang kertas, tentu membutuhkan inovasi yang lebih aman dan nyaman bagi rupiah mereka. Juga informasi tentang apa yang harus dilakukan dengan uang sekarat.***
Limbangan, Garut, 7 Maret 2013


Rente



Rente


Penduduk kampungku terjerat utang. Ada banyak. Dan ibuku salah satunya. Utang tak perlu yang membuatku meradang. Ibu akan tetap berutang, dengan atau tanpa sepengetahuanku. Percuma aku melarang, ibu akan selalu beralasan, alasan bodoh yang membuatku tak berdaya. Marah pun percuma. Barangkali utang adalah hobi baru ibu, semacam penyakit lebih tepatnya. Keinginan beroleh uang cukup besar dalam waktu seketika  mendorong ibu mengorbankan ketenangan dan kesejahteraan kami dalam jangka panjang.

Cerpen Rohyati Sofjan


U
ang tunjangan pensiun ibu yang tak seberapa dipotong pihak bank tempat ia meminjam uang, gara-gara abangku butuh pinjaman dan ibu terpaksa mengagunkan surat pensiunnya. Ada banyak hal yang membuat ibu harus demikian, berulang memperpanjang agunan. Namun jika ditambah meminjam pada rentenir jelas itu sudah keterlaluan, apalagi untuk hal tak produktif.
“Ibu karep sorangan!” kata abangku satu hari sebelum pernikahanku. Masalahnya ibu tak mau mendengar omonganku demi kebaikan. Aku ingin pernikahanku dengan cara sederhana dan hemat biaya. Namun ibu jenis orang yang tak bersyukur, begitu keras kepala memaksa belanja. Merasa gengsi jika tak bisa menyajikan sesuatu yang biasa dilakukan orang hajat, dari acara uleman atau ritual memberi amplop dan balas memberi bingkisan pada para pemberi sebelum hari pernikahan, sampai menyajikan masakan pada undangan di hari pernikahan.   
Aku tak paham istilah karep sorangan, banyak sekali kosakata bahasa Sumda yang sering tak kumengerti karena keterbatasanku; kehilangan fungsi pendengaran sejak kecil dan bahasa yang sangat kupahami hanyalah Indonesia -- dari aneka bacaan yang kubaca. Sorangan artinya sendiri atau sendirian. Namun aku tak berani bertanya apa arti karep pada abangku, ia sudah pusing dan dongkol. Jauh-jauh datamg dari Ciamis ke Limbangan Garut hanya demi tugas mulianya, menjadi wali pada hari pernikahanku, pengganti almarhum bapak yang sudah belasan tahun tiada.
Abang hanya pedagang arloji keliling, menawarkan dagangannya secara kreditan pada siapa saja, kebanyakan ia menawarkan ke kantor polisi di beberapa kota karena punya banyak relasi. Anaknya dua, lelaki semua dan masih kecil. Lelaki jelang empat puluh tahun yang merasa gagal sebagai kepala keluarga karena belum bisa memakmurkan hidup anak istrinya, rumah saja masih mengontrak. Waktu aku hendak menikah dan mengutarakan niatku soal perayaan sederhana seperti abangku dulu, aku tak ingin membebani siapa pun, tidak juga calon suamiku yang hanya bisa memberi sejuta rupiah untuk keperluan pernikahan pada ibuku.
Aku tak pernah berpikir bahwa ibu ingin abang membantu juga dari segi finansial. Aku tak tahu bahwa uang sejuta ternyata tak cukup di mata ibu, ditambah beberapa ratus ribu dari sisa gadai sawah. Aku sedih begitu tahu bahwa abang ikhlas menyumbang 500 ribu yang bagiku tak perlu. Bukankah Al dan Rama lebih membutuhkannya? Apalagi teteh iparku hanya ibu rumah tangga biasa. Apalagi mereka sebenarnya terlilit utang juga. Penghasilan ada tetapi sering macet di luar karena sulit ditagih, dan untuk modal sampai kebutuhan sehari-hari bisa jadi harus berutang entah pada siapa. Ditambah bekas kecelakaan yang menimpa abangku ketika tabrakan, motornya ditabrak pengendara motor mabuk di siang bolong yang membuat jari kelingking kaki kirinya harus diamputasi. Begitu banyak beban tergurat di garis wajahnya yang lelah. Ia tidak seperti ibu yang janda pensiunan, tinggal enaknya dapat uang tiap bulan berkat almarhum bapak yang mengabdi selama 30 tahun sebagai pegawai negeri di Balai Besar Perusahaan Kereta Api, Bandung.
Ibu barangkali jenis orang yang kurang bersyukur, cenderung boros untuk hal mubazir. Anaknya harus pontang-panting cari nafkah demi menghidupi keluarga, mengapa ibu harus membebani demi alasan gengsi agar tampak hebat dan mampu di mata orang lain. Padahal apa yang dilakukannya masuk pepatah Sunda, ginding pakampis: berlebihan tapi kempes.
Untuk keperluan bingkisan pada para tetangga saja, yang aku tak tahu akan begitu banyak berdatangan, Kang Asep pemasok warung kami yang menalangi; mengirim barang kebutuhan dan dibayar belakangan begitu hajat beres. Ibu pikir banyak tamu yang datang karena ia dikenal banyak orang sekampung sebagai orang baik dan istri Pak Aden. Ibu, ironisnya, jarang mendatangi tetangga yang hajat. Dan orang kampung seolah bersimpati padaku yang memiliki keterbatasan namun berusaha utuh sebagai perempuan dalam hal jodoh. Begitu banyak amplop sampai beras dan padi yang kami terima, ditambah kelapa, bihun, dan lainnya.
Semestinya uang sumbangan dari para tetangga itu bisa mencukupi keperluan kami. Namun ibu membuat kejutan tolol: belanja bahan makanan seolah memasak untuk ratusan orang, padahal yang hadir pada hari H nikahanku hanya beberapa puluh orang pengiring pengantin dari pihak keluarga calon suamiku.
Aku memandang nanar bibiku yang sedang mencuci entah berapa kilo daging sapi di kamar mandi. Lalu bungkusan plastik besar berisi beberapa ekor ikan mas yang banyak. Dan daging ayam. Karung jala berisi aneka sayuran berupa kol, kentang, brokoli, wortel, tomat, kecipir, jagung muda, mentimun, sampai bumbu-bumbu. Lalu buah-buahan buat rujak. Lalu dua kantung besar kerupuk ikan. Dan entah apa lagi. Yang jelas aku dan abang sampai stres melihatnya. Para kerabat sibuk membantu di dapur, barangkali sambil menggunjingkan ibu yang punya sifat riya dan senang dipuji. Ibu ke Bandung untuk urusan jual kalungnya sebagai tambahan hajat. Aku ingin kabur saja dari kesintingan ini, melupakan rencana pernikahanku dengan lelaki yang kucintai.
Aku terlambat mengetahui bahwa untuk urusan bahan masakan itu, ibu dengan bantuan Mang Ano adiknya, berutang 2 juta pada kawan Mang Ano. Dan bahwa ibu akan membuat kekacauan dengan merusak kepercayaan pada Kang Asep dengan telat membayar, lalu utang 2 juta itu pun sulit dibayar ibu dan harus ditebus dengan cara menjual sawahnya kelak. Lalu rentetan utang itu membuat hidup ibu harus tetap gali lubang tutup lubang, sayang lubang yang digalinya terlalu dalam.
Pada hari pernikahanku, aku murung, tidak bahagia betapa hidupku dikendalikan sesuatu yang tak terpahami. Aku membenci kendali ibu akan uang, ia tak bisa mengendalikan diri dan malah dikendalikan materi.
Aku gagal menginginkan ketenangan finansial. Aku menyesal ibu yang menangani hajatan ini. Seandainya saja aku yang pegang kendali barangkali semua kekacauan ini tak akan terjadi. Aku tak perlu jadi kambing hitam dengan alasan apa yang dilakukan ibu adalah bentuk sayang anak. Abang bilang jika benar ia menyayangi kita, segala ketololan itu tak perlu terjadi. Rusaknya nama baik di mata orang dan berhadiah tambahan utang yang menggunung tak terbayar.
Aku tak ingin seperti Bi Empay, 3 rumah di belakang rumah kami. Ia kehilangan rumah dan kebunnya karena utang. Pinjamlah uang pada rentenir dan harus bayar 2 kali lipat. Bi Empay berutang untuk modal warungnya. Sayang utang yang dibuat ada banyak pada beberapa pihak. Terlalu mengerikan jika tiap minggu harus bayar ratusan ribu padahal penghasilan tak menentu, suaminya buruh tani sekaligus dagang es krim keliling di Bandung. Ia menggali lubang dan lubang itu menelan rumah dan hartanya. Keluarga mereka terpaksa kabur ke Kubang, sebuah kampung terpencil melewati Desa Panceureunan setelah desa kami.  Kampung yang berbatasan dengan hutan, tempat bekas pertempuran TNI dan gerombolan apa gitu. Yang jelas di sana menjadi kuburan bagi mayat gerombolan. Ongkos ojek ke sana dari kecamatan kami 20 ribu rupiah, ke kampungku hanya 4 ribu rupiah. Bi Empay tak cuma kabur, masih menyisakan jejak utang pada koperasi kelompok dan harus ditanggung kelompoknya untuk dibayar. Ia dan keluarganya menjadi gunjingan sekaligus kemarahan. Betapa utang bisa merusak banyak hal, dan semua bermula dari nafsu dan kesombongan.
Dan pada akhirnya, dari suamiku aku baru tahu apa arti karep sorangan, mau menangnya sendiri! Aku sedih mengingat usia ibu yang begitu senja mestinya ia mendapat kesenangan dan ketenangan. Ia tak pernah dapatkan itu karena satu hal yang dianggap sebagai kehormatan baginya adalah kekayaan dan kesuksesan dalam materi. Ia bukan jenis orang yang menghargai proses, baginya hasil adalah hal paling pasti untuk diagungkan. Betapa ia bisa merendahkan diri jika berhadapan dengan si kaya, lupa bahwa segala pemberian semata dari-Nya, bahkan napas ini pun titipan. Ia tak segan mengumumkan apa-apa yang telah dilakukan, jasa atau pemberian untuk siapa saja. Meratapi masa jayanya waktu masih kaya dan sering dirubung kerabat sampai tetangga yang membutuhkan bantuannya, saat miskin mereka seolah tak peduli dan menghinakan. Bahkan dua anaknya yang payah secara materi pun jadi sumber keluhan pada orang-orang. Terasa begitu pamrih dan riya jika harus mengumumkan kebaikan diri sendiri seperti itu.
 Aku hanya ingin bisa terbebas dari utang dan riba. Di belakang rumahku, rumah mama Susan kosong dan hendak dijual, ia sendiri kerja di kota sebagai pembantu karena utang-utang yang dibuat pada berbagai pihak tanpa sepengetahuan suaminya, seorang pekerja bengkel di kota. Di sekelilingku kehidupan petani bukanlah hal menjanjikan secara materi sekarang ini. Kau akan membutuhkan modal besar untuk mengolah tanah kebun atau sawahmu, sedang harga pupuk dan hal-hal lainnya kian tak masuk akal.
Suamiku hanya petani. Memburuh pada siapa saja yang membutuhkan tenaganya. Bertahan dalam pekerjaan yang jarang dan penghasilan kecil demi bayi kami yang baru 8 bulan, bayi lucu yang cerdas dan tampan seperti ayahnya.
Barangkali aku pemimpi, seperti kata suamiku, ingin mengentaskan hidup kami dari kemiskinan karena utang yang menjerat keluarga. Namun siapa tahu dengan itu rasa frustrasiku selaku anak akan berkurang, setidaknya ayahku tak merana di alam kubur karena namanya masih dibawa-bawa dalam surat pensiun yang diagunkan pada bank yang dilakukan ibu.***
Limbangan, Garut, 15 Juli 2010


Di Banyuwangi Langit Terbelah-belah



Di Banyuwangi Langit Terbelah-belah

Langit terbelah hantarkan aku yang patah.
Pada dingin alir air.
Pada kelabu cakrawala rindu.
Pada petir yang menampar hening.
Pada sepi yang menguyup jasad.
Pada angin yang menghantarkan suaramu,
sebagai kenang yang lebam.
Limbangan

Lingkaran



           

Lingkaran

Cerpen ROHYATI SOFJAN



I
buku punya banyak kisah. Kisah melingkar yang tak sepenuhnya kupahami. Itu tentang hidupnya, hidup ayahku almarhum, hidup abangku, dan hidupku….
Aku tidak tahu tentang kebenaran kisah yang dipaparkan ibuku, adakalanya membingungkan. Apakah ibuku bingung dengan detail kenangannya, atau ingatannya mulai lekang dimakan usia?
            Seperti sore ini, saat kami membungkus leupeut untuk dijualkan Bi Popon, pedagang makanan keliling kampung; ibuku tidak bisa menahan dirinya untuk bercerita padaku, putrinya yang tuli dan berusaha keras menyimak setiap ucapan dengan membaca gerakan bibirnya.
“Dulu,” kata ibuku, melanjutkan kisah atau kenangannya tentang masa silam, “saat kamu belum genap dua tahun dan Wawan (nama kecil abangku) masih SD, Ibu pernah meninggalkan kalian berdua di rumah kontrakan Gang Kebon Jayanti karena harus berjualan kain batik kreditan, kamu rewel sekali, tidak bisa ditinggal pergi. Membuat bingung dan kesal Wawan karena terus menangis dan berteriak mencari Ibu. Tidak mau minum susu dalam botol yang disodorkan abangmu, malah melemparkannya keluar rumah. Wawan ikut menangis,” ibuku tertawa dan mulai menangis, “sambil memakani susu dalam kaleng dengan sendok….”
Aku terbawa untuk mencucurkan air mata, sesuatu di luar kuasaku untuk mengontrolnya, dan ikut tertawa. Ah, abangku, yang selama ini menjadi musuhku dan tak kuhormati ia karena tak bisa menjadi citra ideal seperti yang kuinginkan tentang figur kakak berupa teladan, ternyata punya sisi lain dalam hidupnya. Sisi kemurnian kanak-kanak.
“Ada tetangga yang coba membujukmu namun kamu tidak mau, bahkan ketika ia hendak menggendongmu, Wawan bersikeras agar kamu diasuh sendiri olehnya. Menolak bantuan siapa saja.”
Aku membayangkan abangku menggendong adik perempuan kecilnya yang rewel dengan kain batik ibunya di belakang punggung mungilnya. Membayangkan ekspresi kanak-kanak yang mencoba tegar menghadapi cobaan tak diinginkannya.
“Ibu tidak bisa lama-lama meninggalkan kalian, Ibu tidak tenang selama berdagang dan lekas pulang.”
Air mataku kian tumpah. Kugigit bibirku menahan gumpalan nyeri yang membuncah.
“Dan Bapak?” Akhirnya aku tanyakan sesuatu yang selama ini ingin kutahu mengapa hidup ibuku harus susah padahal bapak bekerja sebagai pegawai negeri.
“Bapak tidak di rumah. Di tempat istri mudanya….”
Aku terbawa dalam alur pahit kisah ibu yang selama ini tak kutahu. Namun mengapa bapak harus kawin lagi, aku tak mengerti.
“Bapakmu tergoda oleh seorang janda,” kata ibuku.
Bagaimana bapak bisa tergoda seperti itu? Bapak yang kukenal selama ini ternyata punya sisi gelap dalam hidupnya.
“Apakah perempuan itu cantik dan muda?” Aku mencoba mencari simpul pemahaman kehidupan keluargaku yang ternyata kacau.
“Tidak, ia lebih tua dari Ibu dan tak punya anak.” Ibuku sulit dijelaskan apakah pasrah atau marah dalam nada suaranya.
Aku mencoba memahami barangkali ada sesuatu dalam diri perempuan itu yang membuat bapak tertarik padanya. Apakah ibuku yang sederhana dan berasal dari desa dengan pendidikan rendah sampai kelas 2 SR saja tidak setara dengan seorang keturunan priyayi kaya? Apalagi nenek, ibu mertua ibuku, yang keturunan Hindu-Bali masih menganut paham kastaisme, berbeda dengan kakek yang Jawa murni lebih toleran pada perbedaan.
“Kakekmu baik,” kata ibuku mengenang. Mengenang sisi pahit sekaligus baik dalam hidupnya, mencoba mengorek luka lama yang terpendam agar bisa membaginya pada sang anak perempuan.
Aku tidak tahu seperti apa sosok kakekku karena beliau sudah meninggal sebelum aku lahir. Namun dari foto dalam surat kematiannya, ia mirip bapak dan tampan. Nenek tidak cantik, bagiku ia wanita tua keriputan yang bawel dan berbau aneh. Aku tidak menyayanginya karena seingatku ia tak pernah menunjukkan perilaku yang menyayangiku. Bagiku ia nenek dari negeri asing yang tak semestinya menjadi nenekku karena tidak seperti dalam citra ideal versi majalah Bobo langganan.
Akan tetapi, nenek menyayangi abangku, lebih tepatnya memanjakannya. Segala sesuatu diberikannya pada sang cucu tersayang. Anehnya ibuku, sebagai bagian pemberi keturunan bagi penerus klan R. Soewarno, tak lebih diperlakukan sebagai babu! Tak peduli ia istri dari anak bungsu kesayangannya.
Aku dan ibuku terus membungkus leupeut, namun semuanya berbeda bagiku; aku dihempaskan pada sisi gelap kehidupan yang selama ini tak pernah kubayangkan!
“Abangmu,” kata ibuku lagi, “pernah membela Ibu waktu Ibu bertengkar dengan bapak soal perkawinannya lagi, dan ketika bapak hendak memukul Ibu, Wawan berteriak dan memukuli bapak, ‘Ulah, ulah…!’ Begitu histeris. Lalu bapak diam. Saat itu Ibu sedang mengandung kamu, dua bulan….”
Aku, mestinya pada saat itu gugur saja dan tak pernah mengenal kehidupan. Apakah abangku tak cuma mencoba menyelamatkan ibuku semata melainkan diriku yang masih berada dalam hangatnya tiga lapis kegelapan? Apakah aku berutang nyawa pada abangku yang selama ini kukenal sebagai pribadi pecundang?
Di luar hujan dan muram. Semuram suasana di dalam. Aliran listrik dari tadi padam, kami bekerja diterangi nyala lampu teplok kecil. Wajah ibuku dan wajahku seolah bagian dari kemuraman di luar.
“Waktu kecil ia kakak yang baik,” ibuku mencoba menunjukkan sisi baik dirinya lagi. “Ibu sering keguguran. Wawan ingin punya adik, lalu kamu pada akhirnya lahir. Kurus sekali. Kamu juga susah makan.”
Aku tersenyum. Sampai sekarang aku tetap kurus dan susah makan. Komplikasi bayi yang ibunya depresi?
“Pernah abangmu memaksa memberi makan dengan perkataan, ‘Emam, emam. Bisi maot.’ Ia takut sekali kamu akan meninggal karena sakit dan tidak mau makan, seperti kakak perempuan kalian.” Air mata ibuku kian bercucuran. Begitu pun aku yang tak menyangka abangku pernah demikian mengingat ketidakdekatan kami sampai sekarang.
Aku membius diriku untuk bertanya. Apakah bapak dan perempuan itu punya anak? Tidak, jawab ibuku. Apakah keluarga besar bapakku tahu? Ya, namun Uwak membela ibu, kasihan pada anak-anak yang masih kecil. Apakah bapak dan perempuan itu masih berhubungan? Mereka konon sudah bercerai. Sejak kapan? Ibuku tidak tahu pasti. Apakah ibu membenci bapak? Ibuku bilang sudah lama memaafkan bapak dan tetap mencintainya. Aku merasakan ketenangan yang menghangatkan. Namun masih saja banyak hal yang tak terpahamkan sekaligus tak termaafkan.
Jujur, ada banyak hal yang tak kuingat tentang lelaki bernama bapak dalam ingatan kolektif tentang masa kanak-kanakku. Ia seolah sering absen.
“Bapak memang jarang di rumah,” aku ibuku. “Pernah saat bapak pulang, Wawan sedang bermain kelereng di halaman dan kamu duduk memperhatikan di dekatnya, bapakmu lewat cuma menjawil selintas dagumu. Sama sekali tak menyapa apalagi menunjukkan perhatian lebih pada kalian. Wawan jadi sebal….”
Aku tersenyum pahit. Jadi itulah sebabnya, abangku punya alasan untuk membenci bapak dan memilih jadi pemberontak yang berakhir sebagai pecundang berengsek. Ia terluka sejak kanak-kanak. Seolah ditolak sang ayah yang memang tak pernah bersahabat atau setidaknya mencoba menjadi sahabatnya. Ia puas telah membalas luka itu kala dewasa. Menuntaskan dendam dengan membiarkannya mati sekarat digerogoti tuberkulosa akut di usia rentanya: membuat skandal ala melodrama keluarga dengan membawa kabur pacarnya untuk kawin lari kala hubungan mereka ditentang oleh pihak keluarga sang pacar, dan bapak yang sudah tahap sakit parah kian diperparah sakitnya. Harga dirinya sebagai ayah, suami, dan kepala keluarga seolah dicabik-cabik anak lelaki satu-satunya.
Aku mengingat prosesi kematian itu dengan batin terluka. Aku masih kelas 3 SMU semester dua. Merasa belum bisa berbuat banyak dalam hidup. Merasa sebagai pecundang kurang ajar yang belum bisa membanggakan ayahnya. Namun apakah bapak merasa sebagai ayah yang gagal? Apakah 66 tahun hidupnya harus berakhir dalam kesia-siaan? Dan apakah 30 tahun perkawinannya dengan ibu tak lebih dari kamuflase kehidupan? Sesuatu yang tak ia inginkan namun terpaksa dilakonkan; karena ia lelaki, karena ia suami, karena ia ayah, karena ia bagian dari kolektif bermasyarakat?
Kadang aku merasa kematian bapak memang sudah semestinya agar penderitaannya berakhir setelah bertahun-tahun digerogoti tuberkulosa akut, membuatnya taraf stroke dan tak bisa apa-apa tanpa bantuan ibu. Membuatku marah karena aku masih membutuhkan figur kekuatan seorang ayah, tak peduli kami lebih sering konflik daripada bersahabat.
Abangku adalah kompleksitas ruwet. Struktur yang tak kupahami. Apakah ia pun akan berakhir sebagai ayah yang gagal di mata Sahal, lalu Al akan melakukan apa yang pernah dilakukan abangku pada bapak. Aku tidak memahami perkawinan mereka. Perkawinan abangku dengan teteh iparku yang sarat pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga namun selalu rujuk kembali pada akhirnya.
Apakah benih-benih luka itu telah muncul di jiwa kanak-kanak Al? Ia kini jelang 8 tahun. Bagaimana aku akan menjelaskan pada keponakanku satu-satunya bahwa hidup ini merupakan lingkaran yang berkelindan.
Dan apakah kelak ia akan menyalahkan kakeknya, sosok yang tak pernah dikenal sepanjang hidupnya, sebagai “titik api” bagi kekacauan hidupnya pula?
Aku melihat ibuku, dalam garis-garis ketuaannya, masih menyisakan ketabahan sebagai seorang perempuan yang barangkali lugu memandang kehidupan. Sama lugunya dengan kenyataan yang tak pernah kutahu akan makna perkawinan.
“Abangmu tak pernah cerita pada kamu bahwa bapak telah kawin lagi,” lanjut ibuku ketika ia tanya apakah aku telah tahu soal itu sebelumnya. “Ibu yang melarang, takut nantinya kamu tak menghormati bapak lagi.”
Aku ikut tersenyum pada kepalsuan hidup yang disodorkan ibuku.
Aku ingin muntah dalam tabah!
***
Inilah ingatanku, kenangan manis yang merupakan bagian dari ingatan kolektif. Entah apakah abangku pun mengingatnya.
Usiaku sekira 7-8 tahun, dan abangku 7 tahun di atasku. Pada hari pertama lebaran bapak mengajak abangku dan aku ke Alun-alun Bandung. Kami mencobai wahana permainan di Gedung King’s Jalan Kepatihan. Minum teh botol. Lalu ke Taman Alun-alun. Aku dan abangku bermain voli balon plastik pelangi, lalu aku begitu saja meninggalkannya di bangku taman. Merengek beli lagi kala kami hendak memasuki gedung bioskop Dian Theater. Dan aku heran karena di dalam bioskop sangat gelap. Kupikir hari sudah malam. Aku merengek ingin pulang, tak peduli film yang diputar adalah Superman. Aku suka Superman, namun aku takut kegelapan. Bapak dan abang jengkel. Terpaksa memenuhi keinginanku padahal kami baru menonton sebentar. Sebelumnya ke toilet dulu, dan aku ikut mereka karena takut ditinggal sendirian, melupakan balonku lagi!
Dan di luar, aku lega sekaligus heran karena hari masih benderang! Aku tak pernah menonton di bioskop kala siang. Abangku marah-marah soal film, bapak marah-marah soal balon. Dan saat dewasa kini aku merasa beloon.
Itu petualangan lebaran bersama yang pertama sekaligus terakhir bagiku!
Ibu tidak ikut, entah mengapa. Lalu pada lebaran selanjutnya kami tak pernah pergi ke bioskop atau mana saja sekeluarga, maksudku berempat. Bukan karena bapakku tak mampu. Barangkali untuk sesuatu yang ia lebih suka tak mengungkapkan pada siapa pun. Bagiku bapak adalah misteri terbesar dalam hidupku.
Tentu setiap orang punya rahasia. Dan biarkan itu menjadi misteri jika pada akhirnya hanya akan melukai. Namun kebenaran, sepahit apa pun, lebih baik diungkapkan. Meski kebenaran itu sendiri nisbi.***

Limbangan, Garut, 30 Maret 2007


#Untuk Sahal Habibi Wijaya, keponakan dan lelaki kecilku.
Juga untuk para kawan-sahabat-sekaligus guru lelakiku: Indra Lesmana Sutarlim, Tendy K. Somantri, Muhammad Zainal Fanani, Ralian Bahar, Mishbahul Munir, Farmin (Firmansyah), dan Abdul “Abuy” Yazid; terima kasih telah berbagi hidup.